“Tidak semua rencana dan kebijakan sebuah klub, semua orang harus tahu”.
Jika dibaca dengan hati yang masih mendidih, niscaya kalimat di atas akan memberi kesan introvert. Namun jika membaca catatan saya ini hingga selesai (bag: 3), maka “bisa jadi” akan memahami maksud dari kalimat saya di atas. Itu pun masih bisa jadi.
Pun demikian dengan anda sekalian. Mungkin anda akan gagal memahami atau bersalah sangka pada kalimat di atas, dengan hanya membaca tulisan pertama ini saja. Maka, saran saya bacalah tulisan saya ini sampai dengan bagian ke-3, agar anda memahami secara utuh tentang maksud dari kalimat tersebut. Itu pun masih dengan catatan, jika anda sekalian mau dan memiliki sedikit ruang dalam hati, untuk sekadar berdiskusi tanpa adanya tendensi apa pun.
Pertama-tama, rasanya kita semua harus sepakat jika pandemi Covid-19 ini membuat semua unsur dalam kehidupan dan penghidupan kita mau tidak mau berubah drastis. Perubahan itu tentu terkait dengan penyesuaian diri agar kita dapat survive dalam mengarungi situasi, di mana generasi kita belum pernah memiliki pengalaman dalam menghadapinya.
Pun demikian dengan sepak bola. Satu yang harus dipahami, dalam kondisi pandemi yang kita semua tidak atau belum tau kapan akan berakhir ini, maka semua kebijakan yang diambil oleh sebuah klub sepak bola harus selalu berdasarkan dengan interest (kepentingan) klub. Kaitannya tentu untuk menjaga kesehatan, keseimbangan, dan kesinambungan hidup klub tersebut.
Pun demikian dengan Persija. Setelah pada musim 2019 tampil buruk hingga sempat terancam degradasi. Maka pada awal musim 2020, Persija mencoba bangkit dan membangun sebuah tim juara dengan materi pemain yang mewah. Memagari para pemain lama yang kontraknya habis, dan mendatangkan bintang-bintang baru yang berkualitas. Langkah yang pada waktu itu tentu disambut dengan suka-cita oleh seluruh the Jakmania. Mengingat visi Persija berorientasi jangka panjang, maka para pemain tersebut pun diikat dengan durasi kontrak jangka panjang. Berkisar antara 3 hingga 4 tahun, beberapa bahkan 5 tahun.
Seperti lazimnya awal sebuah kontrak kerja sama pesepakbola profesional, maka ada down payment (dp) yang harus dibayarkan. Pun demikian dengan Persija, pada periode ini Persija pun harus merogoh kocek cukup dalam untuk melakukan pembayaran down payment kontrak para pemain.
Analoginya seperti ini. Jika katakanlah rata-rata kontrak pemain 3 tahun, dan down payment setiap kontrak berkisar antara 25% - 30%. Artinya sepertiga dari nilai kontrak pemain sudah harus dibayarkan di depan. Jika rata-rata kontrak pemain adalah 3 tahun, maka angggaran klub untuk satu tahun pertama sudah harus digelontorkan di bulan pertama setelah kontrak ditandatangani.
Gambaran sederhananya begini, jika total pengeluaran Persija untuk kontrak pemain selama 3 tahun kedepan katakanlah 3 Miliar. Maka 1 miliar sudah harus dikeluarkan di depan untuk membayar down payment pemain, sisa 2 miliarnya akan dibagi 36 (jumlah bulan dalam 3 tahun masa kontrak) sebagai pengeluaran klub dalam bentuk gaji.
Dalam situasi normal ini tentu menjadi hal yang sangat wajar dan bahkan menguntungkan. Karena setelah melakukan pembayaran besar di depan, maka Persija tidak perlu lagi melakukan pengeluaran dalam jumlah besar selama 3 tahun kedepan. Kecuali jika tiba-tiba di tengah perjalanan, klub merasa perlu untuk melakukan pembelian pemain baru. Dan mengingat pemain adalah aset, maka menjadi sebuah keuntungan jika kita memiliki aset dengan durasi kontrak yang panjang.
