Hujan turun cukup lebat ketika taksi yang saya tumpangi menyusuri padatnya jalan HOS Cokroaminoto, Menteng, Jakarta Pusat. Waktu menunjukkan pukul 8 malam. Bunyi sesekali klakson dari para pengendara yang tengah berjuang berebut jalan, menyajikan suasana khas ibu kota.
Tak lama berselang, taksi berwarna biru yang saya kendarai pun berjalan menepi dan akhirnya berhenti di sebuah parkiran. “Sudah sampai Mas,” ujar si pengemudi taksi sambil mematikan argo. “Dimana stadionnya Pak?” tanya saya sambil melihat-lihat ke arah luar.
Malam yang gelap ditambah hujan yang cukup lebat membatasi pandangan saya ketika itu. Yang terlihat hanya sebuah restoran padang yang cukup besar, wartel, tempat cuci mobil, serta deretan pedagang kaki lima. Tidak nampak sebuah stadion sepakbola.
“Itu gerbangnya Mas,” ujar pengemudi taksi sambil menunjuk ke sebuah gerbang besi yang diterangi lampu berwarna kuning di sudut parkiran. “Oh itu gerbangnya Pak. Terus stadionnya sebelah mana?” tanya saya lagi.
“Ini stadionnya Mas, di atas gerbang itu ada tulisan Stadion Persija. Karena gelap saja makanya nggak keliatan,” pengemudi tadi coba menjelaskan. “Oh begitu,” tanpa berlama-lama setelah membayar sesuai argo saya pun keluar dari taksi. Sambil menjinjing tas olahraga, saya berlari menuju gerbang yang ditunjuk oleh si pengemudi taksi tadi.
Sesampainya di gerbang, saya bertemu dengan seorang laki-laki paruh baya berperawakan sedang yang di kemudian hari saya kenal dengan nama Pak Langir (penjaga stadion), yang ketika itu tengah duduk minum kopi sambil menikmati sebatang rokok.
Melihat saya yang tengah kebingungan, bapak tadi pun menyapa, “Cari siapa dik?”
“Mes Persija dimana ya Pak? Katanya di stadion sini?” jawab saya. “Oh mes di belakang dik, ini kantor liganya. Jalan saja ke sono (menunjuk ke arah lorong yang gelap), terus belok kanan. Ikutin aja pager, ntar di belakang tembok gawang sebelah kanan ada bangunan. Itu mess-nya,” bapak tersebut menjelaskan. Setelah mengucapkan terima kasih, saya pun mengikuti petunjuk bapak tadi.
Lorong yang dimaksud bapak tadi hanya diterangi lampu seadanya, sebagian jalan malah tidak berpenerang sama sekali. Kumuh, pengap, kurang terawat, dan terkesan angker adalah kesan pertama saya. Lebih mirip sarang penyamun dari pada stadion sepakbola. Suasana yang begitu gelap, membuat saya tidak mampu melihat perwujudan lapangan sepakbola.
Tak lama kemudian sampailah saya di sebuah gedung dua lantai yang berlokasi persis di belakang gawang. Seorang laki-laki berusia sekitar 35 tahunan berperawakan kecil, yang di kemudian hari saya kenal dengan nama Pak Bogel (penjaga mess) menyambut saya dengan ramah. “Wah Mas Bambang, baru datang? Kok lewat sana, kenapa nggak turun di sini?” ujarnya sambil menunjuk parkiran mes yang memang cukup luas.
“Nggak tahu Pak, sama tukang taksinya diturunin di depan,” jawab saya sambil menjulurkan tangan. Dan kami pun bersalaman. “Iya Pak saya disuruh Pak Aang (menejer Persija) untuk datang ke sini ketemu Pak Hengki (asisten manajer Persija),” ujar saya melanjutkan.
“Wah kantor sudah tutup Mas, sudah pulang semua. Tadi Pak Hengki sudah ninggalin pesan kalo Mas Bambang mau gabung, saya sudah siapkan kamar buat Mas Bambang. Ayo tak anter,” ujar lak-laki tersebut. Saya pun berjalan mengekor di belakang laki-laki tersebut
Sambil jalan, laki-laki tersebut memberikan sedikit penjelasan mengenai ruangan-ruangan di gedung ini. “Kantor di sana Mas, itu ruang makan, dan ini dapur. Sebelah situ ruang fitnes, kamar ada di lantai atas. Mari.” Gedung ini walau pun sudah tua, namun nampak terawat, rapih, dan bersih. Berbeda dengan penampakan stadion di depan tadi.
Setelah menaiki tangga sampailah kami di depan sebuah kamar. Sebelum membuka kamar, orang tersebut kembali menjelaskan, “Di ujung sana ruang meeting. Di situ kamar mandi.” Saya mendengarkan dan memperhatikan penjelasannya dengan seksama.
“Ini kamar Mas Widodo C. Putro, dan Mas Anang Ma’ruf,” ujarnya sambil menunjuk kamar di sebelah kamar saya. “Ini kamar Khair Rifo, dan M. Halim. Itu Budiman Yunus, Nuralim, Ali Sunan, Luciano Leandro, Mbeng Jean, Joko Kuspito, Wahyu Teguh, Siswandi HS. Imran Nahumaruri, Agus Supriyanto….”, ia menyebut satu persatu penghuni kamar.
“Semua pemain tinggal di mess kecuali pemain asing yang di apartemen, tapi mereka juga punya kamar di sini,” orang tadi menjelaskan dengan panjang dan lebar.
Setelah membuka pintu ia pun mempersilahkan saya. Sebelum pamit orang tersebut berkata, “Kalo ada apa-apa panggil saya saja Mas, nama saya Bogel. Kamar saya di bawah di dekat ruang makan tadi.”
