Sabtu, 10 September 2011..
"La da da da.. Hey hey hey goodbye (Good riddance!).
Hold up,, only rapper to re-write history without a pen.
No ID on the track let the story begin, begin, begin."
#Nowplaying: Jay Z - Death of Auto-tune.. #Lawas
Suara khas Jay Z lewat tembang Death of Auto-tune atau D.O.A menggema di ruangan di mana saya menulis artikel ini. Sebuah ruangan yang berada di lantai 9 salah satu hotel di Jalan Orchard Singapura. Di depan pintu kamar ini tertulis tiga angka yang menandakan nomor kamar yang saya tempati ini, yaitu 943.
Saat ini di Indonesia, masyarakat tengah panas-panasnya membahas mengenai konflik yang tengah terjadi di tubuh tim nasional sepakbola Indonesia. Opini publik berkembang dengan sangat liarnya, banyak sekali orang-orang yang berkomentar hanya berdasarkan sebuah asumsi belaka. Terlalu banyak orang yang merasa paling tahu, padahal sejatinya orang tersebut tidak mengerti titik permasalahannya sama sekali. Dan sejujurnya hal tersebut, budaya berkomentar dengan bekal pengertian yang minim, tanpa kita sadari akhir-akhir ini sudah menjadi sebuah budaya di negeri ini.
Melalui artikel ini, saya secara pribadi maupun sebagai kapten tim nasional Indonesia ingin sedikit bercerita mengenai titik permasalahan yang sebenarnya. Melalui tulisan ini pula saya ingin menyampaikan tanggapan secara pribadi, mengenai konflik yang saat ini tengah menimpa tim nasional sepakbola kesayangan kita bersama ini.
Mengutip dari salah satu lirik syair lagu Jay Z di atas, "No I\'D on the track let the story begin, begin, begin". Maka pada artikel ini, saya akan bercerita tanpa menyebutkan identitas seseorang yang saya ceritakan. Saya akan mencoba menggunakan istilah lain, tanpa menyebutkan nama jelas dari objek yang saya ceritakan. Akan tetapi, saya yakin dengan tanpa menyebutkan identitas pun Anda mungkin sudah dapat menebak siapa orang-orang yang saya ceritakan tersebut.
So, let the story begin...
Stadion Gelora Bung Karno, 6 September 2011
"Sebuah kekalahan memang sangat menyakitkan, tetapi akan jauh lebih menyedihkan lagi jika kekalahan tersebut membuat sebuah tim tercerai-berai."
Para pemain berjalan dengan sedikit gontai menuju ruang ganti sesaat setelah Indonesia ditekuk Bahrain, dalam lanjutan kualifikasi Piala Dunia 2014 di Stadion Utama Gelora Bung Karno. Saya sendiri merasa sangat kecewa malam itu. Dua kekalahan yang kami terima dari Iran dan Bahrain membuat pengorbanan kami semua yang harus terpisah dari keluarga selama puasa dan hari raya, rasanya sia-sia saja. Suasana ruang ganti menjadi sangat muram malam itu, kabut tebal nan gelap tampak menggelantung di wajah para punggawa tim nasional Indonesia. Saya sempat tertegun dengan pandangan kosong menatap ke lantai sesaat, sebelum akhirnya saya tersadar akan kewajiban saya sebagai kapten tim, yaitu konferensi pers.
Seketika saya melihat ke arah kursi pelatih kepala tim nasional Indonesia, dan ternyata beliau sudah tidak berada di tempatnya. Maka secepat kilat saya membersihkan badan dan bergegas menuju ruang konferensi pers yang berada di bagian tengah stadion kebanggaan bangsa Indonesia ini.
Seperti yang selalu saya utarakan, bahwa saya adalah pemain yang hanya bersedia menjawab pertanyaan media di konferensi pers resmi, sebelum atau setelah pertandingan dalam apa pun keadaannya. Baik ketika tim menang ataupun ketika tim tengah meraih hasil yang sangat buruk, seperti malam ini contohnya. Karena hal tersebut sudah menjadi kewajiban dan tanggung jawab saya.
