Bukan laki kalo ngga main bola, atau bukan laki kalo ngga ngerti bola. Demikianlah kira-kira paradigma, atau anggapan yang ada pada masyarakat khususnya anak muda akhir-akhir ini.
Iya, semenjak masuknya tayangan liga-liga negara eropa yang dengan gencar menyerbu negeri ini, sepak bola pun mewabah di kalangan anak muda di Indonesia. Seiring bertambahnya pengetahuan tentang sepak bola, maka keinginan untuk mengenal, mencoba, dan memainkan olah raga ini pun turut meningkat dengan pesatnya.
Sepak bola dimainkan dimana saja, dan dalam bentuk apa saja. Dimana saja dalam artian dimanapun tersedia lapangan sepakbola, seperti di lapangan sepak bola dengan ukuran normal, lapangan futsal, tanah-tanah kosong, atau jalan-jalan buntu.
Dalam bentuk apa saja, ambil contoh game-game sepak bola yang juga sangat menjamur akhir-akhir ini. Seperti Winning Eleven, Pro Eleven Soccer, FIFA, Football Manager, Real Soccer, FIFA Manager, FIFA Street, atau game-game online yang lain. Ya setidaknya kalau tidak bisa, atau mampu bermain sepak bola betulan, minimal bermain sepak bola imajinasi melalui game lah.
Berbicara mengenai game-game sepak bola, terdapat sebuah cerita menarik pada salah satu bab dalam perjalanan hidup saya, yang dalam hal ini berkaitan dengan game sepak bola. Cerita tersebut terjadi di kisaran awal tahun 2000an, di fase-fase awal perkenalan saya dengan game sepak bola. Cerita tersebut terjadi, saat saya menjalani lawatan bersama tim nasional Indonesia ke Maladewa.
Hotel Tim Nasional, Male, Maladewa.
Pada suatu siang yang cukup terik, saya berbaring di tempat tidur. Udara dingin yang menyembur dari pendingin ruangan membuat mata saya perlahan tapi pasti sedikit demi sedikit mulai terkatup. Sedang teman sekamar saya, tengah asik memainkan game sepak bola (Winning Eleven) menggunakan televisi yang ada di kamar.
Teman saya tersebut sempat mengajak saya untuk bermain, namun ajakan tersebut saya tolak. Bukan karena saya tidak mau, namun lebih karena saya memang kurang menyukai permainan-permainan play station semacam itu. Ketika itu saya sendiri tengah tertarik, dan mendalami segala sesauatu yang berkaitan dengan komputer seperti internet, email, windows 98, pentium lll, windows xp dll.
Di saat saya hampir pulas tertidur, tiba-tiba datanglah segerombolan pemain menyambangi kamar saya. Tujuan mereka tidak lain dan tidak bukan adalah untuk membunuh waktu dengan bermain play station.
Akhirnya merekapun membuat sebuah turnamen. Dimana selama ini ternyata sekamar saya adalah sang juara bertahan. Ramai nya suasana kamar, membuat saya yang tadinya berniat untuk tidur pun akhirnya mengurungkan niat, dan dengan terpaksa menjadi penonton partai demi partai pada turnamen tersebut.
Singkat cerita, dengan menggunakan tim Brasil, satu per satu lawan di setiap babak pun dilibas dengan mudahnya oleh teman sekamar saya. Dengan formasi 4-4-2 dan dengan strategi bermain one two, duet Ronaldo dan Roberto Carlos yang dimainkan sebagai striker pun begitu meraja lela. Selisih 2, 3 atau bahkan 5 gol menjadi pemandangan yang biasa.
Sepanjang pertandingan teman sekamar saya tadi, dengan jumawa mengejek setiap lawan yang berhasil ia kalahkan dengan skor telak. Serie B lah, kalah kelas lah, pakai rompi lah (bermain bertahan), ngga ada perlawanan lah, harus banyak latihan lah dsb. Hal yang membuat setiap lawan yang dikalahkan kupingnya nya panas dan emosinya tersulut. Namun apa yang hendak dikata, wong faktanya memang mereka kalah dengan skor telak.
Sedang saya yang sedari tadi menjadi penonton, hanya bisa menambah-nambahi, dan memanas-manasi agar mereka yang kalah menjadi semakin emosi. Singkat cerita akhirnya teman sekamar saya dengan tim Brasil nya pun kembali menjadi juara.
