Sudah lama tulisan ini saya buat, dan tersimpan rapi dalam file “artikel basah" di laptop saya. Sudah lama juga gejolak ini mengendap dalam lorong pemberontakan pikiran saya. Entah berapa korban yang telah berjatuhan. Entah berapa banyak sudah kuntum bunga yang tak sanggup mekar, dan akhirnya harus rebah berkalang tanah karena kesalahan ini. Sayang, sepertinya kita tidak pernah mahu belajar dari kesalahan menahun tersebut.
Dalam beberapa kesempatan saya sering berkata, jika musuh terbesar seorang atlet ada tiga yaitu cedera, kejenuhan, dan popularitas. Dari tiga hal tersebut popularitas menjadi yang paling berbahaya. Apa lagi di era sosial media yang begitu dasyat seperti saat ini.
Apa yang ingin saya utarakan ini sebenarnya barang lama, hampir semua orang sudah membahasnya. Namun rasanya kita kok seperti kurang memahami betul esensi yang kita bahas. Bahaya tentang popularitas utamanya bagi pesepak bola muda, rasanya sudah bukan pembahasan baru. Bangsa kita ini memang paling jago untuk urusan diskusi, sayangnya tidak pernah diikuti dengan implementasi secara kongkret di lapangan. Kita sadar akan bahayanya, namun tidak dibarengi dengan tidakan preventive agar hal tersebut tidak terulang kembali.
Pembahasan publik (pemberitaan) tentang talenta pesepak bola muda yang baru muncul, selalu terkesan berlebihan. Hal tersebut tanpa kita sadari mengganggu jalannya proses pembentukan karakter mereka, baik sebagai pesepak bola maupun sebagai pribadi. Entah berapa banyak talenta muda potensial kita, yang gagal melewati proses menjadi pesepak bola profesional secara utuh, karena over eksploitasi tersebut.
Dalam setiap munculnya talenta pesepak bola baru, kita selalu menggunakan istilah "The Next" untuk mengungkapkan bentuk atensi, kekaguman, atau dukungan kita terhadap bakat tersebut. Hal yang sejak dulu (saya masih muda) saya tidak setuju. The next ini dapat atau boleh diartikan dengan berikutnya, selanjutnya, atau penerus.
Menurut pendapat saya (kalo ada yang tidak setuju tentu boleh), predikat "the next" ini kok seperti “merendahkan”. Maksud saya begini, ambil contoh misalnya ada talenta pesepak bola potensial, katakanlah namanya Mustofa. Kemudian si Mustofa ini dijuluki sebagai The Next Bambang Pamungkas. Menurut saya julukan semacam itu bukanlah sebuah dukungan, melainkan malah bentuk under estimate kita pada talenta Mustofa.
Jika saya menjadi Mustofa maka saya akan "marah" (dalam arti positif). Walaupun katakanlah si Mustofa ini misalnya mengidolakan Bambang Pamungkas, namun dihakimi jika prestasinya paling mentok seperti Bambang Pamungkas, maka Mustofa layak marah.
Kedepan sepak bola Indonesia tidak butuh Bambang Pamungkas. Secara prestasi, apa yang Bambang Pamungkas pernah berikan untuk Indonesia? tidak ada. Nah, apakah kita ingin Mustofa seperti Bambang Pamungkas yang tidak mampu memberikan apa-apa buat bangsa ini? tentu kita tidak berharap demikian.
Menganggap Mustofa adalah the next Bambang Pamungkas, dapat diartikan menganggap Mustofa hanya akan mengulangi apa yang dicapai Bambang Pamungkas. Menurut saya ini sebuah “penghinaan” terhadap talenta besar Mustofa. Dan Mustofa harus terprovokasi (dalam arti positif) dengan julukan itu.
Kisah Bambang Pamungkas dengan sepak bola Indonesia sudah selesai. Sepak Bola Indonesia butuh Mustofa (atau pemain lain) dengan segala kisah, inspirasi, dan prestasinya sendiri. Yang kita semua berharap, semoga lebih baik dari si Bambang tadi.
Kalaupun kita ingin membuat perumpamaan dengan kata the next maka hanya ada dua tim yang pemain-pemainnya layak disebut setelah kata the next tersebut, yaitu anggota tim nasional SEA Games 1987, dan SEA Games 1991. Karena hanya dua tim itulah yang berhasil mempersembahkan gelar untuk Indonesia. Jadi standar (minimal) patokan yang digunakan adalah pemain-pemain dari dua tim tersebut.
