NAMA Moedjeran dan Kimah mungkin sudah langka di kalangan orang Betawi. Tapi itulah nama kakek dan nenek saya. Kakek saya bernama Moedjeran berasal dari Petojo, sementara nenek saya bernama Kimah asal Desa Nroktok Tangerang. Meskipun keduanya adalah orang tua dari ayah saya, entah kenapa kami, yaitu saya, kakak dan adik-adik saya, memanggil mereka dengan sebutan Bapak dan Emak. Kami sering menginap di rumah mereka di daerah Tomang. Demikian juga ketika mereka pindah ke daerah Cempaka Putih, kami juga sering menginap disana. Seperti pada umumnya, cucu selalu dimanjakan oleh kakek dan neneknya. Mungkin itulah yang membuat kami betah tinggal di rumah mereka.

Kedekatan kami dengan mereka tidak sebatas nginep di rumah. Tapi Bapak juga menularkan hobinya nonton bola pada ketiga cucu laki-lakinya itu. Kami seringkali diajak ke Senayan untuk menyaksikan Tim Nasional Indonesia bertanding. Kebetulan Bapak adalah seorang Kepala Bagian Rumah Tangga di salah satu Bank Pemerintah, jadi sangat mudah untuk mendapatkan tiket pertandingan Tim Nasional. Bahkan seringkali Bapak menunjukkan kepada kami Tiket Terusan yang ia peroleh. Bayangkan, jaman itu kita sebetulnya sudah mengeluarkan Tiket Terusan. Emak sebetulnya sama sekali tidak tertarik pada sepakbola. Itu bisa dilihat ketika duduk di tribun. Kegiatannya hanya makan atau menyiapkan makanan untuk Bapak dan para cucu. Memang setiap kali kami diajak Bapak dan Emak nonton bola, ibu saya pasti buatkan bacang atau lontong yang rasanya ga kalah dengan bacang Pandor sekalipun.

Pra Olympiade 1976, salah satu yang paling berkesan di benak saya. Indonesia lolos ke final melawan Korea Utara. Bila menang, maka Indonesia akan lolos ke Olympiade. Bapak mengajak kami untuk berangkat lebih awal karena khawatir stadion penuh dan ga kebagian tempat yang bagus. Kami berhasil duduk di VIP Barat bagian tengah. Cukup dekat untuk melihat para pemain berlaga. Stadion penuh padat menambah tegang jalannya pertandingan. Salah satu kenikmatan dalam menyaksikan sepakbola secara langsung adalah, kita bebas mengeluarkan emosi marah ataupun luapan kegembiraan. Seringkali ketegangan yang tercipta disana membuat kita seperti hidup di alam bawah sadar. Contohnya pemuda yang nonton di belakang kami. Awalnya ia duduk tenang. Semakin lama raut wajahnya semakin tegang. Lama-lama ketegangan disertai dengan gerakan tangan. Beberapa kali ia berdiri dan melompat. Bahkan akhirnya mulai keluar teriakan kekecewaan ataupun amarah ketika Tim Nasional gagal mencetak gol atau lawan melakukan pelanggaran keras. Saat adu penalti berakhir dengan kegagalan Indonesia, pemuda itu berlari ke depan sambil berteriak meluapkan amarahnya. Tidak hanya itu, ia juga mengambil sepatunya untuk dilempar sekuat tenaga ke arah lapangan. Entah siapa yang jadi sasaran tapi ketika ia mau pulang, baru sadar kalau sepatunya tinggal sebelah. Diiringi tawa para penonton lainnya, pemuda itu akhirnya melempar lagi sepatunya yang tinggal sebelah.

Materi pemain Persija nyaris sama dengan Tim Nasional. Tercatat nama-nama pemain nasional yang memperkuat Persija Jakarta seperti Roni Paslah, Sutan Harhara, Oyong Liza, Suaeb Rizal, Sofyan Hadi, Junaedi Abdillah, Andi Lala, Iswadi Idris hingga Risdianto. Ketertarikan akan pemain serta embel-embel Jakarta itulah yang membuat saya dan kedua saudara lelaki saya lebih memilih Persija Jakarta sebagai tim yang didukung. Tapi beda dengan Jakmania sekarang, jaman dulu kami lebih sering menyaksikan pertandingan lewat layar kaca atau bahkan mendengarkan radio. Itupun sudah cukup menegangkan bagi kami. Untuk hadir ke stadion langsung, biasanya kalau Bapak dan Emak datang menjemput. Jaman dulu kan kendaraan tidak semudah sekarang. Baru di saat kuliah, saya bisa merasakan lagi hadir di Senayan namun kali ini bersama rekan-rekan kuliah saya.

