BUKAN kita namanya, jika segala sesuatunya tidak diperdebatkan. Jelas bukan kita, jika perdebatan demi perdebatan itu tidak disangkutpautkan kemana-mana. Dan sudah pasti bukan kita lah pokoknya, jika perdebatan yang kemana-mana itu ujung-ujungnya tidak nyangkut ke ranah politik. Apa lagi di tahun-tahun politik, seperti saat ini.
Sama halnya dengan apa yang terjadi akhir-akhir ini. Di saat Indonesia mendapatkan “anugerah” untuk menjadi tuan rumah Piala Dunia U17, ada saja perdebatan-perdebatan yang menurut hemat saya tidak lah perlu. Yang paling menyita perhatian, tentu keberadaan salah satu stadion yang rencananya akan menjadi venue pertandingan di Piala Dunia U17 nanti. Apa lagi kalau bukan JIS atau Jakarta International Stadium.
Berbicara mengenai stadion baru di Jakarta, saya jadi teringat dengan sebuah wawancara yang saya lakukan pada sekitar tahun 2012an. Ketika itu salah seorang wartawan bertanya kepada saya, tentang bagaimana tanggapan saya dengan tidak segera terealisasinya janji stadion baru bagi Persija.
Jawaban saya ketika itu kurang lebih demikian:
“Permasalahan kota Jakarta ini sangat kompleks. Pemerintah daerah DKI Jakarta, dalam hal ini Gubernur, harus bisa menentukan skala prioritas dalam menyelesaikan segala permasalahan, sekaligus membangun kota Jakarta. Apakah sepak bola Jakarta perlu perhatian? Tentu saja. Tapi apakah permasalahan stadion baru ini harus dijadikan sebagai prioritas utama, rasanya juga tidak demikian. Banyak permasalahan di Jakarta yang sifatnya lebih mendasar dan efek cakupannya lebih luas yang harus terlebih dulu diprioritaskan. Jadi, secara pribadi saya sangat memahami, jika stadion baru itu belum dapat dibangun. Toh di Jakarta masih ada Gelora Bung Karno”.
Jawaban yang membuat si penanya nampak tidak puas, terlihat dari mimik wajahnya. Sebagai insan sepak bola Jakarta, mungkin ia berharap saya akan menumpahkan segala uneg-uneg saya, atas belum teralisasinya janji stadion baru tersebut. Saya paham arah tuju pertanyaan tersebut, mengingat suasana ketika itu mendekati pemilihan kepala daerah DKI. Dan saya memang tidak ingin masuk dalam lingkaran perdebatan, dan pembentukan opini dalam area tersebut.
Kembali ke Jakarta International Stadium. Kebetulan, saya pernah berkesempatan untuk bermain dan menonton pertandingan, di stadion megah berkapasitas 82 ribu tempat duduk tersebut. Karena latar belakang saya adalah mantan atlet, atau bahasa kerennya praktisi olah raga. Maka saya hanya ingin memberikan pendapat dari sisi pengalaman saya saja.
Saya juga tidak ingin terseret arus, untuk kemudian ikut berdebat dari sisi politik, atau bahkan regulasi FIFA terkait standarisasi stadion. Mengapa? Karena kedua hal tersebut sama-sama “tidak” saya pahami. Kalau pun ada beberapa di antaranya yang sedikit banyak saya mengerti, toh bukan menjadi kewajiban saya untuk kemudian “menjelaskan”.
Saya tidak sedang mengambil posisi untuk berhadapan dengan siapa pun. Pun demikian, saya juga tidak sedang ingin mendekat kepada pihak mana pun. Apa yang saya sampaikan melalui tulisan ini hanyalah apa yang ada dalam pikiran saya. Apakah tulisan ini menyinggung atau sebaliknya menyenangkan siapa pun, sejujurnya saya tidak peduli.
Dalam banyak hal, kita memang masih sering terjebak dalam situasi di mana kita hanya melihat sebuah pendapat dari sisi siapa yang berbicara, bukan apa yang dibicarakan. Kita hanya terpaku kepada figurnya saja, bukan esensi dari apa yang disampaikan. Ini menjadi berbahaya. Karena, jika kita terlalu mengglorifikasi seseorang atau golongan tertentu, maka yang terjadi kemudian adalah fanatisme membabi buta. Otak kita tidak lagi dapat berpikir secara rasional dan juga relevan.
Saya tidak sedang berkata, bahwa mereka yang sudah berpendapat selama ini tidak memiliki kompetensi, tentu saja tidak demikian. Namun lebih kepada, pihak-pihak tersebut tidak lah memiliki kewenangan untuk kemudian "menentukan". Artinya, apa pun yang keluar dari mereka, seharusnya hanya kita jadikan sebagai sebuah pendapat saja, sesuai dengan disiplin ilmu yang mereka miliki. Bukan sebagai "acuan pasti” dalam menentukan kelayakan stadion JIS ini. Karena pada akhirnya, hanya otoritas yang berwenang yang berhak memverifikasi dan memutuskan.
Nah, dalam kaitan kelayakan Jakarta International Stadium ini, tentu hanya FIFA lah yang paling berhak. Mengapa demikian? Karena saya meyakini, jika standarisasi kelayakan dan keamanan yang digunakan oleh FIFA sifatnya menyeluruh. Tidak hanya terkait rumput saja, bangunan saja, akses saja, namun juga fasilitas-fasilitas penunjang lain secara menyeluruh. Baik di dalam stadion pun demikian di luar stadion, agar pertandingan dapat dilaksanakan dengan nyaman dan yang paling penting tentu aman.
Menjadi tidak pas, jika kemudian kita hanya menilai dari sisi rumputnya saja, bangunannya saja, aksesnya saja, atau fasilitas-fasilitas penunjangnya saja. Semuanya harus dilihat secara lebih komprehensif.