The next Ponirin Meka, Marzuki Nyakmad, Patar Tambunan, Azhari Rangkuti, Rully Nere, Herry Kiswanto, Ricky Yakobi, Ribut Waidi (1987). Atau the next Edy Harto, Ferril Hattu, Sudirman, Robby Darwis, Rocky Putiray, Kas Hartadi, Widodo C Putro (1991). Selain pemain-pemain dari dua tim tersebut menurut saya pribadi standarnya terlalu rendah.
Selain dari pemain-pemain yang saya sebut di atas, kita sama saja “menjustifikasi” jika nantinya talenta muda tadi paling mentok ya seperti figur pembandingnya tadi, gagal mempersembahkan gelar buat Indonesia. Ini yang saya sebut meng-under estimate potensi talenta muda tersebut.
Rasa marah tadi harus dapat diarahkan menjadi sebuah motivasi besar, untuk membuktikan kepada masyarakat utamanya pada diri Mustofa sendiri. Bahwa dia bukan lah "the next" Bambang Pamungkas, Mustofa adalah Mustofa "better than" Bambang Pamungkas.
Mustofa harus menjadi sebuah kisah yang berbeda dari kisah Bambang Pamungkas. Mustofa harus menjadi pahlawan bagi cerita yang ia tulis dengan tintanya sendiri. Di mana di akhir cerita orang akan menilai bahwa Mustofa lebih baik dari Bambang Pamungkas, atau pesepak bola yang lain. Hingga pada suatu titik, Mustofa mampu meletakkan sebuah standar baru bagi seorang pesepak bola di Indonesia.
Saya sangat senang membaca komentar Simon Mcmenemy dalam pemanggilan salah satu talenta muda potensial kita ke tim nasional senior, yang isinya kurang lebih: “Saya memanggil dia untuk menunjukkan, jika dia belum menjadi seorang bintang”. Ini tentu sangat positif. Di sini terlihat jika Simon ingin mulai memperkenalkan atmosfer profesional (tim nasional), tanpa bermaksud memberi beban. Simon ingin menunjukkan bahwa ada proses yang harus terlebih dulu dijalani.
Pesan saya untuk Mustofa atau talenta-talenta muda Indonesia yang lain, nikmatilah tahap demi tahap proses yang sedang kalian jalani, tidak perlu terburu-buru. Agar setiap tahapan itu dapat membuat kalian menjadi lebih baik, tidak hanya sebagai pesepak bola, lebih utamanya lagi sebagai sebuah pribadi.
Ini penting saya utarakan karena seiring berjalannya waktu, naiknya level permainan, serta naiknya level kompetisi yang kalian ikuti, maka kesenangan dalam memainkan si kulit bundar itu perlahan-lahan akan berkurang. Tergantikan dengan tekanan, serta tuntutan atas nama profesionalisme. Sebuah “hutan belantara” yang mau tidak mau, siap tidak siap harus dihadapi.
Jalani proses pembentukan diri kalian dengan sebaik mungkin, dan dengan hati yang gembira. Jangan hiraukan segala sesuatu yang sifatnya tidak perlu. Perbanyak “berbicara” dengan diri sendiri. Karena dalam profesi apapun sebelum kita dapat mengalahkan orang lain dan mencapai sesuatu, maka kita harus terlebih dulu “mengalahkan” diri sendiri.
Saya senang mendengar Coach Fachri Husaini, dan Coach Bima Sakti yang melakukan pembatasan penggunaan gadget (media sosial) di tim nasional usia dini, selama dalam pemusatan latihan. Harus dipahami, jika ini bukan bentuk pengekangan, namun lebih kepada wujud nyata (implementasi) perlindungan para pelatih, terhadap pemain-pemain nya.
Proses perlindungan ini tentu tidak akan ada artinya tanpa adanya peran serta aktif dari rekan-rekan media, serta kita semua netizen yang “budiman”. Dengan apa? ya dengan melakukan pemberitaan, pembahasan (respon) yang proporsional, dan sewajarnya saja. Karena kita semua tentu sepakat, jika kita menginginkan yang terbaik bagi mereka, untuk masa depan sepak bola Indonesia yang lebih baik.
Tetap Semangat dan Sukses Selalu.
Selesai....