Namun rencana indah berbalik 180 derajat ketika wabah Covid-19 merebak. Ketika dunia dilanda pandemi Covid-19, maka segala sesuatunya menjadi serba tidak menentu. Pemain yang awalnya menjadi aset tersebut berubah menjadi beban. Mengingat klub terikat dengan kewajiban untuk tetap melakukan pembayaran gaji selama kontrak para pemain berlangsung. Sedang kepastian jalannya kompetisi masih menjadi tanda tanta besar, dan bahkan pada akhirnya sama sekali tidak digelar.
Dengan tidak adanya kompetisi, maka secara otomatis klub juga tidak memiliki pemasukan dari penyelenggaraan pertandingan. Sampai kapan? tidak ada satupun pihak yang dapat memastikan. Jadi, bisa dibayangkan bagaimana kondisi neraca keuangan klub ketika itu.
Anggaran 1 tahun sudah dikeluarkan, kewajiban pembayaran gaji tetap harus dijalankan, sedang pemasukan dari pertandingan tidak ada sama sekali. Jalan satu-satunya adalah kembali menyuntikkan dana segar ke dalam kas klub. Dan tahun pertama masa pandemi pun berhasil dilewati dengan berdarah-darah.
Dan untuk menjaga kesehatan finansial klub, tentu hal tersebut tidak boleh berkelanjutan. Oleh karena itu, pada tahun berikutnya klub harus membuat kebijakan-kebijakan untuk menyeimbangkan neraca keuangan klub. Tujuannya tentu untuk menjaga stabilitas keuangan agar klub menjadi lebih sehat. Ini yang saya maksud segala kebijakan berdasarkan interest (kepentingan) klub.
Salah satu caranya adalah melepas/meminjamkan pemain, karena sekali lagi pemainlah aset sekaligus beban pengeluaran terbesar klub. Tentu kebijakan ini dilakukan dengan sebisa mungkin tanpa mengubah kerangka tim utama. Yang saya maksud dengan tidak mengubah kerangka utama adalah formasi inti musim 2020 sebisa mungkin tidak diubah.
Siapa saja sih pemain tim yang dilepas di awal musim 2021?
Dalam catatan saya, terdapat 14 pemain yang telah dilepas Persija dari awal musim 2021 hingga saat ini. Saya akan coba rinci dan juga jelaskan bagaimana Persija menyiasati kebijakan tersebut. Ok, saya akan coba jabarkan satu per satu ya, supaya gambaran pemahaman kita menjadi lebih luas.
Mereka yang kita lepas adalah sebagai berikut: Alhamra Hehanussa, Risky Fandi, Dwiki Arya, Muhammad Rafli, dan Ryuji Utomo (dipinjamkan). Dan Shahar Ginanjar, Rinto Ali, Evan Dimas, Sutan Zico, dan Febri Eka (dilepas). Totalnya adalah 10 pemain. Selanjutnya mari kita perhatikan dengan seksama, siapa saja dari nama-nama tersebut yang menjadi pemain utama (formasi inti) pada awal musim 2020 saat Persija ditangani Sergio Farias. Jawabannya adalah: Ryuji Utomo, dan Evan Dimas. Iya hanya 2 pemain.
Nah, bagaimana kemudian manajemen menutupi lubang yang ditinggalkan 2 pemain tersebut? Begini, untuk menggantikan posisi Ryuji Utomo, Persija kemudian mendatangkan bek tengah asing dari Brazil Yann Motta. Sedang di posisi gelandang yang ditinggalkan Evan Dimas, Persija masih memiliki Rohit Chand, Tony Sucipto, Marc Klok, dan Sandi Sute. Mengingat dalam formasi 4-2-3-1 Persija hanya memerlukan 2 gelandang bertahan, maka keberadaan 4 gelandang bertahan tersebut dirasa sangat cukup. Sedang di gelandang serang kita masih ada Ramdani Lestaluhu dan Braif Fatari, nama terakhir tampil impresif di Piala Menpora.
