Pesta olah raga empat tahunan tanah air yang kita kenal dengan nama Pekan Olahraga Nasional, saat ini tengah berlangsung di Jawa Barat. Hingga hari ke 5 (saat saya menulis artikel ini) penyelenggaraan, begitu banyak berita kurang sedap terdengar dari seputar penyelenggaraan Pekan Olahraga Nasional yang saat ini memasuki edisi ke XIX tersebut.


Hal tersebut didasari oleh banyaknya ketidak puasan peserta terhadap penyelenggaraan Pekan Olahraga Nasional yang kali ini menggunakan tagline "Berjaya Di Tanah Legenda". Ketidakpuasan yang membuat kericuhan pun tidak dapat dielahkan.ericuhan di sana-sini. Hal yang tentunya sangat disayangkan. Mengingat olah raga sendiri sejatinya dimainkan untuk menjalin persahabat serta mempererat persaudaraan.


Berbicara mengenai Pekan Olahraga Nasional, ada baiknya jika kita menilik kembali sejarah dan untuk apa PON itu sendiri diselenggarakan.


Berawal dari sumpah pemuda pada tahun 1928, benih-benih kebangsaan mulai tumbuh di kalangan para pemuda di tanah air. Semangat nasionalisme yang mulai menjalar tersebut membuat para pemuda mulai membuat organisasi-organisasi yang bertujuan untuk mempertebal semangat kebangsaan, salah satunya di bidang olahraga.


Diawali dengan berdirinya Persatuan Sepakraga Seluruh Indonesia (PSSI) pada tahun 1930. Keberhasilan PSSI dalam mengelola organisasi sepakbola menyemangati cabang olahraga lain untuk membuat hal serupa. Hingga akhirnya terbentuklah Ikatan Sport Indonesia (ISI) pada tahun 1938.


Pada tahun itu juga,  ISI yang merupakan koordinator cabang-cabang olahraga di tanah air ketika itu berinsiatif mengadakan Pekan Olahraga Indonesia, yang dikenal dengan nama ISI Sportweek atau Pekan Olahraga ISI.


Saat Jepang masuk Indonesia pada tahun 1942, organisasi-organisasi keolahragaan di tanah air mengalami kesulitan dalam menjalankan roda organisasinya, mengingat ketika itu Indonesia dalam keadaan darurat perang hingga tahun 1945.


Setelah Indonesia merdeka organisasi-organisasi olahraga di Indonesia pun kembali aktif. Pada tahun 1946 diadakan kongres olahraga yang pertama, bertempat di Habiprojo, Solo. Lahirlah Persatuan Olahraga Republik Indonesia (PORI) yang dibantu oleh Komite Olimpiade Republik Indonesia (KORI) - keduanya telah dilebur dan saat ini menjadi KONI, yang bertujuan untuk mempersiapkan para atlet Indonesia untuk mengikuti Olimpiade Musim Panas XIV di London pada tahun 1948.


Namun sayang usaha Indonesia untuk mengikuti olimpiade pada saat itu menemui banyak kesulitan. PORI sebagai badan olahraga resmi di Indonesia pada saat itu belum diakui dan menjadi anggota Internasional Olympic Committee (IOC), sehingga para atlet yang akan dikirim pun tidak dapat diterima dan diperbolehkan berpartisipasi pada olimpiade tersebut.


Kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia yang belum diakui oleh dunia, menjadi penghalang besar dalam usaha menuju London. Paspor Indonesia pada saat itu tidak diakui oleh Pemerintah Inggris. Atlet Indonesia hanya dapat berpartisipasi menggunakan paspor Belanda, namun hal tersebut ditolak oleh atlet kita. Delegasi Indonesia hanya mau hadir di London dengan membawa nama Indonesia. Hal tersebut membuat Indonesia gagal berpartisipasi di Olimpiade London 1948.


