BEBERAPA hari belakangan, jagat maya Nusantara “dihebohkan” dengan sebuah pembahasan panas yang disertai dengan perdebatan juga tidak kalah sengit. Ritual khas masyarakat +62 lah pokoknya. Kali ini, tema besarnya adalah bagaimana hukum dan seberapa penting menu sehat bagi atlet profesional.

Bagaimana awal mulanya, saya tidak begitu paham. Yang saya tahu, tiba-tiba banyak mention yang bertamu ke akun media sosial saya, dan menanyakan bagaimana dengan pendapat saya. Pengen rasanya saya jawab, “Wai Olwes Mi”.

Orang salah datang ke konser, saya disalahin. Penyanyi indi memutuskan rehat sejenak, saya suruh komentar. Ada pembimbing yang kalau nge-tweet caps lock semua, konfirmasi ke saya. Rekomendasi tempat kuliner, tanya saya. Dian Sastro lagi diskusi dengan Bambang, yang di-mention ke saya. Apa-apa kok saya, apa-apa kok saya.

Ini ada lagi atlet bukan, pelatih bukan, ahli gizi bukan kok disuruh komentar mengenai menu ideal atlet. “Salah alamat”, gerutu saya dalam hati.

Di tengah kekesalan saya yang merasa terdzolimi, tiba-tiba ujung mata saya tertambat pada sebuah benda di sudut ruang kerja saya. Benda logam berbentuk bola berwarna emas. “Lho iya ya, jelek-jelek begini kan saya pernah jadi atlet”, gumam saya baru teringat.

Maka atas dasar tanggung jawab “almamater” itu lah, akhirnya saya memutuskan dengan "jujur dan dengan hati-hati" untuk ikut urun rembug mengenai persoalan ini.

Untuk sekadar diketahui, bahwa saya ini orangnya serius dan jarang sekali bisa bercanda. Jadi ketika saya memutuskan untuk terlibat dalam sebuah diskusi, ya mahunya serius, dan jangan bercanda.

Sebelum kita mulai, awal sekali mari kita tanyakan secara jujur kepada diri kita masing-masing. Untuk tujuan apa kita membahas mengenai nutrisi atlet ini?

Jika hanya untuk mencari kesalahan orang agar kita terlihat paling bener, lebih baik ndak usah diskusi. Atau karena menganggap diri kita paling pintar, sehingga merasa berhak untuk menilai orang lain, saran saya juga mari kita hentikan saja.

Karena sebaik apa pun seseorang, jika dicari-cari salahnya ya pasti akan ketemu juga. Begitu juga sebaliknya, sesalah-salahnya orang jika dia mau bekerja keras, berdoa, dan berusaha toh pada akhirnya juga bisa membawa Liverpool menjadi juara Liga Inggris dan Liga Champions Eropa.

Namun jika tujuan diskusi ini adalah untuk pembelajaran, agar pemahanam atlet profesional di Indonesia tentang pentingnya nutrisi menjadi semakin baik, ya mari segera kita mulai diskusinya.

Perlu digarisbawahi di awal. Jika gizi atau nitrisi bagi atlet ini adalah hal yang sangat mendasar, sudah final, dan selesai. Artinya ini hukumnya wajib.

Sebagaimana yang kita ketahui, jika kehidupan sehari-hari seorang atlet itu harus serba “berkecukupan”. Istirahatnya cukup, makannya cukup, dan latihannya juga harus cukup. Yang menjadi persoalan adalah definisi kata cukup ini yang kemudian ambigu. Parameternya menjadi sangat relatif.

Apa yang ingin saya sampaikan adalah hukum tentang istirahat, makan, dan latihan bagi atlet itu sudah wajib dan tidak dapat ditawar lagi. Melanggar salah satu dari itu jelas tidak diperbolehkan. Hanya saja patokan dari kata "cukup" tadi yang pada akhirnya berbeda-beda. Mana yang boleh, mana yang hanya boleh sesekali, dan mana yang tidak boleh sama sekali. Ini yang kemudian menjadi persoalan.