Dalam konferensi pers itu saya datang sedikit terlambat. Saat saya memasuki ruangan, pelatih kepala timnas Indonesia baru saja menyampaikan pendapatnya mengenai pertandingan yang baru saja usai. Dan sejujurnya saya tidak mendengar apa yang beliau sampaikan, karena ketika saya sampai ia baru saja ingin menjawab pertanyaan pertama atau barang kali malah yang kedua dari rekan-rekan wartawan.
Dalam konferensi pers itu semua berjalan normal. Salah satu poin penting yang saya tangkap dari apa yang disampaikan pelatih kepala tim nasional Indonesia adalah:
"Saya sangat kecewa dengan permainan tim malam ini, dan untuk itu saya akan menyuntikkan beberapa darah baru pada pemanggilan pemain yang akan datang, hal tersebut saya lakukan untuk menambah kekuatan tim."
Menurut saya pribadi komentar tersebut sangat wajar, pemanggilan pemain timnas adalah menjadi hak mutlak dari seorang pelatih timnas. Dan ketika dia merasa tidak puas dengan kinerja pemainnya, maka menjadi hak beliau juga untuk menggantinya dengan pemain yang sesuai dengan apa yang ia inginkan.
Sejujurnya saya malah merasa kurang puas dengan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan rekan-rekan wartawan kepada saya. Sejujurnya saya sudah menyiapkan diri untuk pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya lebih menyudutkan dari apa yang mereka tanyakan. Akan tetapi, sayangnya pertanyaan-pertanyaan yang disampaikan pada malam itu menurut saya terasa teramat sangat datar.
Padahal tujuan saya datang dalam setiap konferensi pers dalam apapun hasil yang didapat tim saya, adalah untuk menjawab segala pertanyaan yang mungkin mengganjal di hati rekan-rekan wartawan, apapun itu. Saya akan menjawab apapun pertanyaan pada sesi tersebut, karena di luar sesi konferensi pers saya sudah tidak melayani pertanyaan dalam bentuk apapun. Akan tetapi sudahlah, mari kita lewatkan masalah tersebut dan kembali lagi pada jalan cerita utama.
Dalam perjalanan pulang dari stadion menuju hotel, tiba-tiba salah satu rekan pemain yang boleh dikatakan lumayan senior menghampiri saya dan duduk tepat di sebelah saya. Pemain tersebut awalnya duduk di bagian belakang dari bus tim nasional, sedangkan saya sendiri memang selalu duduk di deret kursi no 3 dari depan. Ketika itu pemain tersebut berkata:
Rekan: “Bro gimana nih? Masak pelatih komentar kayak gini ke media,” kata dia sambil memperlihatkan sebuah link berita di Twitter. Dalam berita tersebut kurang lebih tertulis komentar pelatih tim nasional yang berbunyi: "Ini bukan tim saya, pemain-pemain tersebut bukan pilihan saya, mereka tidak layak bermain di level internasional.”
Saya: “Ah ngawur itu Bro, perasaan gue tadi dia ngga ngomong gitu di konferensi pers, kan gue ada di sana.”
Rekan: “Tapi masak iya wartawan nulis gini tanpa ada komentar dari yang bersangkutan Bro. Kalau begini caranya pelatih nyalahin pemain dong? Kalau dia masih menjadi pelatih gue mendingan ngga usah dipanggil lagi lah.”
Seketika saya menatap rekan saya tersebut dengan seksama dan berkata: "Dengan alasan apa lo ngga mau main buat tim nasional lagi Bro..??"
Rekan: “Gue ngga bisa kerja sama dengan pelatih ini Bro. Habis mandi lo temenin gue ketemu dia ya, tolong terjemahin kalo gue minta ngga dipanggil saat lawan Qatar.”
Dengan nada yang sedikit lebih tinggi saya berbicara kepada rekan saya tersebut. “Bro, kalo lo mau ketemu pelatih untuk diskusi mengenai pertandingan tadi, gue akan temenin. Tetapi, kalo lo mau ketemu dia hanya untuk mengatakan bahwa lo mau mengundurkan diri, sorry Bro gue ngga bisa nemenin lo, karena untuk yang satu ini gue ngga setuju dengan jalan pikiran lo.”
Rekan: “Tapi, apakah pantes seorang pelatih ngomong gitu Bro ke media? Artinya main aman sendiri lah dia.”
