Seperti kita tahu, kondisi persepakbolaan di Indonesia sekarang tengah berada dalam kondisi yang kurang begitu baik (jika tidak boleh dikatakan memprihatinkan). Banyak hal yang tidak berjalan dengan sebagaimana mestinya. Sistem kompetisi yang jauh dari kata ideal, kerusuhan suporter yang masih marak di mana-mana, sarana dan prasarana yang jauh dari kata cukup, kualitas wasit yang masih kurang, kualitas pemain lokal yang tidak terangkat karena terlalu banyak kehadiran pemain asing, serta jadwal kompetisi yang selalu berubah-ubah. Itu semua yang membuat Liga Indonesia masih belum bisa dikatakan Profesional. Dan karena semua hal yang saya sebut di atas tadi bermuara pada tim nasional, maka kualitas tim nasional Indonesia pun terkesan jalan di tempat.
Ketika tim nasional tampil mengejutkan selama penyelenggaraan Piala Asia lalu dengan mengalahkan Bahrain 2-1 di partai perdana, kontan seluruh masyarakat mengalami demam sepak bola. Apresiasi masyarakat terhadap olah raga paling populer di Indonesia ini menjadi begitu tinggi. Walaupun pada akhirnya kita harus tersingkir karena kalah dari Arab Saudi dan Korea Selatan, namum masyarakat tetap menyanjung para punggawa tim nasional. Termasuk sang pelatih Ivan Kolev yang saat itu begitu dipuja, karena dianggap sukses merubah gaya bermain tim nasional Indonesia menjadi lebih bertenaga. Harapan pun meninggi, akan tetapi ketika tim nasional gagal di Pra Piala Dunia, dan SEA Games apa yang terjadi? semua orang seperti mengarahkan telunjuknya kepada Ivan Kolev yang dinilai menjadi biang kegagalan, semua menilai Ivan tidak pantas lagi menangani tim nasional Indonesia.
Di sini saya tidak ingin menilai kinerja Ivan Kolev, karena memang saya tidak berkompeten dalam hal itu. Apa yang ingin saya kupas dalam artikel ini adalah mekanisme penilaian kinerja pelatih di Indonesia yang selama ini dihitung dari per turnamen. Sehingga ketika seorang pelatih gagal dalam sebuah turnamen, seorang pelatih akan langsung berhentikan, walaupun secara permainan tim mengalami peningkatan. Selama 9 tahun saya berbaju tim nasional, saya sudah mengalami banyak (terlalu banyak bahkan) pergantian pelatih yang sejujurnya tidak memberikan dampak yang terlalu positif terhadap perkembangan tim nasional. Hal tersebut karena setiap pelatih mempunyai selera, serta karakter yang berbeda-beda dalam meramu sebuah tim.
Berganti pelatih berarti berganti gaya bermain dan (bisa jadi) materi pemain, hal tersebut tidak menguntungkan sama sekali, apa lagi mendekati sebuah turnamen besar. Sering terjadinya pergantian pelatih tidak dapat dimungkiri membuat pemain bingung, dan selalu dihadapkan pada proses adaptasi. Sistem seperti ini akan menghambat kemajuan tim nasional itu sendiri. Ketika kita sudah mulai mengerti keinginan dari seorang pelatih, namun karena gagal dalam suatu turnamen, maka akan terjadi pergantian pelatih. Konsekuensinya kita harus beradaptasi lagi dengan pola, dan sistem bermain yang dianut oleh pelatih yang baru. Apakah itu efisien?
Kita bandingkan dengan beberapa negara tetangga kita, semisal Singapura yang tetap mempercayai Radjoko sebagai pelatih tim nasional walaupun gagal total di Sea Games Philipina. Hasilnya Radi mampu membawa Singapura merebut gelar piala AFF untuk ke 2 kalinya. Vetnam yang tetap mempercayai Alfred Ridel selama lebih dari 5 tahun, hingga akhirnya mampu membentuk sebuah tim nasional yang kuat. Atau Thailand yang memercayakan komando tim nasional di tangan Peter Withe selama 5 tahun, hasilnya 2 gelar AFF dipersembahkan untuk negeri gajah putih.
Dalam segala hal bangsa ini memang selalu ingin instan, tidak hanya mie atau buburnya saja, prestasi juga kalau bisa instan. Kita tidak pernah dapat menikmati, dan menghargai apa itu yang dinamakan proses. Yang ingin saya kemukakan di sini adalah mengapa kita tidak belajar untuk memberikan jangka waktu yang lebih lama bagi seorang pelatih untuk menangani tim nasional, agar pelatih tersebut mempunyai waktu yang cukup untuk menanamkan filosofi serta sistem permainannya. Sehingga pada akhirnya tim nasional yang kuat itu akan terwujud. Tidak hanya per satu atau dua turnamen saja. Akan tetapi kita memang harus benar-benar memilih figur pelatih yang berkualitas dan cocok dengan kultur sepak bola Indonesia.
Sejujurnya saya tidak memihak kepada salah satu dari kandidat pelatih tim nasional yang sekarang tengah diperdebatkan, sejujurnya saya juga kurang peduli. Namun siapapun yang terpilih nanti saya harapkan PSSI dapat memberikan waktu yang cukup kepada pelatih tersebut, sehingga pelatih tersebut mampu membentuk tim sesuai dengan apa yang ia inginkan. Dengan begitu, dapat terwujud sebuah tim nasional yang tangguh sesuai dengan harapan kita semua. Siapapun yang terpilih nanti selamat bertugas, beban berat itu ada di pundak Anda, dan semoga sukses.
Akhir sekali semoga sepak bola Indonesia kedepan akan mangalami perubahan ke arah yang lebih baik.
Selesai....