Bukan Indonesia namanya, jika segala sesuatunya tidak diperdebatan. Bukan Indonesia namanya, jika perdebatan yang terjadi tidak didasari oleh fanatisme membabi buta. Dan bukan Indonesia namanya, jika perdebatan yang didasari oleh fanatisme membabi buta tadi, tidak lengkapi dengan keinginan untuk saling menghujat dan menghakimi, diantara satu dengan yang lain..

Begitu pula dengan segala hal yang berkaitan dengan sepakbola. Tanpa terasa sudah hampir 2 tahun negeri ini disuguhi carut-marut sebuah organisi, bernama Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia, atau lebih kita kenal dengan nama PSSI. Seperti baru kemarin sore rasanya, masyarakat sepakbola Indonesia disuguhi atmosfer yang luar biasa, pada AFF Cup 2010 yang lalu. Atau masih melekat di benak kita, stadion kebanggaan kita Gelora Bung Karno penuh sesak oleh pendukung Merah-Putih, saat mendukung tim nasional SEA Games 2011 kemarin..

Waktu yang sedemikian panjang tadi, masih saja terasa belum cukup untuk mengakomodir segala ego, rasa paling benar dan mau menang sendiri dan dari ke dua belah pihak yang selama ini berseteru. Perlahan tapi pasti waktupun terus berjalan, ia berlari dan tak akan pernah kembali lagi. Dan tanpa kita sadari, dalam hitungan tidak lebih dari satu bulan, tim nasional kita akan dihadapkan pada sebuah event akbar dua tahuhan di kawasan Asia Tenggara, bernama AFF Cup..

Seperti yang kita ketahui bersama, sampai dengan saat ini masih saja terjadi dualisme di dalam tubuh tim nasional di negara kita. Hal tersebut mau tidak mau sangat mempengaruhi persiapan tim nasional  Indonesia menuju ajang AFF Cup nanti. Keengganan klub-klub Liga Super Indonesia melepas para pemainnya untuk bergabung ke tim nasional, menjadi pembahasan yang paling hangat di kalangan masyarakat sepakbola ketika ini. Segala cap nasionalis atau tak nasionalis, disematkan kepada pemain-pemain yang saat ini namanya berada dalam daftar pemain tim nasional Indonesia..

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, apakah semudah dan sesederhana itu menilai rasa nasionalisme seseorang.? Setiap orang tentu memiliki pemikiran dan keyakinan masing-masing, dalam menanggapi serta menyikapi permasalahan ini, begitu juga para pemain tersebut. Masyarakat bisa saja memiliki pendapat yang beraneka ragam, karena mungkin tidak semua orang mengerti dan paham dengan pokok permasalah yang sebenarnya terjadi. Atau bisa jadi mereka juga akan melakukan hal yang sama, ketika mereka berada di posisi seperti pemain-pemain tersebut..

Menurut pandangan saya pribadi, silakan jika ada yang berpedapat lain. Nasionalisme itu ketika kita mempunyai kesempatan untuk melukai bangsa kita sendiri, tetapi kita memutuskan untuk tidak melakukannya, padahal tidak akan ada siapapun yang mengetahui tindakan kita. Atau ketika kita mampu melakukan sesuatu atas nama bangsa dan negara, tanpa harus menyebar luaskannya kepada khalayak ramai. Bagi saya itu adalah arti rasa nasionalisme, dan konteksnya bisa menjadi sangat luas. Sekali lagi itu menurut saya..


Orang-orang yang rajin serta selalu berdiri di baris paling depan saat mengikuti upacara bendera hari senin, belum tentu taat membayar pajak. Mereka-mereka yang dengan serta merta berdiri tegak dengan sikap hormat, setiap mendengar lagu kebangsaan terdengar, belum tentu tidak korupsi. Kita-kita yang memiliki nada dering Indonesia Raya serta avatar ponsel lambang garuda, belum tentu tidak membeli CD atau DVD bajakan..

Artinya, kita semua bisa saja menjadi seseorang yang nasionalis dan tak nasionalis dalam waktu yang bersamaan. Nasionalisme itu seperti iman, seberapa besar iman seseorang, hanya orang tersebut yang tahu. Demikian juga nasionalisme seseorang, rasa cinta terhadap tanah air itu ada di dalam hati sanubari kita masing-masing. Dan seberapa besar itu.? Hanya kita yang tahu..

"The aim of argument or of discussion, should not be victory, but progress" - Joseph Joubert..

Seperti yang kita ketahui bersama, FIFA sebagai federasi tertinggi sepakbola di dunia, melalui AFC telah membentuk sebuah badan yang bernama  Joint Committee. Dimana badan tersebut, bertugas untuk membahas dan menyelesaikan segala konfik, yang terjadi dalam sepakbola Indonesia. Akan tetapi apa hasilnya.? Sejauh ini kinerja Joint Committe sendiri boleh dikatakan tidak maksimal. Bahkan dalam beberapa pertemuan yang di gelar, mereka sama-sama "Sepakat untuk tidak sepakat" antara satu dan lainnya atau "Dead lock". Padahal ke dua belah pihak memiliki semangat awal yang sama, yaitu "Demi Harkat Dan Martabat Bangsa"..

