Salatiga, hari Kamis di akhir bulan April, tahun 1999.
Pagi itu saya tengah duduk termenung di sebuah warung soto di belakang SMA Negeri 1 Salatiga, sekolah saya. Warung soto Mbak Tun demikian kami akrab menyebutnya. Hari itu saya sedikit terlabat sampai di sekolah. Dan oleh karena itulah saya memutuskan untuk melewati mata pelajaran pertama untuk hari ini, di warung soto langganan saya tersebut.
Warung soto ini sebenarnya sebuah rumah, yang ruang tamu dan teras depannya ditata sedemikian rupa menjadi layaknya sebuah warung makan. Seperti biasa, saya mengambil posisi duduk di kursi paling pojok di bagian dalam ruang tamu.
Saat saya tengah duduk dan setengah tertidur, tiba-tiba datanglah rombongan Polisi Militer yang ingin sarapan di warung yang sama (posisi sekolah saya memang tepat di belakang markas Polisi Militer di Salatiga). Rombongan tersebut mengambil posisi duduk di bagian teras depan rumah. Posisi saya dengan rombongan Polisi Militer tersebut terpisah oleh papan pembatas antara ruang tamu dengan teras depan.
Sambil sarapan para anggota PM tadi berbincang-bincang mengenai barbagai hal. Ketika itu saya tidak berminat sama sekali untuk menyimak obrolan bapak-bapak tersebut. Akan tetapi saat mereka membahas mengenai tim nasional, maka sayapun segera merubah posisi duduk saya, dan menyimak obrolan dari para aparat keamanan negara tersebut dengan lebih seksama.
Mereka tengah membahas tentang tim nasional sepakbola Indonesia yang dipersiapkan menuju SEA Games Brunei 1999. Awal pembicaraan mereka adalah kasus memalukan yang terjadi saat Piala Tiger 1998 di Vietnam. Dimana Indonesia saat itu memainkan sepakbola gajah saat melawan Thailand, guna menghindari tuan rumah Vietnam di semifinal.
Sumpah serapah pun keluar dari mulut bapak-bapak tersebut. Caci-maki kepada pemain, pelatih, menejer hingga pengurus PSSI pun keluar dengan derasnya, bak peluru yang keluar dari moncong senapan para penegak hukum tersebut.
Sejujurnya tidak semua tuduhan mereka benar memang, sebagian bahkan cenderung terkesan asal njeplak saja. Dari pendapat-pendapat mereka nampak hanya sebagian dari mereka yang paham tentang sepakbola, sisanya hanya melemparkan pendapat-pendapat konyol yang tak beralasan. Akan tetapi setidaknya itulah ungkapan jujur dari penikmat sepakbola tentang tim nasional yang mereka cintai.
Ingin rasanya saya meluruskan beberapa hal yang saya tahu betul akan kebenarannya. Namun walaupun secara pribadi saya mengenal beberapa polisi tersebut, keingintahuan saya tentang pendapat masyarakat secara jujur tentang tim nasional, membuat saya mengurungkan niat saya ketika itu.
Di tengah panasnya perbincangan mereka, tiba-tiba seseorang dari mereka menyebut nama Bambang Pamungkas. Seketika sayapun terkejut. Beberapa teman yang kebetulan sama-sama melewatkan jam sekolah di ruang tamu warung soto itu pun seketika melihat kearah saya. Sontak saya memberi isyarat telunjuk di depan mulut tanda untuk diam, dan bersikap normal.
Singkat cerita, ketika itu mereka menyampaikan harapan mereka tentang sebuah era baru tim nasional Indonesia, setelah munculnya seorang pemain muda bernama Bambang Pamungkas. Mereka berharap pelatih tim nasional, akan meduetkan Bambang Pamungkas dengan Kurniawan Dwi Julianto, di lini depan tim nasional dalam SEA Games Brunei mendatang.
Apalagi Kurniawan dan Bambang adalah pemain-pemain hasil tempaan Diklat Salatiga. Sebagai warga Salatiga tentu mereka akan sangat bangga jika pemain didikan dari daerah mereka yang akan bermain untuk tim nasional Indonesia.
Sambil mendengarkan pembicaraan mereka, saya mengucapkan kata Amin di dalam hati. Iya, saya mengucapkan amin terhadap semua harapan-harapan mereka tadi. Karena sebagai pemain sepakbola, menjadi pemain tim nasional sudah barang tentu menjadi cita-cita semua pesepakbola junior, termasuk juga diri saya. Apalagi jika saya dapat berduet dengan idola sekaligus mentor saya dalam sebuah tim, tentu akan menjadi sebuah mimpi yang menjadi kenyataan.