Pada konferensi darurat PORI pada tanggal 1 Mei 1948 di Solo, yang membahas mengenai kegagalan atlet kita untuk berangkat ke London. Disepakati untuk mengadakan Pekan Olahraga yang direncanakan berlangsung pada bulan Agustus atau September 1948 di Solo. PORI ingin menghidupkan kembali pekan olahraga yang pernah diadakan ISI (ISSI Sportweek) pada tahun 1938. 


Mengapa di Solo, karena ketika itu kota Solo dengan Stadion Sriwedarinya, termasuk kota dengan fasilitas olahraga yang terbaik di tanah air. Selain untuk menghidupkan kembali ISSI Sportweek, Pekan Olahraga Nasional pertama tersebut juga bertujuan untuk menunjukkan kepada dunia luar, bahwa bangsa Indonesia walau dalam keadaan daerahnya dipersempit akibat Perjanjian Renville, masih dapat membuktikan sanggup mengadakan even olahraga dengan skala nasional.


Dan ternyata benar adanya, PON pertama yang diselenggarakan pada tanggal 9 – 12 September 1948 di Solo tersebut, mampu menarik perhatian dunia. Pemberitaan dari wartawan luar negeri ketika itu begitu gencarnya.


Jadi Pekan Olahraga Nasional ketika itu tidak sekadar pesta olahraga bangsa Indonesia, namun juga sebagai alat perjuangan bangsa, agar dapat menunjukkan keberadaan negara Republik Indonesia di mata dunia. Pelaksanaan PON ketika itu sangatlah penting bagi nilai Kemerdekaan, dan nasionalisme bangsa Indonesia.


Artinya ide penyelenggaraan Pekan Olahraga nasional didasari oleh adanya persamaan nasib (gagal tampil di Olimpiade London), yang kemudian dipupuk dengan adanya persamaan tujuan (menunjukkan eksistensi bangsa yang baru saja merdeka).


Bandingkan dengan apa yang terjadi pada penyelenggaraan Pekan Olahraga Nasional Jawa Barat 2016 yang saat ini tengah berlangsung. 


Apakah nilai-nilai luhur tersebut masih terwakili? apakah semangat nasionalisme itu masih tergambar? dan apakah harapan dan cita-cita nan agung itu masih tercermin? sulit rasanya untuk mengatakan iya.


Pekan Olahraga Nasional bukan lagi mengenai pembinaan, namun gengsi kedaerahan. Kemenangan menjadi tujuan utama, walaupun terkadang harus dengan menghalalkan segala cara.  


Pekan Olahraga Nasional bukan lagi mengenai Indonesia, namun ego kedaerahan. Medali menjadi tujuan utama, walau terkadang harus mencederai sportifitas.


Pekan Olahraga Nasional bukan lagi mengenai hal besar apa yang bisa bangsa ini capai di kemudian hari, namun sekedar harga diri daerah saat ini. Peringkat menjadi tujuan utama, walau terkadang harus saling sikut, dengan daerah yang lain.


Segala kericuhan yang terjadi selama gelaran Pekan Olahraga Nasional XIX ini, seharusnya membuat kita semua malu. Untaian nilai-nilai luhur nan indah, yang dahulu dijadikan sebagai urat nadi penyelenggaraan Pekan Olahraga Nasional, sudah tidak terlihat sama sekali.


Jika itu hasilnya, menurut hemat saya ada baiknya penyelenggaraan pesta olahraga tanah air ini ditinjau kembali. Mengingat hanya akan memperkeruh suasana dan memecah belah persatuan, serta kesatuan bangsa.


Sangat disayangkan, jika uang triliunan rupiah yang dikeluarkan, hanya mengasilkan rusaknya rasa nasionalisme, dan sikap moral bangsa. 


Mari segera lakukan konsolidasi secara menyeluruh, dan mengembalikan hajatan pesta olahraga tanah air tersebut kepada khitah yang seharusnya. Kembalikan pesta olahraga empat tahunan tersebut sebagai ajang pembinaan, bukan gengsi kedaerahan. Agar kita dapat meneruskan cita-cita agung dari para pendahulu kita.


Harus segera. Karena esok, atau lusa bisa jadi sudah terlambat.


Selesai....