“Baik Pak Bogel. Terima kasih,” jawab saya.
Baru beberapa langkah berjalan, Pak Bogel membalikkan badan dan kembali berkata, “Oh iya Mas, latihan besok pagi dimulai jam 7 ya. Nanti akan ada Pak Mansyur (perlengkapan) yang akan membangunkan, dan membagikan baju latihan.”
“Siap,” jawab saya sambil memberi jempol.
Saya pun segera memasuki kamar. Hal pertama yang saya lakukan adalah merebahkan badan sambil menengadah. Tatapan saya jauh menerawang menembus plafon kamar yang berwarna putih.
“Kakeane (makian orang Salatiga) kayak ngimpi ini. Dulu cuma kepikiran untuk bisa main di PSIS Semarang, atau Arseto Solo (dua klub profesional terdekat dari rumah). Eh sekarang malah nyangkut di Persija Jakarta. Klub papan atas yang isinya pemain top semua,” ujar saya dalam hati.
“Eh tapi aku kan pemain top juga ya, wong walau pun baru 19 tahun aku kan anggota tim nasional senior hehehehe. Apa yang harus ditakutkan?” lanjut saya sambil nyengir dan tertawa dalam hati. Saya berusaha untuk memotivasi diri saya sendiri.
Dapat ditebak, malam itu saya habiskan dengan begadang. Pertama, karena jujur saya agak takut tidur sendiri di tempat yang baru. Kedua, tidak sabar rasanya menunggu pagi datang menjelang, agar segera dapat berlatih untuk pertama kali bersama para pemain Persija.
Rasa tidak percaya masih menggelayuti benak saya. Ingin rasanya segera memulai petualangan bersama tim ibu kota ini. Penasaran juga dengan apa yang saya bisa capai bersama Persija Jakarta. Tak terasa kantuk pun datang dan saya pun terlelap.
Apa yang saya sampaikan di atas, adalah cerita saat pertama kali menginjakkan kaki di Stadion Menteng, markas Persija Jakarta. Sebuah cerita yang tidak akan pernah saya lupakan. Malam yang menandai kiprah panjang saya bersama tim kebanggaan masyarakat Jakarta.
Saya tidak akan bercerita mengenai apa yang terjadi setelah malam itu, bagaimana petualangan saya, dan apa saja pencapaian saya bersama Persija Jakarta. Karena ehmmm anda sekalian bisa membacanya secara lengkap di buku pertama, dan kedua saya.
Tahun ini, Persija Jakarta memang tengah dalam keadaan yang tidak dapat dikatakan baik. Apa yang terpampang di klasemen TSC 2016 berbanding terbalik dengan kebesaran dari tim ini. Satu-satunya tim di Indonesia yang berhak menggunakan 1 bintang emas (10 kali juara), serta satu dari hanya dua tim di Indonesia yang belum pernah terdegradasi dari kasta tertinggi sepakbola Indonesia.
Banyak hal di luar dugaan yang terjadi musim ini. Hal yang membuat perjalanan Persija Jakarta dalam mengarungi kompetisi menjadi semakin berat. Namun demikian, masih tersisa 4 pertandingan untuk dapat memperbaiki posisi.
Saya tidak akan bercerita mengenai permasalahan yang membuat tim ini terpuruk. Tidak ada gunanya bercerita mengenai mengapa, dan apa yang menyebabkan tim ini tersengal-sengal musim ini. Karena hal tersebut hanya akan menjadi sebuah alasan, dan berpotensi menjadi sebuah pembenaran.
Namun suatu saat nanti, akan saya bercerita kepada anda sekalian, tentang bagaimana usaha tim ini untuk bangkit melawan. Karena hal tersebut yang pada akhirnya akan membuat saya, anda, dan kita semua terinspirasi, dan semakin mencintai tim ini.
Sejak menginjakkan kaki di Stadion Menteng pada 1999, saya langsung merasa nyaman bermain di Jakarta. Seiring berjalannya waktu kenyamanan tadi berubah menjadi kecintaan dan rasa memiliki. Hingga akhirnya tim ini tidak lagi menjadi sebuah klub sepakbola bagi saya, namun lebih kepada sebuah keluarga besar dengan segala kelebihan dan kekurangannya.
Tak terasa usia saya sudah menginjak 36 tahun. Rasanya baru seminggu yang lalu, anak muda 19 tahun itu tidak bisa tidur karena tidak percaya dapat bermain di tim sebesar Persija Jakarta. Oh waktu begitu cepat berlalu.
Cepat atau lambat saya akan berpisah dengan tim ini. Suatu saat nanti bisa jadi saya juga akan menjadi bagian dari tim lain. Namun dimana pun saya berada, Persija Jakarta tidak akan pernah dapat dihapus dari diri, maupun perjalanan hidup saya. Tidak ada yang dapat menghilangkan bongkahan kisah kasih antara saya dan Persija Jakarta.
Hari ini, 28 November 2016, Persija Jakarta genap berusia 88 tahun. Usia yang tidak lagi muda. Selamat hari jadi Persija Jakarta-ku. Panjang umur, tetap sehat, tetap semangat, dan sukses selalu. Tetaplah menjadi kecintaan, kebanggaan, dan pemersatu kami dalam keberagaman.
Ragaku mungkin akan berpetualang kemana pun hembusan angin akan membawaku. Namun semangat dan karakter Macan Kemayoran akan selalu ada dan merasuk ke dalam jiwaku, sampai kapan pun, iya sampai kapan pun.
Karena:
Sekali Persija, Selamanya Persija…