Saya: “Gue ngerti, dan untuk itu gue setuju ama lo. Tetapi reaksi lo dalam menanggapi masalah ini dengan mengundurkan diri tidak juga dapat dikatakan benar Bro. Bukan itu yang seharusnya kita lakukan.”
Rekan: “Ngga lah Bro, gue tetap ngga terima dengan pernyataan dia. Kalo lo ngga mau nemenin, ya sudah gue jalan sendiri.”
Saya: “Itu hak lo Bro, gue ngga bisa larang. Tapi lo harus inget, kita ini adalah contoh bagi generasi di bawah kita Bro, kalau semua pemain berpikiran seperti apa yg ada di kepala lo sekarang ini, siapa lagi pemain yang akan jatuh bangun main buat tim nasional Bro? Generasi di bawah kita juga akan berpikir kalo main di timnas itu bisa ke luar masuk sesukanya sendiri, dan itu salah besar Bro.”
Rekan: “Bukankah dia juga udah bilang kalau sebagian besar pemain bakal diganti?”
Saya: “Gue tahu itu. Bagi gue dicoret atau tidak dipanggil timnas jauh lebih terhormat dari pada kita menolak pemanggilan atau sengaja tidak datang Bro. Kita tidak pernah tahu siapa-siapa yang akan dipanggil atau dicoret. Akan tetapi sekali lagi kita tidak berhak mengatakan jika kita tidak akan datang jika memang nantinya tenaga kita masih diperlukan Bro, apapun alasannya.”
Rekan: “Gue tau Bro, tapi gue sangat kecewa dengan keadaan ini.”
Saya: “Gue rasa ngga cuma lo yang kecewa Bro. Hampir semua pemain pasti kecewa kalo memang pelatih kepala menyampaikan hal seperti yang ditulis media tadi. Lebih baik lo tenangin diri dulu lah, istirahat dulu sama keluarga, minggu depan kita bahas lagi, OK?”
Rekan: “OK, Bro!”
Setibanya di hotel banyak sekali BBM yang masuk ke ponsel saya. Hampir semuanya menanyakan perihal kualitas pelatih tim nasional saat ini dan mengapa pelatih tersebut berkomentar demikian ke media. Salah satu sahabat di luar dunia sepakbola mengirim BBM yang berisi begini: "Emang bener ya si pelatih sekacrut (Separah) itu, maki-maki pemain sembarangan di ruang ganti dan gimana bisa seorang pelatih berkomentar begitu ke media, main aman sendiri.”
Saat itu jawaban saya adalah: "Sorry ya Bro, apa pun hal krusial yang terjadi di ruang ganti tim ini ngga akan gue kasih tau orang lain di luar tim, termasuk juga lo Bro. Lo tau kan kalo itu bukan kebiasaan gue, sekali lagi sorry ya.”
Menurut hemat saya, seorang pelatih marah dan memaki pemain di ruang ganti adalah hal yang sangat wajar. Sekeras dan sekasar apapun itu, selama masih di dalam area ruang ganti menurut saya itu hal yang biasa. Yang tidak biasa dan tidak wajar adalah ketika seorang pelatih menyalahkan pemain di depan media, dan itu menurut saya pokok permasalahan yang sebenarnya, hal yang membuat para pemain menjadi kehilangan respek kepada seorang pelatih.
Sejujurnya seperti yang saya sampaikan di atas, saat konferensi pers saya tidak pernah mendengar pelatih kepala tim nasional berkata, "Ini bukan tim saya, mereka bukan pemain pilihan saya dan tim ini tidak layak bermain di level international". Saya tidak tahu jika kalimat tersebut terucap sesaat sebelum saya memasuki ruangan konferensi pers karena saya terlambat datang.
Malam setelah pertandingan atau pada 7 September dini hari pukul 01:45, staf manajemen tim nasional memanggil saya ke kamar mereka di lantai 9 Hotel Sultan Jakarta. Ketika itu staf tersebut menanyakan perihal kondisi tim. Saat itu saya menjawab, jika sejujurnya kondisi sangat kurang kondusif, banyak pemain yang sangat kecewa dan mulai kehilangan respek kepada pelatih karena komentar negatif sang pelatih kepada media. Ketika itu saya juga menyampaikan bawha ada satu pemain yang sempat menemui saya dan ingin mengundurkan diri dari timnas. Akan tetapi saya juga menyampaikan, jika saya sudah berusaha menenangkan pemain tersebut dan semoga saja dalam waktu dekat dia akan berubah pikiran.