Tahun 1997 menjadi awal perubahan dalam kehidupan saya. Kalau dulu sepakbola memang benar-benar hanya sebagai tontonan, tapi sejak 1997 setelah the Jakmania lahir, kehidupan saya jadi lebih sering disibukkan dengan urusan sepakbola atau lebih tepatnya urusan Persija. Kala itu Gubernur Jakarta yang akrab dipanggil Bang Yos begitu gencar melakukan perbaikan di tubuh Persija. Pemain-pemain top dari Arema Malang dan Bandung Raya didatangkan, bergabung dengan beberapa pemain Persija. Karena jadi pengurus di the Jakmania, otomatis setiap pertandingan saya hadir. Tidak cuma sekedar hadir tapi juga mempersiapkan beberapa hal seperti kaos, spanduk, drum, hingga lagu-lagu yang akan dinyanyikan nanti. Perlahan tapi pasti, tenaga, pikiran, waktu hingga materi terfokus kesana. Dunia lain banyak ditinggalkan.

Keberhasilan Yang Tertunda. Liga Indonesia 4 dihentikan karena kerusuhan politik. Bang Yos tetap berambisi agar Persija dapat meraih gelar juara. Materi pemain semakin diperkuat. Liga Indonesia 5 Persija lolos hingga semifinal bertemu dengan PSIS Semarang. Jumlah the Jakmania saat itu belum begitu banyak. Hanya memenuhi tribun belakang gawang utara dan sebagian lagi klas 2 di Barat. Tapi Pemda DKI saat itu juga mengerahkan pasukannya dari berbagai kelurahan di Jakarta. Partai ini akhirnya dimenangkan PSIS Semarang dengan skor 1-0. Raut wajah kecewa tampak di kubu the Jakmania. Perjuangan tak kenal lelah mengawal Persija selama 1 musim penuh ternyata belum cukup mengantar Persija menjadi yang terbaik di Republik ini. Mimpi Yang Berkepanjangan.

Persija dan the Jakmania berbenah. Saya maju menggantikan Gugun Gondrong sebagai Ketua Umum. Jakmania harus tumbuh lebih besar dari segi kuantitas dan kualitas. Pengangkatan Korwil jadi jurus ampuh untuk meningkatkan perekrutan anggota. Banyak anggota tentunya dukungan yang diberikan akan lebih terasa bagi Persija. Oren semakin mendominasi stadion. Kaos anggota bertuliskan Gue Anak Jakarta bertebaran di seluruh pelosok Jakarta. Semangat juara terus ditumbuhkan oleh Bang Yos. Manajemen berubah. Tidak ada lagi nama Mba Diza, Bang Mimi dan Mas Edi yang banyak membantu membesarkan Jakmania. Hadir Bapak Aang Hamid Suganda sebagai Manajer. Pemain baru juga banyak didatangkan. Ali Sunan pemain terbaik Liga Indonesia 5 berganti kostum menjadi seorang Macan Kemayoran. Barisan tengah diisi nama-nama beken seperti Dedi Umarela, Khair Rivo dan Imran Nahumaruri. Seorang striker muda dari Getas Solo, Bambang Pamungkas juga bergabung. Pelatih berkebangsaan Bulgaria, Ivan Kolev didatangkan. Kedekatan antara Pengurus the Jakmania dengan Pemain semakin terjalin berkat Bang Yos yang sering mengadakan acara pertemuan antara keduanya. Seringkali saya termenung, membayangkan bagaimana reaksi almarhum kakek saya melihat kedekatan saya dengan pemain-pemain Persija. Kakek saya meninggal akibat penyakit hepatitis yand dideritanya. Saat perkenalan tim di depan the Jakmania, sebuah spanduk terbentang, “Sekarang Atau Tidak Sama Sekali”. Kalimat yang menunjukkan tekad kuat untuk meraih gelar juara.

