SAYA sedang membasahi rambut sambil menunduk, saat seseorang menepuk pundak saya dari arah belakang. Seketika saya pun mendongak dan melihat ke arah orang tersebut. “Wah, kapan nyampe lo? Welkam-welkam, selamat bergabung”, ujar saya seketika sambil menyalami dan memeluk orang tersebut.

Adegan di atas terjadi di belakang tribun selatan stadion Menteng, tepatnya di sebuah keran air tepat di depan asrama pemain Persija, sesaat sebelum latihan perdana Persija menghadapi kompetisi Liga Indonesia IX (2002/03). Orang yang saya maksud dalam paragraf di atas adalah Ismed Sofyan. Iya, hari itu adalah hari pertama Ismed bergabung menjadi keluarga besar Macan Kemayoran.

Untuk sekadar diketahui, Ismed Sofyan didatangkan Persija (dengan susah payah) dari saudara mudanya Persijatim, untuk menggantikan Anang Ma’ruf yang memilih untuk kembali ke Surabaya, dan bergabung dengan Deltras Sidoarjo. Kala itu, hasil kurang baik di Liga Indonesia VIII (2001/02), di mana langkah Persija untuk mempertahankan gelar terhenti di babak 8 besar, membuat beberapa pemain kemudian memilih untuk hengkang. Selain Anang Ma’ruf beberapa pilar penting juga hijrah ke klub lain di antaranya: Nuralim (Pelita Krakatau Steel), Budiman (Persib Bandung), Gendut Dony (Persikota Tangerang), dan juga Antonio Claudio (Semen Padang).

Pada musim itu, saya sendiri harus menerima kenyataan, hanya bermain sebanyak 11 pertandingan sepanjang musim. Hal itu karena pada pertandingan pekan ke-10 melawan Arema Malang (3 April 2002), di stadion Lebak Bulus, saya mengalami patah tulang (Medial Malleolus) dan robek (Medial Collateral Ligament). Cedera yang membuat saya harus absen selama 6 bulan, dan baru kembali tampil di pertandingan terakhir babak 8 besar, saat Persija takluk dari PSM di Padang.

Bagi pecinta sepak bola Indonesia, khususnya pendukung Persija, ada 3 nama yang secara otomatis akan muncul saat ada yang menyebut kata Persija. Tiga nama tersebut adalah Jakarta (ibu kota), the Jakmania, dan juga Ismed Sofyan.

Berlebihan? Rasanya tidak.

Menghuni skuat Persija Jakarta dan hampir selalu menjadi pilihan utama selama 2 dekade (dalam segala situasi, kondisi, konflik, dan intrik yang terjadi di dalam tim) rasanya ungkapan di atas menjadi sangat wajar. Lagi pula dalam perjalanannya, selain beberapa gelar juara yang berhasil ia persembahkan, pemain yang identik dengan nomer punggung 14 itu juga lah pemegang beberapa rekor penting Persija, di era sepak bola moderen.

Beberapa rekor tersebut di antaranya: Pemegang rekor pemain dengan penampilan terbanyak di Persija (tidak ada catatan resmi memang, tapi saya sangat menyakini itu). Pemegang rekor pemain terlama yang membela Persija. Dan walau berposisi sebagai pemain belakang, gol tendangan bebas Ismed ke gawang Bornoe FC di semifinal Piala Indonesia 2019, membuat ia menjadi pemegang rekor pencetak gol tertua di Persija (40 tahun).

Catatan yang rasanya akan bertahan dalam waktu yang tidak sebentar. Oleh karena itu, akan menjadi sesuatu yang sangat indah dan juga ideal jika dengan segala sumbangsih dan ikatan batin yang begitu erat antara keduanya, Ismed Sofyan kemudian mengakhiri karir profesionalnya di Persija, dan dalam pelukan the Jakmania.

Namun ternyata takdir berkehendak lain. Sama hal-nya dengan kehidupan, sepak bola selalu memiliki alur cerita yang sulit untuk ditebak. Di luar dugaan semua pihak, tanpa adanya mendung dan juga suara gemuruh dari langit, tiba-tiba tersiar kabar jika Persija dan Ismed Sofyan secara resmi sepakat untuk mengakhiri kerja sama profesional mereka.