Beberapa saat kemudian salah satu pengurus menyampaikan sesuatu yg sangat mengagetkan saya, yaitu kira-kira sampai dengan pukul 24:00 tengah malam tadi, sudah terdapat 7 pemain yang menghadap untuk menyampaikan hal yg sama, yaitu tidak bersedia bermain untuk tim nasional selama pelatih kepala yang saat ini masih memegang kendali tim nasional. Pengurus tersebut menyebutkan ada 7 pemain yang menyatakan menolak bermain di bawah asuhan pelatih timnas saat ini, tetapi tidak menyebutkan nama-nama pemain tersebut.
Sejujurnya hal itu membuat saya kaget dan sedikit marah. Sekali lagi, terlepas dari hal tersebut memang menjadi hak dari setiap pemain, tetapi menurut hemat saya mereka tidak seharusnya berlaku demikian. Menurut saya masih banyak hal yang dapat ditempuh.
Pelatih menyalahkan pemain dalam sebuah kekalahan adalah tindakan yang salah, tetapi pemain melimpahkan kesalahan kepada pelatih tidak juga dapat dikatakan benar. Kekalahan ini adalah kekalahan bersama, maka mari kita tanggung bersama-sama. Mari kita rapatkan barisan untuk mencari solusi atau strategi agar dalam pertandingan ke depan dapat lebih baik..
Kejadian tersebut juga menjawab salah satu opini salah yang berkembang di publik akhir-akhir ini, yaitu: "Jika pertemuan saya dengan mantan pelatih tim nasional sebelumnya lah yg memicu keputusan 7 pemain tersebut untuk memboikot tim nasional". Logikanya bagaimana mungkin mantan pelatih tersebut mempengaruhi keputusan 7 pemain tersebut, sedangkan pertemuan mantan pelatih dengan beberapa dari kami baru berlangsung sehari kemudian. Sedangkan para pemain sendiri sudah mengambil keputusan pada malam setelah pertandingan.
Jadi, jika ada pihak-pihak yang berpendapat bahwa keputusan 7 pemain tersebut adalah atas intervensi mantan pelatih tim nasional, maka sejatinya orang-orang tersebut hanya asal berkomentar tanpa mengerti kronologi permasalahan yang sebenarnya. Itu hanyalah bentuk reaksi dari kepanikan dalam menghadapi kondisi yang berkembang saat ini.
Keesokan harinya, 7 September, dua sahabat saya yg lain kembali mengirim pesan via BBM. Pesan pertama berasal dari sahabat dekat saya yang juga berprofesi sebagai Wakil Redaktur Pelaksana sebuah media olahraga terkemuka di negeri ini, pesan tersebut berisi: "Bepe apa benar ya pelatih bicara kasar kepada pemain di ruang ganti..??". Saat itu saya menjawab, "Hehehe… Tergantung dari sudut mana kita melihatnya Bro..??". Kemudian masuk lagi BBM dari orang yang sama, "Bhahahaha… Sudut peduli timnas (diikuti ikon senyum)". Setelah itu saya hanya menjawab singkat dengan "Hahahaha" dan komunikasi kami pun berhenti.
BBM kedua berasal dari gitaris salah satu band rock papan atas di negeri ini, pesan tersebut berisi, "Ada isu kalo lo ama beberapa teman bakal boikot??". Dan jawaban saya ketika itu adalah, "Gue ngga bisa mewakili jawaban untuk temen-temen Bro. Tapi kalo secara pribadi jawaban gue, "Ngga akan pernah gue mogok buat tim nasional".
Jawaban dari sahabat tersebut hanyalah sebuah ikon tangan menggenggam, dengan jempol diangkat ke atas tanda setuju. Kemudian saya kembali menulis pesan kepada sahabat tersebut yang berisi, "Tapi gue ngga pernah nyalahin kalo ada pemain yg berpikir demikian. Mungkin emosi sesaat nanggepin komentar pelatih di media. Dalam beberapa hari mereka juga akan sadar, kalo pada akhirnya mereka kan bermain buat negara bukan buat pelatih".