Ditengah rasa emosi karena kalah dan ejekan dari teman sekamar saya, dengan nada tinggi salah satu pemain asal dari Papua pun berbicara kepada saya. "Bambang coba kau main, dari tadi ko pu komentar ni bikin kuping panas sekali, sa mo lihat ko bisa main ka tidak. Kita dua lawan sudah".
"Ah sa malas, ko trada kelas. Kalo ko su bisa menang dengan dia (tunjuk saya ke arah teman sekamar saya), baru kita dua main". Jawab saya dengan logat Papua sekenanya. Jawaban yang semakin membuat pemain tersebut marah.
Tiba-tiba teman sekamar saya berkata, "Gimana kalo lo kawan gue aja?". Tantangan yang seketika disambut riuh oleh mereka yang ada diruangan. "Ayo jangan bisanya ngebacot aja lo", ucap salah satu pemain. "Mati kau!", sambung pemain yang lain. "Itu sudah", ujar pemain yang lain lagi.
Hmmmm bukan Bambang Pamungkas jika lari dari tantangan, dan bukan Bambang Pamungkas jika tidak berani mengambil resiko untuk mencoba sesuatu yang baru. Maka walau dengan hati yang berat, akhirnya saya pun menerima tantangan tersebut.
Sejenak saya terdiam, untuk beberapa saat saya pun berpikir. Saya mencoba memerintahkan otak saya untuk mengingat, menganalisa, dan pada akhirnya mengambil kesimpulan dari setiap pertandingan yang tadi saya lihat. Beberapa saat kemudian saya pun memutuskan untuk memilih tim, dan strategi hasil dari analisa otak saya tersebut.
Pilihan saya jatuh pada Republik Ceko, dan memutuskan menggunakan strategi 4-1-3-2. Dengan susunan pemain sebagai berikut:
Pavel Srnicek dibawah mistar. Vladimir Smicer, Marek Jankulovski, Pavel Nedved, Tomas Repka di belakang. Tomas Rosicky sebagai gelandang bertahan. Pavel Kuka di gelandang serang. Patrik Berger, dan Karel Poborsky di sayap kiri, dan kanan. Serta duet striker jangkung Vratislav Locvenc, dan Jan Kohler sebagai ujung tombak.
Pilihan yang membuat mereka yang ada di dalam ruangan mengernyitkan dahi tanda heran. Pilihan yang membuat raut wajah teman sekamar saya optimis. Pilihan yang juga membuat pemain-pemain yang dendam terhadap ocehan saya ketika mereka kalah tadi tersenyum. Mereka yakin jika Republik Ceko saya, akan dengan mudah menjadi bulan-bulanan teman sekamar saya dengan tim Brasil nya.
Mereka tidak paham, jika Republik Ceko dengan formasi tersebut, saya pilih berdasarkan sebuah pemikiran, dan analisa yang sedemikian jitu. Dengan mempertimbangkan segala kelebihan, dan kelemahan yang dimiliki oleh tim Brasil.
Perlu diingat, ini hanyalah permainan play station, dimana anda dapat memasang seorang pemain di posisi manapun sesuka anda. Itulah mengapa Roberto Carlos dengan suka rela bermain sebagai striker, dan Pavel Nedved sudi bermain sebagai bek tengah.
Saya memilih empat pemain bertahan dengan karakteristik cepat, dengan tujuan untuk dapat mengimbangi kecepatan Ronaldo, dan Roberto Carlo. Dalam pendapat saya, duet bek tengah Marek Jankulovski, dan Pavel Nedved cukup mampu mengimbangi, atau setidaknya tidak kalah terlalu jauh dari kecepatan dua striker Brasil, terutama saat melakukan permainan one two.
Di sisi lain, saya mengandalkan serangan-serangan dari sisi sayap. Dimana saya memiliki Patrik Berger, serta Karel Poborsky yang cepat dan memiliki akurasi umpan lambung yang cukup baik. Sedang kartu truf saya ada pada Jan Kohler (202 CM) dan Vratislav Locvenc (196 CM), duet striker jangkung yang siap melahap setiap umpan lambung yang dikirimkan ke muka gawang lawan.
Dan pertandingan pun dimulai. Teman sekamar saya terlihat begitu optimis. Pun demikian dengan para pemain yang sakit hati dengan cemoohan saya, mereka sudah mulai menyusun sumpah serapah, yang siap ditumpahkan kepada diri saya. Sedang saya sendiri dalam keadaan yang sangat tenang.