Lebih dari itu, walau pun dulu saya menyebutkan jika keberadaan stadion baru belum menjadi prioritas bagi Jakarta, kehadiran Jakarta International Stadium ini harus disyukuri dan disambut dengan suka cita. Jika sebelumnya hanya ada Gelora Bung Karno, saat ini Jakarta memiliki 2 stadion yang tidak hanya besar namun juga megah. Kehadiran JIS membuat segala aktivitas olah raga dan hiburan dalam skala besar, tidak hanya bisa diselenggarakan di Gelora Bung Karno. Tentu ini menjadi hal yang sangat baik, tidak hanya bagi Jakarta namun juga Indonesia.
Jika ada yang bertanya kepada saya tentang stadion JIS, maka jawaban saya adalah stadion ini luar biasa. Berdasarkan pengalaman saya bermain di sana, kualitas rumput JIS sangat baik, dan saya tidak mengalami kendala apa pun saat bermain di sana. Struktur dan arsitektur bangunan juga sangat moderen dan megah. Fasilitas-fasilitas penunjang terselenggaranya pertandingan cukup lengkap dan sangat memadai.
Namun demikian, masih berdasarkan pengalaman saya, ada beberapa hal yang juga tidak bisa kita kesampingkan begitu saja. Fakta bahwa ada salah satu tembok pembatas penonton yang roboh, menumpuknya suporter di satu titik saat ingin masuk ke dalam area stadion karena terbatasnya akses, juga harus menjadi perhatian.
Karena tujuan utamanya adalah agar pertandingan dapat dilaksanakan dengan baik, nyaman, dan juga aman bagi semuanya. Tidak hanya bagi pemain, namun juga para penonton yang hadir, serta masyarakat sekitarnya.
Kembali ke perihal pihak yang berwenang di awal tadi.
Apa yang saya sampaikan di atas ya hanyalah sekadar pendapat saja, tidak lebih dan tidak kurang. Tidak pas, jika kemudian pendapat saya tadi dijadikan acuan, hanya untuk mendukung "kepentingan" pihak-pihak tertentu. Sama halnya dengan pendapat-pendapat yang selama ini sudah berkembang (dari siapa pun), cukup diposisikan sebagai pendapat saja, dan tidak perlu diperdebatkan dengan terlalu berlebihan. Karena sekali lagi, hanya FIFA lah yang berhak dan berwenang untuk memutuskan.
Beberapa waktu yang lalu, FIFA sudah hadir di Indonesia guna melihat stadion-stadion yang diajukan untuk menjadi venue pertandingan Piala Dunia U17. Jadi, ya kita tunggu saja keputusan FIFA terkait standarisasi dan kelayakan stadion-stadion yang telah diajukan, termasuk juga JIS. Jikalau nantinya ternyata ada beberapa catatan yang mengharuskan kita untuk melakukan penyempurnaan, ya kita terima saja dengan lapang dada. Jangan kemudian diperdebatkan lagi, dengan berpikir jika FIFA telah dipengaruhi oleh pihak-pihak tertentu dalam mengambil keputusan.
Jika kata dilengkapi, renovasi, perbaikan, pemugaran, penyempurnaan atau apa lah itu dirasa kurang bisa diterima dan berpotensi menimbulkan gesekan. Mengapa kita tidak coba menggunakan diksi yang mungkin lebih bisa diterima semua kalangan, misalnya dipercantik atau diperganteng saja.
Analoginya begini. Ketika kita ingin menghadiri acara resmi atau pernikahan, maka kita akan memilih baju yang rapi dan bagus, bahkan bila perlu ya pergi ke salon untuk merapikan rambut atau merias diri. Bukan berarti kita tidak merasa cantik atau ganteng (karena JIS memang sudah cantik atau ganteng) namun lebih kepada agar lebih anggun, menawan, dan juga percaya diri (aman). Sesederhana itu kan?
Jadi, sudah lah mari kita sudahi saja perdebatan-perdebatan yang tidak perlu ini. Atau mungkin kita perlu mengganti nama Jakarta International Stadium, menjadi Jakarta Independence Stadium. Agar kita dapat memerdekakan stadion ini dari segala unsur yang berpotensi menimbulkan perpecahan, serta mengembalikan JIS kepada fungs-fungsi dasarnya sebagai sebuah stadion olah raga.
Akhir sekali:
Andai saja semangatnya sama. Rasanya bisa saja “mempercantik atau memperganteng” Jakarta International Stadium, tanpa harus membuat pemberitaan yang terlalu mengundang perdebatan. Sebaliknya, mereka yang merasa terusik dengan rencana perbaikan JIS, seharusnya juga tidak perlu terlalu khawatir. Gelora Bung Karno saja yang sudah mengalami berkali-kali renovasi, bahkan pernah berganti nama menjadi Stadion Utama Senayan melalui Keputusan Presiden No. 4/1984, sebelum dikembalikan melalui Keputusan Presiden No. 7/2001 pun. Sampai sekarang (dan saya meyakini sampai kapan pun) orang tidak akan lupa dengan siapa penggagas berdirinya stadion tersebut.
Kegaduhan ini terjadi, ya karena kita semua masih belum bisa meninggalkan budaya kita untuk memperdebatkan hal-hal yang tidak esensial saja. Di saat negara tetangga sudah berdiskusi tentang penggunaan robot untuk menggantikan tugas-tugas polisi. Kita masih saja mbulet memperdebatkan siapa di antara Cornelia Agatha dan Maudy Kusnaedi yang paling pas menjadi pendamping Rano Karno.
Tetap semangat dan sukses selalu.
Salam,
Bambang Pamungkas