Jika mencari solusi untuk kepentingan bangsa dan negara saja tidak segera sejalan, apakah bapak-bapak berjas dan berbaju batik itu bisa digolongkan sebagai orang-orang yang tidak memiliki rasa nasionalisme.? Saya tidak sedang ingin berkata demikian. Akan tetapi jika semangat awalnya saja sudah sama "Demi Harkat Dan Martabat Bangsa", mengapa membahas masalah tim nasional saja tidak kunjung menemukan kata sepakat. "Selak Udan Ndess..!!" (Keburu hujan saudara-saudara)..

Sekali lagi saya tidak sedang mengatakan bahwa bapak-bapak tersebut tidak memiliki rasa nasionalisme. Akan tetapi setidaknya, fakta yang terjadi adalah, dikarenakan kegagalan mereka dalam mencapai kata sepakat mengenai tim nasional, maka hal tersebut membuat "Harkat Dan Martabat Bangsa" dipertaruhkan di AFF Cup 2012 nanti.

Rekonsiliasi itu mengenai saling memaafkan, saling memberi kesempatan kepada setiap kubu untuk memberi masukan, dan mengoreksi diri dalam konteks untuk kemajuan serta kebaikan bersama. Bukan saling memaksakan kehendak dan berusaha untuk menjadi pemenang. Ada hal yang harus kita ingat, perbedaan pendapat tidak serta-merta menjadikan kita harus saling memusuhi. Karena pada kenyataannya, tidak selamanya pendapat kita benar dan belum tentu juga lawan kita salah..

Sungguh sangat ironis bukan, diskusi yang awalnya dilandasi dengan semangat "Demi Harkat dan Martabat Bangsa" tersebut, pada akhirnya malah membuat hal yang mereka perjuangkan mereka pertaruhkan sendiri..

"Perbedaan pendapat itu bagai sebuah cermin. Kita membutuhkan orang-orang yang tidak sependapat dengan kita, agar dapat mengoreksi diri. Karena kita tidak akan pernah mampu melihat diri sendiri seutuhnya, lagipula tidak selamanya diri kita benar"..

Dalam keadaan konflik yang tidak tentu arah seperti saat ini, bergabung atau tidaknya seorang pemain ke tim nasional, bukan lagi sekedar masalah nasionalis atau tak nasionalis. Akan tetapi lebih kepada cara pandang setiap pemain dalam menyikapi masalah yang terjadi saat ini. Karena sejatinya, setiap pemain sepakbola di negeri ini pasti ingin merasakan bermain untuk tim nasional Imdonesia, bohong besar jika ada yang berkata tidak..

Jadi jangan lagi menyangkut-pautkan masalah tim nasional dengan rasa nasionalisme. Nasionalisme itu perjabarannya bisa sangat luas, tidak hanya dalam lingkup sepakbola. Pemain yang memilih bermain untuk tim nasional, tidak serta merta lebih nasionalis daripada mereka yang memilih untuk memberi dukungan melalui layar kaca, begitu pula sebaliknya..

Sebelum kita berteriak mengingatkan seseorang tentang apa itu arti nasionalisme, ada baiknya jika kita melihat dahulu ke dalam diri kita sendiri. Apakah kita sudah menjadi seseorang yang cukup nasionalis sebagai sebuah pribadi.? Atau sudah pantaskah kita untuk mengingatkan orang lain tentang apa itu arti kata nasionalisme.?

Jangan hanya berbekal profil picture "Burung Garuda" dan bio "Hidup Mati Untuk Merah-Putih" di  Twitter, maka sudah merasa menjadi orang yang paling pantas untuk memberi ceramah tentang nasionalisme kepada orang lain..

Akhir sekali saya ingin mengingatkan kita semua, termasuk juga diri saya. Bahwasanya Indonesia kita tercinta ini, adalah sebuah bangsa yang besar. Sebuah bangsa besar yang saat ini, tengah dalam keadaan yang sedikit terpuruk. Mengembalikan kebesaran Republik Ini adalah tanggung jawab kita bersama. Tanggung jawab saya, tanggung jawab anda, tanggung jawab kalian dan tanggung jawab kita semua seluruh anak bangsa Indonesia..

Dengan selalu berusaha memberikan hasil terbaik dalam setiap apapun profesi yang kita geluti, maka tanpa kita sadari kita sudah turut serta dalam mengembalikan kejayaan dan kebesaran bangsa ini, walau dalam skala yang sangat kecil..

Secara pribadi, saya akan sangat mengapresiasi positif kepada para pemain yang pada akhirnya memutuskan untuk bergabung ke tim nasional. Akan tetapi disisi lain, saya juga tidak akan menyalahkan mereka-mereka yang tetap memilih untuk bertahan. Karena sekali lagi, ini bukan hanya masalah nasionalisme, melainkan masalah cara pandang setiap pemain dalam menyikapi konflik yang berkepanjangan ini..

Sedang bagi saya pribadi, ikut berjibaku di lapangan, duduk manis di bangku cadangan, mendukung dari tribun penonton, atau menyaksikan pertandingan melalui layar televisi, tidak akan pernah menggambarkan seberapa besar jiwa nasionalisme saya. Karena sebesar apa kecintaan saya terhadap negara saya, hanya saya yang tahu. Sekali lagi "Hanya Saya Yang Tahu"..

Selesai..