Jawaban dari ujung sana berisi: "Iya, tapi gue agak kecewa dengan ucapan pelatih kalo pemain sekarang bukan pilihannya, kesannya seperti ngga mau disalahkan. Harusnya mungkin jawabannya bukan itu.” Kemudian saya tidak memperpanjang percakapan tersebut.
Satu hal yang perlu dan harus digarisbawahi di sini adalah segala permasalahan ini berawal dari komentar pelatih kami di media yang terkesan melempar tanggung jawab ke pemain. Bukan peristiwanya di ruang ganti saat jeda pertandingan, juga bukan peristiwa bertemunya saya dan beberapa pemain dengan mantan pelatih tim nasional yang sebelumnya.
Komentar pelatih kami saat jeda pertandingan memang sangat keras dan membuat kami sedikit kaget, tetapi hal itu seharusnya masih dapat kami terima karena terjadi dalam lingkup ruang ganti yang masih menjadi ruangan privasi kami. Dan saya yakin di belahan dunia mana pun, dalam suatu waktu seorang pelatih pasti pernah meledak-ledak di ruang ganti, tetapi mungkin dengan gaya bahasa masing-masing. Sekali lagi bukan itu pokok permasalahan yang sebenarnya.
Apalagi komentar dari beberapa pihak yang terkesan kebakaran jenggot dengan bertemunya saya dan beberapa pemain dengan mantan pelatih kami tersebut, menurut saya juga menjadi sebuah reaksi yang berlebihan (Silahkan baca kronologi pertemuan saya tersebut di artikel "Suatu sore di Roemah Rempah - September 2011"). Sekali lagi itu hanya wujud dari sebuah kepanikan dalam menanggapi permasalahan yang tengah berkembang saat ini.
7 September2011, Siang Hari..
Salah satu pemain timnas yang juga merupakan sahabat kecil saya menghubungi melalui telepon. Ketika itu pemain tersebut menanyakan "Bener ngga sih pelatih ngomong gitu di konferensi pers, ini di media udah rame banget. Lo kan ada di tempat kejadian, gue takutnya media aja yang terlalu berlebihan memberitakan komentar pelatih.”
Kepada pemain tersebut saya berkata, "Bro, gue sendiri ngga pernah mendengar kalimat itu ke luar dari mulut pelatih. Akan tetapi gue ngga tahu kalo dia ngomong sebelum gue datang ke ruangan, karena gue emang sempat telat waktu konferensi pers Bro.”
Akan tetapi pada perkembangannya saya mendapat kabar dari salah satu staf manajemen timnas yang ketika konferensi pers berada di ruangan sejak awal, bahwa memang benar pelatih tim nasional mengatakan demikian. Dan oleh karena itulah saya pun segera menghubungi pemain yang juga sahabat kecil saya tersebut dan menyatakan jika komentar tersebut memang benar adanya.
8 September 2011, Sore Hari..
Salah satu dari pemain yang mengundurkan diri mengirim sebuah pesan melalui BBM yang berisi: "Capt, saya mohon maaf sebelumnya, kemarin saya sudah mengundurkan diri dari timnas, saya tidak bisa bekerja sama dengan pelatih timnas. Semoga sukses untuk pertandingan mendatang.” Karena ketika itu saya tengah menjalani shooting sebuah iklan, maka saya menjawab: "Gue lagi syuting Bro, ntar gue BBM lo lagi ya.. Keliatannya ada jalan ke luar buat semuanya, ada kabar baik barusan, tapi ntar kita bahas lagi OK". Dan pemain tersebut menjawab "OK Capt".
9 September 2011, Sore Hari..
Saya mendapat kiriman beberapa artikel dari salah satu pemain yang berisi berita bahwa saya akan dipanggil oleh Ketua Komisi Disiplin, berkaitan dengan pertemuan saya dengan mantan pelatih tim nasional. Setelah membaca berita tersebut sayapun menulis pesan via BBM kepada manajer tim nasional yang berisi: "Boss kalo Komdis mau ketemu aku, sekarang posisiku di Singapore. Minggu depan baru balik Jakarta, minggu depan saya siap menghadap jika dipanggil." Jawaban dari ujung sana adalah: “Ok beng, tapi belum ada tanda-tanda dari Komdis."
