PERJALANAN Persija hingga meraih gelar juara Liga Indonesia 2001, tidaklah semulus yang banyak orang perkirakan. Onak dan duri pun harus dilewati. Sebagai salah satu tim bertabur bintang dan kandidat juara, Persija sempat tampil angin-anginan di awal musim. Beberapa kekalahan dan hasil seri membuat Persija hanya mampu bertengger di papan tengah wilayah barat. Transformasi sistem 3-6-1 warisan Ivan Kolev, ke sistem 3-5-2 oleh Andi Lala kurang berjalan dengan baik.

Masuknya darah-darah baru ke dalam tim, juga terasa belum nyetel. Persija memang berhasil tampil menggila dalam beberapa pertandingan. Namun di pertandingan yang lain Persija tampil loyo dan mengalami kekalahan, bahkan dari tim yang boleh dikatakan di bawah kelas Persija. Salah satu faktor yang membuat penampilan Persija angin-anginan, adalah minimnya rotasi yang diberlakukan. Kebugaran pemain menjadi kendala untuk tim dapat tampil trengginas, dalam setiap pertandingan.

Naiknya Sofyan Hadi sebagai nahkoda baru membawa angin segar. Pelatih yang juga merupakan legenda Persija ini, mengatasi inkonsistensi penampilan tim, dengan banyak melakukan rotasi pemain. Walaupun sistem, pakem, dan kerangka bermain tetap sama menggunakan formasi 3-5-2. Kedalaman materi pemain yang dimiliki Persija ketika itu, memungkinkan Sofyan Hadi melakukan rotasi pemain, tanpa mengurangi greget permainan tim. Sejak saat itu, grafik permain Persija mulai stabil dan cenderung naik. Hingga berhasil memenangkan tujuh pertandingan berturut-turut, di akhir putaran pertama. Walaupun di awal putaran kedua tim kembali tampil tidak konsisten, namun semua permasalahan itu dapat diatasi dengan komunikasi yang baik, antara jajaran manajemen dengan seluruh anggota tim. Hingga tim pun dapat kembali solid.

Sebagai tim yang dihuni banyak pemain bintang, besarnya ego pemain juga merupakan jalan berbatu yang tidak mudah untuk dilewati. Setidaknya sepuluh pemain Persija ketika itu, masuk dalam bank data pemain seleksi tim nasional. Imran Nahumaruri, Bambang Pamungkas, Gendut dony, Budi sudarsono, Nuralim, Warsidi, Anang Ma’ruf, Widodo Cahyono Putra, Aris Indarto, dan Agus Supriyanto. Belum lagi dengan empat pemain asing kelas satu seperti Luciano Leandro, Ebanda Timothy, Antonio Claudio, dan Mbeng Jean Mambalou. Hal tersebut, juga membuat Sofyan Hadi harus pandai dan cermat dalam memilih serta memilah, siapa-siapa pemain yang harus tampil dalam sebuah pertandingan.

Beruntung Persija memiliki pemain dengan kareakter dan jiwa besar seperti Widodo Cahyono Putra. Peran Widodo di dalam lapangan memang sudah mulai berkurang. Namun di luar lapangan, Widodo tidak dapat dimungkiri adalah kapten Persija yang sesungguhnya. Ia selalu menjadi panutan dan contoh teladan, bagi setiap pemain Persija. Secara reputasi, tidak ada satu pun pemain yang selevel dengan Widodo Cahyono Putra. Jangankan sama, mendekati saja tidak. Jika pemain sekaliber Widodo saja, dengan sangat profesional menerima dan bahkan tetap mendukung, dengan melakukan hal-hal baik untuk menjaga kondusifitas tim. Maka, tidak ada pemain lain yang pantas untuk berontak, dengan kebijakan pelatih.

Rotasi pemain adalah langkah paling tepat dan bijaksana, yang membuat semua pemain merasa memiliki peran di dalam tim. Setiap pemain berlatih keras, untuk berlomba-lomba membuktikan diri kepada pelatih. Jika mereka layak untuk diberi kepercayaan untuk bermain, ketika pemain lain di posisinya mengalami cedera, kelelahan, atau dipanggil seleksi tim nasional. Dengan sepuluh pemain nasional dan empat pemain asing kelas satu, dapat dibayangkan bagaimana kualitas permainan Persija ketika itu. Rotasi pemain yang diberlakukan oleh Sofyan Hadi terbukti jitu, dan menjadi salah satu kunci stabilitas permainan Persija, hingga mampu meraih gelar juara Liga Indonesia.

Keberadaan I Gusti Kompyang Manila sebagai Chef de Mission, juga memiliki andil besar bagi kesuksesan tim. IGK Manila yang ketika itu memilih untuk tinggal di mes Menteng bersama pemain, menjadi juru kunci bagi tim. Keberadaan IGK Manila yang selalu dekat di lingkungan pemain, serta kiprahnya sebagai pensiunan Kopassus yang lama berkutat dalam bidang intelejen, membuat tidak ada satu pun kejadian dalam tim yang luput dari radarnya. Sosoknya memang tegas, garang, dan angker namun dibalik itu beliau adalah orang yang sangat mengayomi. Engkong Manila adalah jangkar, bagi kapal besar bernama Persija.

Jakarta dan Persija harus bersyukur, memiliki kepala daerah seperti Sutiyoso. Gubernur gila bola ini paham betul, jika Persija adalah aset penting bagi kota Jakarta. Bang Yos sadar, ke-bhinekaan masyarakat Jakarta hanya dapat disatukan, dengan rasa memiliki atas sebuah hal yang dapat dibanggakan. Membangkitkan Persija yang sudah lama tertidur adalah salah satu jalan, agar masyarakat Jakarta memiliki sesuatu yang dapat dijadikan kebanggaan bersama.

Walaupun sempat gagal di beberapa tahun awal, tidak ada sedikitpun terlintas kata menyerah di benaknya. Disela-sela kesibukannya sebagai kepala daerah, Bang Yos selalu memantau secara detail, setiap perkembangan yang terjadi di dalam tim. Komunikasi intensif selalu terjalin antara Bang Yos dengan IGK Manila. Dalam setiap permasalahan yang terjadi, ia selalu mengajak seluruh elemen yang terkait dengan Persija, untuk duduk bersama guna mencari solusi terbaik. Ini jugalah yang menjadi kunci kesuksesan Persija.

Sebuah tim yang kuat, tidak ada artinya tanpa adanya dukungan dari suporter. Karena suporter adalah nyawa ke dua belas, bagi setiap tim. Tidak mudah untuk membangun fanatisme kedaerahan di kota sebesar Jakarta yang masyarakatnya sangat majemuk. Namun bagaimana pun sulitnya, rasa memiliki itu harus mulai ditanamkan. Pemahaman yang kemudian membuat Bang Yos, menginisiasi terbentuknya aliansi suporter Jakarta, yang kemudian dikenal dengan nama The Jakmania.

Satu cita-cita besar Bang Yos, “Jakarta harus bersatu, Jakarta harus memiliki kebanggaan”. Dan kebanggaan itu bernama Persija, dan The Jakmania. Titik.

Tetap semangat dan sukses selalu....

 

BAMBANG PAMUNGKAS