Sebagaimana kehidupan yang dalam banyak hal tolok ukurnya (selain angka) hampir semua relatif. Bagus, jelek, banyak, sedikit, besar, kecil dan lain-lain ini semuanya relatif tergantung dari pemahaman masing-masing. Demikian halnya dengan kata “cukup” bagi atlet tadi. Selain menggunakan metode keilmuan, tolok ukurnya tentu adalah nilai dan kepantasan.

Perlu dipahami, jika saya TIDAK dalam posisi membenarkan seorang atlet melanggar satu dari tiga hal yang harus cukup tadi. Namun faktanya, mengapa beberapa (kalau tidak boleh dikatakan banyak) atlet baik nasional maupun internasional, dalam beberapa kesempatan melanggar aturan-aturan tersebut?

Nah saya ingin coba membuat sebuah analogi sederhana, semoga saja ini dapat dipahami.

Kita semua tentu tahu dan paham jika mencontek itu adalah perbuatan tidak baik, dilarang, dan melanggar aturan. Namun mari kita tanyakan secara jujur kepada diri kita masing-masing, berapa banyak dari kita yang pernah melakukannya. Coba renungkan, ingat baik-baik, dan pastikan terlebih dahulu sebelum menjawab dalam hati.

Kita sepakat jika mencontek itu tindakan yang salah, adalah satu hal. Namun “hampir semua” dari kita pernah mencontek, adalah hal yang lain. Jika demikian, bagaimana kita kemudian memberi hukum tentang mencontek itu sendiri? Apakah karena kita pernah melakukan, kemudian kita berani berkata jika kita tidak tahu dan tidak paham tentang aturan jika mencontek itu salah?

Setali tiga uang dengan nutrisi bagi atlet. Di belahan dunia mana pun, saya yakin jika setiap atlet pasti paham jika menkonsumsi makanan yang “ENAK” itu dilarang. Namun demikian, bukan berarti tidak ada atlet yang pernah mencuri-curi untuk melakukannya.

Saya berkeyakinan, jika pada level apa pun selama atlet tersebut masih manusia dan bukan robot. Maka pada saat-saat tertentu pasti pernah melakukan cheating day dengan mengkonsumsi makanan yang enak. Enak dalam hal ini bisa berkaitan dengan rasa, kebiasaan, atau nostalgia yang secara aturan tidak diperbolehkan.

Namun toh kita tidak bisa serta-merta menghakimi, jika atlet tersebut tidak memahami hukum tentang kebutuhan nutrisi sebagai seorang atlet profesional.

Saya akan coba memberi beberapa contoh soal:

- Dalam sebuah wawancara dengan The Times, Wayne Rooney pernah menyampaikan. Jika di periode awal Cristiano Ronaldo mendarat di Manchester United, ia sering diminta Ronaldo untuk mampir ke drive thru salah satu restoran cepat saji untuk memesan burger, dan kentang goreng.

- Tahukah anda jika juara tinju dunia, Floyd Mayweather Jr. adalah penyuka hot dog, kentang goreng, twizzlers, dan top ramen? Dia juga pernah tertangkap kamera tengah menyantap Cheese Burger, dan Milk shake.

- Kemudian Michael Phelps, peraih medali cabang renang terbanyak sepanjang sejarah olimpiade. Kabarnya juga memiliki kebiasaan memakan sour patch kids, chips dan pizza.

- Belum lagi Usain Bold, sprinter asal Jamaika yang mengaku memakan 1000 chicken nuggets sepanjang Olimpiade Beijing 2008. Di mana dia berhasil menyabet 2 medali emas di nomer paling bergengsi 100, dan 200 meter putra.