Senayan menjadi saksi ketika 4 suporter kreatif di Indonesia bertemu dalam babak 8 besar. The Jakmania, Aremania, Pasoepati dan Benteng Mania. Sebagai tuan rumah the Jakmania menyambut tamu dengan spanduk bertuliskan Selamat Datang Sportivitas. Ini menjadi awal kedekatan the Jakmania terutama dengan Aremania. Kalah dari Arema 1-2, menang lawan Pelita Solo 2-1 dan seri 1-1 dengan Persikota, meloloskan Persija bertemu PSM Makassar. Perang Bintang. Itu yang terjadi di semifinal. Materi PSM saat itu memang wah banget. Kurniawan Dwi Julianto, Miro Baldo Bento, Uston Nawawi dan Hendro Kartiko adalah sebagian dari deretan pemain bintang yang memperkuat Tim Juku Eja. Di hadapan para the Jakmania, sekali lagi Persija harus mengubur impiannya menjadi juara karena bertekuk lutut dari lawannya. Badan rasanya lemas seperti tak bertulang. Rasanya seperti menjadi panitia sebuah kegiatan yang berjalan setahun tapi berakhir dengan kegagalan. Mau nangis malu, mau marah bingung marah ke siapa. Kebayang kehidupan berikutnya akan dipenuhi pertanyaan “Persija ngapa kalah mulu?”. Padahal masuk final, tapi masih dibilang kalah mulu.

Liga 7 the Jakmania mengeluarkan tema SATU JAKARTA SATU. Kerinduan akan gelar juara tercermin dari tema tersebut. Terakhir kali Persija juara itu di jaman Perserikatan tahun 1979. Sejauh ini sudah 9x Persija merajai kancah sepakbola nasional. Sekali lagi meraih juara, genap 10 gelar. Sekedar mencontek Seri A Italia, bila sudah 10x meraih juara, berhak atas satu bintang di atas logo klub. Persija lolos babak 8 besar di Makassar. 128 the Jakmania berangkat dengan menggunakan transportasi laut. Selama 2 hari perjalanan di laut dan 2 hari lagi pas pulangnya, jadi pengalaman yang tak terlupakan. Apalagi selama 6 hari di Makassar, kami menginap di lapangan karebosi dengan mendirikan tenda yang terbuat dari spanduk-spanduk. Panasnya matahari di Karebosi, suasana malam yang ditemani ratusan nyamuk, malah jadi kenangan indah setelah Persija berhasil keluar sebagai juara grup disana. Semifinal di Senayan, Persija mengalahkan Persebaya Surabaya. Final impian Persija vs PSM terjadi. Kesempatan melakukan revans atas kekalahan di semifinal tahun lalu. 2 gol Bepe dan 1 gol Imran Nahumaruri membawa Jakmania seperti terbang ke awang-awang. JUARA! Setelah sekian tahun penantian akhirnya gelar itu datang juga. Ribuan the Jakmania berjalan kaki menuju Bunderan HI, dan ratusan di antaranya merayakan dengan menceburkan diri ke kolam di Bunderan HI.

Beberapa hari kemudian, Bang Yos mengadakan pesta. Beberapa artis ibukota didatangkan untuk menghibur Pemain Persija dan the Jakmania. Seorang Lurah Menteng yang duduk di sebelah Bang Yos tiba-tiba memanggil saya. Beliau secara spontan melepas jam tangan yang dikenakannya untuk diberikan kepada saya. Kaulan berikutnya juga dijalankan. Mendaki gunung Ciremai. Di Puncak Ciremai, bendera Persija berkibar dengan gagah. Lengkap sudah kebahagiaan ini. Menghadapi Liga berikutnya, Persija menyiapkan kostum baru dengan sebuah logo bintang di atas logo Persija. Sambil menatap logo tersebut, saya tersenyum. Ingatan kembali kepada kakek saya. Beliau yang memperkenalkan sepakbola kepada saya. Beliau yang membuat saya jadi kecanduan Persija hingga sekarang. Seandainya beliau masih ada, saya pasti akan belikan kaos Persija terbaru untuknya.

JADI SATU BINTANG !

 

FERRY INDRASJARIEF