Ada beberapa hal yang menurut saya sangat penting dan harus digarisbawahi pada artikel ini, di antaranya adalah:
Pertama: Jika diperhatikan dari dialog saya dengan salah satu pemain yang menghampiri saya di bus, serta percakapan saya dengan salah satu sahabat saya yang juga seorang gitaris (saya tulis dengan huruf tebal), dapat disimpulkan bahwa: "Sebagai pemain komitmen saya terhadap tim nasional tidak berubah sama sekali, masih seperti apa yang saya jabarkan dalam artikel “Sebuah Janji Ditengah Malam Yang Sunyi - Desember 2010”. Sehingga jika ada kabar saya termasuk salah satu dari 7 pemain yang berniat memboikot dari timnas, itu sebuah kesalahan yang sangat besar. Apalagi kabar yang mengatakan saya yang memimpin mereka untuk melakukan hal tersebut”.
Kedua: Sekali lagi saya tegaskan di sini, bahwa pertemuan 3 pemain timnas dengan mantan pelatih timnas dan keputusan 7 pemain yang menyatakan keberatan bermain di bawah asuhan pelatih tim nasional yang sekarang, adalah dua hal yang sangat berbeda dan tidak ada keterkaitan antara satu dengan yang lain seperti yang saya jelaskan di artikel "Suatu Sore Di Roemah Rempah – September 2011”.
Ketiga: Ketidakpuasan pemain kepada pelatih tim nasional lebih dikarenakan komentar beliau setelah pertandingan yang sangat menyudutkan pemain. Bukan karena komentar keras sang pelatih di ruang ganti, bukan juga karena ada provokasi dari mantan pelatih tim nasional, yang memang tidak pernah terjadi.
Dan keempat: Dari 7 pemain yang sempat dikabarkan keberatan untuk kembali ke tim nasional, dua di antaranya saya tahu betul siapa orangnya. Satu pemain menyampaikan secara langsung di bus, sedangkan satu lagi mengirim pesan via BBM ke saya. Sedang 5 sisanya saya tidak ingin menebak-nebak, karena staf tim nasional hanya menyebut angka tanpa menyebut nama. Terlepas dari itu semua, saya yakin jika mereka adalah pemain-pemain yg masih mempunyai loyalitas yg sangat tinggi kepada tim nasional Indonesia. Sehingga tindakan tersebut hanyalah ungkapan dari emosi sesaat, saya yakin jika hati kecil mereka tidak berkata demikian.
Di akhir artikel ini izinkanlah saya menyampaikan beberapa hal kepada seluruh kolega saya di tim nasional Indonesia. Saya berbicara di sini atas nama pribadi, atas nama seseorang yang sama-sama mencintai olahraga ini (sepakbola), atas nama seseorang yang sama-sama memiliki kebanggaan sebagai pemain nasional dan akhir sekali sebagai kapten kesebelasan tim nasional Indonesia.
Untuk 7 pemain yang sempat menyatakan keberatan untuk kembali ke tim nasional, adalah hak kalian untuk bersikap demikian, tetapi saran saya adalah beristirahatlah dulu kawan-kawan, nikmatilah waktu bersama keluarga yang sudah beberapa waktu kalian tinggalkan. Lupakanlah dulu segala sesuatu yang berhubungan dengan dunia sepakbola. Semoga dalam beberapa waktu ke depan, kita dapat kembali membahas masalah ini dengan lebih tenang serta pikiran yang lebih jernih.
Untuk seluruh rekan-rekan pemain tim nasional kualifikasi Piala Dunia 2014, perkenankan saya untuk mengutip sebuah quote dari "Susie Switzer" untuk sekedar mengingatkan kita semua.
"There would be no passion in this world if we never had to fight for what we love"
Cara kita menyikapi setiap masalah mungkin tidak sama, tetapi cara kita mencintai sepakbola dan tim nasional Indonesia saya yakin tidak jauh berbeda. Sepakbola adalah passion kita dan bermain untuk tim nasional adalah prestasi tertinggi seorang pemain sepakbola. Maka mari kita jadikan segala permasalahan ini sebagai salah satu bentuk perjuangan kita dalam menjalani profesi yang sangat kita cintai dan banggakan bersama "Sebagai Pemain Sepakbola".
Akhir sekali "Selamat berlibur untuk kita semua".
Selesai..