- Atau Justin Velander (salah satu super star Baseball Amerika) yang dalam sebuah acara talk show Late Night With Conan O’Brien menyampaikan. Jika pada periode tertentu dalam karirnya, ia secara rutin mengkonsumsi tiga porsi crunchy supreme taco, pizza meksiko, dan cheesy gordita crunch pada malam sebelum bertanding.

Nah bagaimana kita memberi hukum terhadap apa yang pernah (jika tidak boleh dikatakan sering) dilakukan oleh Ronaldo, Floyd Mayweather Jr, Michael Phelps, Usain Bold, dan juga Justin Verlander tersebut?

Apakah kita bisa mengatakan jika mereka tidak paham tentang aturan nutrisi bagi atlet profesional? Atau malah kemudian kita berani mengubah aturan hukum, bahwa seorang atlet profesional itu dibenarkan mengkonsumsi makanan “enak”? Karena faktanya toh dengan makan "enak" pun prestasi mereka tetap saja mendunia.

Ya bukan begitu konsepnya BAMBANG. Karena dengan alasan apa pun, apa yang mereka lakukan ya tetap saja SALAH, dan tidak bisa dijadikan patokan. Jadi apakah tidak boleh mencontoh mereka? Ya boleh-boleh saja, tapi jangan nanggung-nanggung sekalian juga contoh prestasinya.

Dari beberapa contoh di atas, setidaknya kita dapat menarik sebuah kesimpulan. Bahwa pada akhirnya, tolok ukur dari keberhasilan seorang atlet adalah prestasi di atas lapangan.

Jika dia mampu menjadi yang terbaik, dan bertahan di level tersebut dalam waktu yang relatif lama. Maka percayalah, apa pun yang kalian makan orang tidak akan perduli lagi. Walaupun tanggung jawab moral sebagai publik figur (atlet), kaitannya untuk memberikan contoh yang baik, juga tidak bisa dikesampingkan begitu saja.

Yang ngawur itu sudah lah sering makan tidak sehat, kebanyakan gaya, prestasinya juga ndak ada. Persis seperti yang nulis artikel ini. Nah itu baru ndak bener.

Maka kembali pada pembahasan mengenai, apakah mencontek itu benar atau salah tadi. Di mana kita semua sudah sepakat, jika mencontek itu salah. Tapi sebagai “manusia biasa” apakah ada di antara kita yang benar-benar bersih, dan tidak pernah mencontek sepanjang hidupnya?

Pada akhirnya pola pikir, pemahaman terhadap diri sendiri, dan tujuan (target) kita lah yang akan memberikan batasan mengenai mana yang boleh, mana yang sesekali boleh, dan mana yang tidak boleh sama sekali.

Nah dalam posisi seperti ini, atlet makan "enak" dan mencontek menjadi berada pada posisi yang sama. Jika kita menjadikannya sebagai kebiasaan, maka celaka dua belas namanya. Namun jika hanya once in a while dan selama kita tahu batasannya, yaaaaaaa katakanlah masih boleh lah. Walaupun tidak akan mengubah hukumnya yang tetap saja TIDAK BENAR tadi.

Jadi sampai juga lah kita pada kesimpulan akhir dari diskusi menarik kita pada artikel kali. At the end substansi yang paling mendasar adalah kenali dirimu, ketahui kebutuhanmu, pahami tujuanmu, dan sadari batasannya.

Tetap Semangat dan Sukses Selalu.

Selesai….

PS: Seperti biasa tulisan-tulisan saya adalah murni pendapat saya. Setuju monggo, tidak setuju juga silakan, tidak juga harus menjadi perdebatan.

Mengkritik tentu boleh. Yang dikritik juga boleh membela diri, walau sebaiknya tidak usah terlalu mudah tersinggung.

Yang tidak boleh itu mengkritik atau membela diri tanpa didasari dengan pemahaman yang memadai. Karena yang kemudian terjadi hanyalah DEBAT KUSIR.