SECARA umum sukses dapat diartikan sebagai tercapainya sebuah tujuan. 

Nah, jika kita mengacu pada pengertian di atas, maka definisi sukses sendiri menjadi sangat beragam, karena sangat tergantung dari apa tujuan yang diperjuangkan oleh setiap orang.

Menjadi relatif karena yang paling mengerti tujuan dari perjuangan setiap orang, ya orang itu sendiri. Parameter sukses atau tidaknya seseorang pada akhirnya hanya bisa diukur oleh orang itu sendiri. Sejauh atau setinggi apa orang tersebut mematok target sebuah kesuksesannya.

Bagaimana dengan seorang atlet?

Menurut pendapat saya (boleh setuju, boleh tidak), ada dua jenis atlet yang dapat dikatakan sukses. Pertama adalah sukses pencapaian, dan kedua sukses peninggalan. Maksudnya begini, saya akan coba jabarkan.

Sukses pencapaian tolok ukurnya sangat sederhana dan kasat mata, yaitu dari berapa banyak gelar yang ia diperoleh semasa bermain, baik sebagai individu atau bersama tim di mana dia bermain. Sedang sukses peninggalan, dapat dilihat dari hal positif apa yang ia tinggalkan bagi generasi selanjutnya. Warisan atau legacy seperti ini biasanya berkaitan dengan aturan, tolok ukur, atau standarisasi baru. 

Dari dua jenis sukses tersebut di atas, golongan kedua adalah yang sepi peminat. Tidak hanya karena kurang populer dan cenderung terlupakan namun juga membutuhkan nyali, pemahaman, serta keberanian yang diikuti dengan konsekuensi yang juga tidak ringan.

Di era sepak bola moderen seperti saat ini Cristiano Ronaldo, dan Leonel Messi adalah dua contoh konkret dari sukses golongan pertama, yaitu pencapaian. Di mana dua pemain tersebut begitu superior dengan segala pencapaian mereka, baik secara individu maupun bersama tim yang mereka bela.

Sedang untuk sukses secara peninggalan, Jean-Marc Bosman rasanya adalah contoh yang paling tepat. Seorang pesepakbola Belgia era 90an yang berhasil memperjuangkan haknya untuk menentukan klub secara bebas, serta menolak segala bentuk diskriminasi oleh klub yang dapat merugikan masa depannya.

Bosman memang bukan pesepakbola terkenal, namun ketika kita berbicara mengenai legacy bagi generasi pesepakbola profesional setelah generasinya, maka mahu tidak mahu kita harus menyebut sosok yang revolusioner ini. Bosman membuat perubahan besar dalam tata cara jual-beli pesepakbola profesional. Kehidupan pesepakbola profesional berubah drastis setelah aturan Bosman ini diberlakukan. 

Aturan Bosman atau Bosman Rule adalah aturan yang mengizinkan para pesepakbola untuk menentukan kariernya dalam bursa transfer, saat masa kontraknya dengan klub tersisa enam bulan. Oleh badan arbitrase Uni Eropa aturan Bosman diputuskan pada tanggal 15 Desember 1995, dan kemudian diadopsi oleh FIFA sejak tahun 1999.

Sejak diberlakukan, aturan ini banyak membantu proses perpindahan pesepakbola profesional di seluruh dunia. Pemain memiliki posisi tawar yang lebih tinggi, lebih dihargai, serta bebas berpindah klub saat kontraknya berakhir. Klub dipaksa untuk memagari pemainnya dengan kontrak jangka panjang, jika tidak ingin kehilangan pemain terbaik mereka secara gratis ke klub lain.

Walaupun secara karir di lapangan Bosman jauh dari kata sukses. Namun perjuangannya di luar lapangan, tak bisa dimungkiri telah membuahkan sebuah warisan yang tak ternilai harganya, bagi pesepakbola profesional di seluruh dunia.

Sukses seperti ini yang sering terlupakan, tidak hanya oleh masyarakat awam, namun terkadang juga oleh para pesepakbola itu sendiri. Padahal mereka menjadi pihak yang paling diuntungkan oleh hasil dari pahit dan getirnya perjuangan Jean-Marc Bosman ketika itu.

Dari penjabaran di atas kita dapat memetakan, jika golongan sukses yang pertama lebih ditentukan oleh kemampuan (prestasi), sedang yang kedua lebih pada kemauan (keberanian). Faktor utama dari sukses pertama adalah pola kerja, sedang sukses kedua lebih dipengaruhi oleh pola pikir.

Apakah ada pesepakbola yang sukses dalam keduanya?

Tentu saja ada. Tidak banyak memang, dan dari beberapa tersebut satu yang paling terkenal adalah pesepakbola asal Brasil bernama Edson Arantes do Nascimento, atau lebih dikenal dengan nama Pele.

Sebagai pesepakbola, siapa yang tidak mengenal Pele dengan segala kesuksesannya di atas lapangan? Yang paling masyur tentu prestasinya membawa Brasil menjuarai Piala Dunia sebanyak 3 kali (1958, 1962, dan 1970). Belum lagi dengan gelar-gelar pribadi, atau bersama klub yang tak terhitung jumlahnya.