Sedang untuk mengisi posisi pemain-pemain yang notabene bukan atau belum menjadi pemain utama, maka Persija memilih untuk mendatangkan Yoewanto Benny (penjaga gawang) dan menaikkan Alfianto Nico, Muhammad Ferrari, Cahya Supriyadi, Muhammad Fajar Firdaus, M. Reza Fauzan, Sandi Arta samosir, serta Raka Cahyana Rizky dari Akademi Persija.
Kebijakan ini dilakukan berdasarkan 2 hal. Pertama tentu berkaitan dengan kesehatan finansial klub (mengurangi beban pengeluaran), dan yang kedua untuk memberi kesempatan kepada bakat-bakat muda Persija untuk unjuk gigi, sekaligus mempersiapkan mereka untuk menjadi tulang punggung Persija di masa yang akan datang.
Maka kemudian Persija pun tampil di Piala Menpora 2021 dengan kekuatan 30 pemain, dan dipimpin oleh pelatih kepala Sudirman. Rincian skuat Persija ketika itu adalah sebagai berikut:
Penjaga Gawang: Andritany, Adixi, Benny, Cahya.
Pemain Belakang: Motta, Novri, Ismed, Dutra, Yann, Maman, Reza, Rezaldi, Salman, Alfath.
Pemain Tengah: Rohit, Sandi, Klok, Tony, Ramdani, Braif, Raka.
Pemain Depan: Riko, Nico, Osvaldo, Heri, Sandi Arta, Simic, Taufik, Fajar.
Mari coba kita perhatikan. Bukankah posisi-posisi yang ditinggalkan dapat diisi dengan baik oleh pemain-pemain baru? Artinya kehilangan 10 pemain di awal musim tidak menjadi masalah berarti bagi Persija saat tampil di Piala Menpora. Kekuatan tim masih terjaga dengan baik. Di awal turnamen Persija memang tampil kedodoran, namun setelah itu Persija dapat bengkit dan pada akhirnya berhasil membawa Piala Menpora 2021 ke ibukota.
Ini lah yang disebut dengan kebijakan untuk melakukan pelepasan atau peminjaman aset (pemain) dengan tanpa mengurangi kekuatan atau kerangka tim utama. Ketika itu tidak ada pembahasan yang terlalu tajam dengan dilepasnya 10 pemain sebelum Piala Menpora digelar, termasuk tidak adanya Ryuji Utomo dan Evan Dimas.
Jadi, jika kemudian ada yang berpendapat jika hasil kurang memuaskan yang diraih Persija di BRI Liga 1 ini karena kita kehilangan 14 pemain sejak awal musim. Rasanya pendapat tersebut kurang kok pas. Karena seperti yang saya jabarkan di atas tadi, jika 10 dari 14 pemain tersebut sudah terlebih dahulu menghilang dari tim sebelum Persija berhasil menjuarai Piala Menpora 2021.
Kalau pun kita ingin menggunakan kebijakan melepas atau meminjamkan pemain sebagai acuan untuk mengkritisi penampilan Persija, maka kalimat yang lebih pas harusnya demikian. “Hasil kurang memuaskan Persija di dua seri awal BRI Liga 1 ini, akibat dari dilepasnya 4 pemain (Heri Susanto, Sandi Sute, Marc Klok, dan Alfath Faathier) setalah berhasil menjuarai Piala Menpora 2021”. Nah ini rasanya lebih pas.
Ok sampai di sini apakah sudah mulai ada gambaran? Saya yakin belum kan. Iya karena masih ada beberapa hal yang ingin saya ceritakan seperti bagaimana 4 pemain tersebut di atas dilepas oleh Persija setelah Piala Menpora, apa saja upaya yang sudah dilakukan untuk menutupi lubang yang ditinggalkan Klok, dan evaluasi apa yang akan dilakukan pada putaran kedua BRI Liga 1 2021 nanti.
Baik, kita akan bahas di bagian berikutnya ya, sampai jumpa.
Tetap semangat dan sukses selalu.
Salam,
Bambang Pamungkas