Sembari mengucapkan kalimat amin dalam hati tersebut, tanpa saya sadari angan saya pun melayang tinggi di awan. Membayangkan apa kira-kira yang akan terjadi, jika saya benar-benar mendapat kesempatan untuk bermain bersama dengan Kurniawan Dwi Julianto. Membayangkan saja sudah membuat hati saya gembira luar biasa.
Di tengah lamunan saya tersebut, tiba-tiba keluar sebuah kalimat dari salah satu anggota PM yang membuat jantung saya berhenti sejenak, iya berhenti untuk sesaat. Sebuah kalimat yang entah benar atau tidak, akan tetapi harus saya akui jika kalimat tersebut telah membuat jiwa saya melambung sangat tinggi, iya tinggggiiiiiii sekali.
Salah satu dari mereka menyampaikan jika semalam sempat melihat berita olahraga di televisi, jika nama Bambang pamungkas masuk dalam daftar 35 nominasi pemain yang di persiapkan oleh pelatih Bernard Schoem menuju SEA Games yang akan datang.
Selain Bambang Pamungkas terdapat juga nama Kurniawan Dwi Julianto, Widodo Cahyono Putra, Komang Mariawan, Miro Baldo Bento, dan juga Rochy Putiray yang akan mengisi barisan depan seleksi tim nasional Indonesia.
Mendengar berita tersebut, seketika sayapun berdiri dan memutuskan pulang kembali ke asrama Diklat Salatiga. Hari itu keingintahuan saya tentang kebenaran kabar tersebut, mengalahkan keinginan saya untuk menimba ilmu di sekokah. Maka pulanglah saya menggunakan bis kota menuju Ngebul, asrama kami.
Tujuan pertama saya adalah kantor pengelola Diklat Salatiga. Saya coba menemui Pak Slamet bagian administrasi, jam di dinding menunjukkan pukul 08:23 WIB, dan Pak Slamet belum berada di ruangannya. Dengan perasaan kecewa sayapun meninggalkan kantor menuju asrama.
Saya menunggu kedatangan Pak Slamet dengan perasaan cemas luar biasa di kamar saya. Cemas karena rasa ingin tahu yang meluap-meluap. Apakah benar saya dipanggil masuk seleksi tim nasional senior Indonesia? Jika memang benar demikian maka Pak Slamet lah orang pertama yang akan menerima kabar pemanggilan tersebut, entah melakui telegram, atau sambungan telefon.
Di level junior saya memang sering mendapat kesempatan untuk bermain bersama tim nasional, namun untuk level yang sesungguhnya (senior) jika benar saya dipanggil, maka ini akan menjadi debut pertama saya. Rasa penasaran yang begitu membuncah membuat badan saya panas dingin dan merinding, hingga tanpa sadar sayapun tertidur.
Mengapa tiba-tiba saya teringat dan ingin menulis perasaan saya saat pertama kali dipanggil tim nasional.
Karena semenjak jatuhnya sanksi FIFA, maka secara otomatis tidak akan ada lagi pertandingan internasional bagi tim nasional kita. Setidaknya hingga semua kisruh ini selesai, dan sanksi FIFA dicabut.
Artinya untuk sementara waktu, tidak akan ada pemain di Indonesia yang akan mengalami apa yang saya rasakan enam belas tahun lalu tersebut. Tidak akan ada pemain yang badannya panas dingin hingga merinding saat menerima kabar pemangggilan seleksi tim nasional.
Tidak akan ada pesepak bola Indonesia baik usia muda maupun senior, yang akan mengalami perasaan bahagia luar biasa saat pertama kali menerima panggilan kehormatan untuk membela nama bangsa dan negara.
Jika boleh diibaratkan, kisruh berkepanjangan sepak bola kita yang berujung jatuhnya sanksi FIFA ini, adalah sebuah penyakit kronis. Dibutuhkan sebuah obat yang tepat, agar penyakit kronis tersebut pada akhirnya dapat terangkat.
Tidak menutup kemungkinan obat yang harus diminum pun rasanya sangat pahit. Namun jika obat yang sangat pahit tersebut dapat membuat kesehatan kita kembali pulih seperti sedia kala, ya kenapa tidak.
Artinya hal yang paling penting untuk dilakukan adalah mengonsumsi obat yang tepat.
Ya semoga saja kita tidak salah minum obat (menyikapi). Karena jika kita salah, maka sepahit dan segetir apapun obatnya, penyakitnya toh tidak akan sembuh-sembuh juga.
Selesai....