Di luar lapangan Pele juga berhasil mewariskan sesuatu yang tidak kalah luar biasa. Pada tanggal 24 Maret 1998 sejarah baru sepakbola Brasil dimulai, ketika peraturan hukum olah raga yang lebih dikenal dengan “Pele Law” disahkan melalui UU Brasil N.9.615/98. Pele Law sendiri mulai diberlakukan pada tahun 2001.

Undang-undang ini diperjuangkan oleh Pele yang kala itu menjabat sebagai Menteri Olahraga di Brasil. Dilatarbelakangi oleh keadaan di Federasi Olahraga Brasil yang saat itu dianggap banyak terjadi korupsi. Aspek-aspek yang diatur dalam Pele Law diantaranya adalah pembentukan badan liga, pembentukan badan usaha organisasi, peraturan tenaga kerja untuk atlet, arena olah raga, dan juga asuransi bagi atlet.

Berkat Pele Law terjadilah modernisasi dalam industri olah raga di Brasil khususnya sepak bola, karena federasi sepak bola Brasil tidak lagi dapat memonopoli semua kegiatan sepak bola di negara tersebut.

Mengapa tiba-tiba saya menulis mengenai hal-hal tersebut di atas?

Begini, beberapa waktu lalu secara tidak sengaja, saya menemukan beberapa file yang berkaitan dengan APPI (Asosiasi Pesepakbola Profesional Indonesia) dalam salah satu folder di laptop saya. Di mana selama dalam rentang waktu antara tahun 2011 hingga 2018, saya menjabat sebagai wakil presiden dalam organisasi tersebut, dan Ponaryo Astaman sebagai presidennya.

APPI sendiri dibentuk untuk memperjuangkan hak-hak pesepakbola profesional di Indonesia. Perjuangan yang sudah barang tentu tidak mudah. Begitu banyak terjangan badai yang mengiringi perjalanannya. Perlawanan serta penolakan silih berganti hadir dari mereka yang merasa terganggu dangan eksistensi, dan perjuangan para pesepakbola profesional di Indonesia.

Saya masih ingat, setelah kurang lebih 6 tahun memperjuangkan hak-hak pesepakbola profesional di Indonesia, akhirnya pada tanggal 8 Januari 2017 dalam konggres tahunan PSSI yang diselenggarakan di kota Bandung, APPI secara resmi diakui sebagai mitra kerja PSSI.

Hari itu menjadi hari bersejarah bagi persepakbolaan Indonesia. Di mana akhirnya para pesepakbola profesional di Indonesia memiliki representasi yang sah, baik di mata PSSI dan FIFA untuk memperjuangkan hak-haknya. Oleh karena itu menjadi aneh, ketika (misalnya) saat ini masih ada pesepakbola profesional di Indonesia yang enggan untuk bergabung menjadi anggota APPI.

Bagi pesepakbola profesional di Indonesia, bermitranya APPI dengan PSSI dengan sendirinya dibarengi dengan sebuah tanggung jawab yang tidak ringan. Tanggung jawab untuk meningkatkan profesionalisme dan kualitas diri sebagai seorang pesepakbola profesional, baik di dalam maupun di luar lapangan. Tidak hanya profesional dalam hak dan kewajiban namun juga profesional dalam berpikir, berperilaku, bersikap, serta mengambil keputusan.

Yang membedakan pesepakbola profesional dengan non profesional adalah kesepakat kontrak kerja. Oleh karena itu pemahaman atas segala sesuatu, yang tertera dalam kontrak kerja menjadi teramat sangat penting, karena dari sanalah sumber pedoman utamanya.

APPI sendiri ketika itu digawangi oleh para pesepakbola yang boleh dikatakan cukup malang-melintang di persepakbolaan Indonesia. Selain saya dan Ponaryo Astaman terdapat juga Bima Sakti, Kurniawan Dwi Yulianto, Firman Utina, Ricardo Salampesi, Ahmad Bustomi, Greg Nwakolo, dan juga Robbie Gaspar.

Kami adalah para pesepakbola yang secara karir di atas lapangan tidaklah sukses (setidaknya demikian penilaian dari mereka yang berseberangan dengan APPI), sehingga tidak cukup qualified untuk masuk pada golongan pertama. Dan oleh karena itulah, melalui APPI kami mencoba untuk merajut sukses sebagai golongan yang kedua, yaitu dengan mencoba meninggalkan sebuah warisan pondasi yang kokoh bagi perlindungan pesepakbola profesional di masa yang akan datang.

Akhir sekali, bagi kalian para pesepakbola profesional di Indonesia, ingin masuk pada golongan manakah kalian?

Seperti Cristiano Ronaldo atau Leonel Messi? Seperti Jean-Marc Bosman? Atau mungkin ingin mengikuti apa yang dilakukan oleh Pele?

Pilihan ada di tangan kalian.

Tetap semangat dan sukses selalu.

 

Salam,

Bambang Pamungkas