Tenang bukan karena saya yakin bisa mengalahkan teman sekamar saya. Namun lebih kepada saya sudah sedemikian siap, untuk menerima skenario terburuk yang akan menimpa diri saya, wong saya memang tidak bisa bermain play station.
Sekali lagi ini hanyalah permainan play station, apalagi di awal-awal game ini dibuat dimana kecepatan, akurasi, ukuran badan jauh lebih berpengaruh daripada kematangan bermain, cara membaca pertandingan, pengalaman dan tehnik-tehnik yang lain.
Dalam permaian nyata mungkin tidak mudah bagi Kohler, maupun Locvenc untuk dapat memenangkan duel dengan Aldair, atau Junior Baiano. Namun di play station perbedaan ukuran badan antara dua striker saya, dengan dua bek tengah mereka yang sangat signifikan, saya pikir akan memberi dampak yang sangat berarti.
Benar saja analisa saya, ketika itu permainan game sepak bola belum lah sesensitif saat ini, dimana tehnik dan ketepatan waktu dalam memainkan tombol-tombol stik sangat berpengaruh. Dahulu semuanya jauh lebih sederhana, statistik dan data pemain di dalam game yang lebih banyak mengambil peranan. Kita hanya tinggal mengarahkan, dan menekan tombol saja.
Singkat cerita, saya pun mampu mengimbangi permainan teman sekamar saya, yang notabene juara bertahan tersebut. Kecepatan serta akurasi syuting Ronaldo, dan Roberto Carlos memang sulit ditandingi, apalagi saat mereka melakukan permainan one two di depan kotak pinalti. Hal tersebut membuat penjaga gawang Ceko Pavel Srnicek, beberapa kali harus memungut bola dari jaring gawang nya.
Yang mengejutkan adalah, efektifitas serangan Ceko dari sayap dalam banyak kesempatan berhasil diakhiri dengan umpan manis ke depan mulut gawang Brasil. Dimana Jan Kohler, dan Vratislav Locvenc berhasil mengonversikan beberapa diantaranya menjadi gol ke gawang Claudio Taffarel.
Dengan tinggi 202 senti meter, Jan Kohler dengan mudah mengalahkan baik Aldair maupun Junior Baiano dalam duel bola-bola atas. Hal yang membuat mereka yang tadinya berharap bisa mengejek diri saya pun, harus menelan kekecewaan. Skor akhir pertandingan eksebisi ini adalah 7:5 untuk kemenangan Republik Ceko.
Para pemain yang tadinya berencana mencemooh diri saya pun berbalik mengejek teman sekamar saya. Ini adalah kesempatan emas bagi mereka untuk melampiaskan dendam mereka, saat kalah dan diejak selama turnamen play station tadi. Ejekan-ejakan yang menurut saya jujur luar biasa pedas.
Hasil tersebut membuat teman sekamar saya teramat sangat terpukul. Ia seakan tidak percaya kalah dari saya, yang dalam hal ini tahu tidak pernah memainkan game ini. Kekecewaan tersebut berlanjut menjadi emosi, ketika mendengar ejekan mereka yang sebelumnya berhasil ia jadikan bulan-bulanan.
Sejak saat itu saya dan Republik Ceko dengan Jan Kohler nya, untuk beberapa waktu sempat menjelma menjadi kekuatan yang begitu disegani dikalangan pesepakbola-pesepakbola di Indonesia. Baik mereka yang berada di tim nasional, maupun Persija Jakarta.
Kisah yang pada akhirnya membuat saya dan teman sekamar saya, tidak saling sapa selama agenda tim nasional di Maladeva. Kekanak-kanakan memang, mungkin karena ketika itu kami masih sama-sama muda dan kurang dewasa, sehingga sisi emosional masih lebih mendominasi kejiwaan kami.
Saat ini saya tidak lagi memainkan game-game semacam itu. Saya lebih suka menghabiskan waktu untuk hal-hal yang lain seperti menulis atau membaca buku, daripada bermain game. Mungkin karena bertambahnya usia, sehingga saya lebih menyukai aktivitas yang sifatnya lebih santai.
Atau bisa jadi juga karena berkembang pesatnya kecanggihan game-game sepak bola saat ini, yang membuat saya tidak lagi mampu mengikuti dinamisasinya.
Entah saya akan mengenang kisah diatas sebagai hal yang menggelikan, menyenangkan, atau memalukan, namun itulah sepenggal cerita mengenai saya dan game sepak bola di masa lalu. Dan saya yakin, diantara anda sekalian di luar sana ada yang memiliki kisah yang kurang lebih serupa.
Selesai....