Beberapa minggu lalu di tengah ingar-bingar kompetisi tertinggi sepak bola di Indonesia, kita dikagetkan dengan unjuk rasa yang dilakukan oleh para pemain PSMS Medan untuk menuntut hak-hak mereka. Sebuah kejadian yang secara tidak langsung mengingatkan kita bahwa masih ada permasalahan yang belum terselesaikan dalam sepak bola kita ini.


Secara pribadi saya sempat bertemu dengan para pemain PSMS Medan tersebut. Kami banyak bercerita mengenai kronologi permasalahan, beserta kejadian-kejadian yang telah mereka alami. Di samping cerita-cerita yang tentu saja sangat mengharukan serta tragis, terselip juga beberapa cerita yang menurut saya unik dan menarik.


Satu di antaranya adalah ketika mereka bertemu dengan Ketua Komisi Disiplin PSSI, Hinca Panjaitan. Ketika itu Ketua Komdis PSSI tersebut berkomentar: “Kalian kan pemain profesional, kok bodoh kali? Tiga bulan tidak dibayar tapi masih saja mau main.”


Komentar yang juga dimuat di banyak media online nasional itu, sontak memantik opini masyarakat luas. Banyak yang menilai hal tersebut kurang pantas keluar dari mulut seorang petinggi PSSI. Tidak sedikit pula yang bertanya, di mana empati seorang pemimpin di saat bawahan atau anggota mereka mengalami musibah.


Jika komentar tersebut benar adanya, maka sejujurnya saya memiliki pendapat yang lain dari kebanyakan orang. Di saat banyak orang menghujat komentar Ketua Komisi Disiplin PSSI tersebut, saya malah berpikir sebaliknya. Saya ingin mengucapkan terima kasih untuk komentar tersebut. Karena secara tersirat, sebenarnya kalimat tersebut juga dapat diartikan sebagai sebuah himbauan. Himbauan agar para pemain di Indonesia lebih pintar dalam berpikir, menyikapi keadaan, serta lebih berani dalam memperjuangkan hak-hak mereka.


Di tengah arus gelombang pengurus PSSI yang selalu meminta para pemain untuk terus bersabar dan berkorban, demi kelangsungan berjalannya kompetisi. Seorang Ketua Komisi Disiplin PSSI berani mengambil sikap lain, dengan menyarankan para pemain untuk berhenti bermain jika tidak dibayar. Hal ini sudah barang tentu menjadi sebuah sinyal yang sangat positif.


Tentu kita masih ingat ketika di awal musim, 10 pemain Persija Jakarta enggan menandatangani perpanjangan kontrak untuk bermain di musim ini. Juga bagaimana PSPS Pekanbaru yang melakukan lawatan ke Papua, dengan hanya berbekal sepuluh pemain dan dua pejaga gawang. Sehingga mereka harus memasang seorang penjaga gawang sebagai pemain lapangan, guna menggenapi kuota 11 pemain di dalam lapangan.


Masih melekat juga di benak kita, bagaimana nasib Persibo Bojonegoro yang menjadi bulan-bulanan di kompetisi level Asia, Piala AFC. Bahkan saat mereka melawat ke kandang Sun Hei SC Hongkong, pertandingan harus dihentikan di pertengahan babak kedua karena jumlah pemain mereka di lapangan di bawah batas minimal.


Belum lagi bagaimana partai antara Barito Putra melawan Persiwa Wamena, yang juga harus dihentikan di pertengahan laga. Hal tersebut dikarenakan Persiwa Wamena hanya bermain dengan tujuh pemain sejak awal pertandingan. Dan akhirnya hanya tersisa enam pemain saja, setelah penjaga gawang mereka cedera.


Serta barang tentu yang terakhir adalah bagaimana ujuk rasa yang dilakukan para pemain PSMS Medan dalam menuntut hak-hak mereka di Jakarta. Hal tersebut belum termasuk dengan banyaknya partai-partai di IPL yang berakhir dengan kemenangan walk out, karena salah satu tim tidak hadir di lapangan pertandingan.


Semua kejadian di atas, tidak lain dan tidak bukan terjadi karena hak-hak para pemain yang belum terselesaikan selama berbulan-bulan. Hal tersebut membuat kesabaran para pemain, sudah sampai pada batas maksimal. Perlahan tapi pasti para pemain mulai sadar, bahwa mereka harus berani bersikap, dan mulai memperjuangkan hak-hak mereka masing-masing.


Rasa kebersamaan pemain di Indonesia itu bukannya tidak ada, namun masih sangat kurang. Mereka juga bukannya tidak kompak, namun hal tersebut masih sangat situasional. Rasa senasib dan sepenanggungan mereka rasanya juga masih jauh panggang daripada api.


Oleh karena itu berdasarkan fakta-fakta tersebut, maka saya menyebut komentar Ketua Komisi Disiplin PSSI Hinca Panjaitan, sebagai sebuah titik terang dari permasalahan ini. Ketika himbauan (walupun secara tidak langsung) itu keluar dari Ketua Komisi Disiplin PSSI, maka seharusnya para pemain tidak akan takut dan ragu lagi, untuk menyuarakan pendapat, serta memperjuangkan hak-hak mereka. Toh Ketua Komdis PSSI sudah mendukung mereka.


Jika sudah demikian, maka pertanyaan selanjutnya adalah, “Apakah Ketua Komdis PSSI Hinca Panjaitan bersedia, jika komentarnya tersebut dianggap sebagai himbauan kepada seluruh pemain, agar tidak bodoh dan berani bersikap menentang ketidakadilan ini?”


Jika bersedia, tentu sebagai Wakil Presiden Asosiasi Pesepakbola Profesional Indonesia (APPI), saya harus banyak berterima kasih. Namun jika tidak, maka seyogyanya yang bersangkutan dapat lebih arif dan bijaksana dalam mengeluarkan komentar atau gurauan apa pun yang berkaitan dengan permasalahan ini.


Selesai….