Sebuah akhir cerita yang mengagetkan dan (saya yakin) sangat tidak mudah, baik bagi Persija terlebih lagi bagi Ismed Sofyan. Happy ending dari kisah keduanya yang tadinya sudah terbayang pun, seketika berubah menjadi twist ending.

Namun demikian, walau pun sulit untuk diterima oleh siapa pun, rasanya keputusan tersebut adalah yang "terbaik" bagi kedua belah pihak. Dan oleh karena itu, kita semua tentu harus menghargainya. Lebih dari pada itu, dalam dunia sepak bola profesional toh sebenarnya kita sudah sering disuguhi dengan kisah-kisah yang kurang lebih sama.

Siapa yang dulu berani bertaruh, jika Alessandro Del Piero akan mengakhiri karirnya di India bersama Delhy Dynamos dari pada di Juventus? Siapa yang menyangka, jika Iker Casillas akhirnya menuntaskan karirnya bersama FC Porto bukan di Real Madrid? Siapa juga yang berani berpikir, jika Steven Gerrard memilih pensiun di LA Galaxi ketimbang di Liverpool? Atau yang paling menghebohkan, siapa yang dalam benaknya pernah terlintas atau berani (sekadar) membayangkan kepergian Leonel Messi dari Barcelona menuju Paris Saint-Germain?

Belum lagi kisah Xavi Hernandez, Luis Figo, Raul Gonzalez, Gabriel Batistuta, Frank Lampard, Alessandro Nesta, Boaz Salossa, Haryono, Syamsul Chaeruddin dan masih banyak lagi. Beberapa contoh di atas sekali lagi membuktikan, jika dalam dunia sepak bola profesional “apa pun” bisa terjadi.

Kembali ke Ismed Sofyan. Tanpa mengurangi rasa hormat atau mengecilkan sumbangsih siapa pun mantan pemain Persija dahulu atau pemain Persija saat ini, menurut saya Ismed adalah pemain Persija yang darahnya paling merah (baca: paling mencintai Persija).

Kita bisa lihat dengan jelas dari bagaimana Ismed tampil dalam setiap pertandingan. Selalu all out, tidak mau kalah, tak segan untuk berdarah-darah, atau bahkan tersulut emosinya hingga berseteru di lapangan. Bagi sebagian orang, mungkin itu semua dianggap sebagai tindakan yang berlebihan dan arogan. Namun bagi saya, itu lah bagaimana cara dia menunjukkan kecintaannya yang begitu besar kepada Persija.

Selama 2 dekade berseragam Pesija Jakarta, Ismed telah merasakan polesan dari 18 pelatih, 11 manajer, dan 7 pembina/presiden klub. Maka menjadi hal yang tidak berlebihan ketika kemudian masyarakat beranalogi, “Persija adalah Ismed Sofyan, dan Ismed Sofyan adalah Persija”.

Akhir sekali sebagai pribadi, sahabat, dan juga pendukung Persija saya hanya dapat mendoakan yang terbaik bagi kelanjutan karir Ismed Sofyan. Terima kasih untuk dedikasi dan pengabdian yang luar biasa selama berseragam Persija Jakarta. Serta tetap semangat dan sukses selalu di mana pun klub baru yang akan dituju.

Dan dari lubuk hati yang paling dalam, saya (masih) berangan-angan jika Persija dapat memberikan sebuah pertandingan testimonial untuk Ismed Sofyan. Mungkin tidak dalam waktu dekat, karena Ismed sendiri nampaknya sudah memutuskan untuk terus bermain (setidaknya untuk musim ini), semoga di kemudian hari.

Terlepas dari di mana Ismed Sofyan mengawali dan akan mengakhiri karir profesionalnya sebagai pesepak bola, menurut saya Persija dan the Jakmania adalah pihak yang paling layak untuk memberikan pertandingan penghormatan, saat Ismed Sofyan gantung sepatu nanti.

Karena bagi Persija dan the Jakmania, “loyalitas tanpa batas” itu bernama Ismed Sofyan.

Tetap semangat dan sukses selalu.

 

Salam,

Bambang Pamungkas