SELASA, 4 Desember 2012 dini hari, seorang pesepakbola profesional asal Paraguay telah mengembuskan napas untuk terakhir kalinya, di Rumah Sakit Dr Moewardi Solo. Pemain tersebut bernama Diego Antonio Mendieta Romero, atau Diego Mendieta begitu ia biasa disapa.
Diego Mendieta pergi untuk selama-lamanya, meninggalkan seorang istri dan tiga orang anak. Dia meninggal dalam keadaan sakit dan mengalami kesulitan biaya untuk penyembuhan penyakitnya. Hal tersebut terjadi, karena gaji yang seharusnya menjadi haknya, belum dibayarkan oleh klub yang dibelanya selama kurang lebih 4 bulan.
Kejadian yang menimpa Diego Mendieta adalah bukti karut-marutnya persepakbolaan di Indonesia. Pertikaian para elite pengurus sepakbola, tidak dapat dimungkiri telah memicu terjadinya perpecahan di segala aspek dalam struktur sepakbola di negeri ini. Perpecahan tersebut tidak hanya terjadi pada level federasi, akan tetapi juga telah merambah pada tingkatan liga, tim nasional, klub, hingga ke para pemain itu sendiri.
Olahraga bernama sepakbola, pada hakekatnya dimainkan untuk menjalin persahabatan, persaudaraan dan juga persatuan. Di sana ada rasa saling menghargai antara satu dengan yang lainnya. Akan tetapi, sayangnya, akhir-akhir ini esensi itu sudah mulai hilang di negara kita. Kasus Diego Mendieta adalah bukti sahih tidak adanya saling menghargai dalam lingkungan sepakbola kita.
Pengurus klub hanya menuntut pemain melaksanakan kewajibannya tanpa memikirkan hak-hak dari pemain tersebut. Pengurus menjadikan pasal-pasal dalam kontrak sebagai landasan untuk melarang pemain melakukan ini dan itu, sedangkan pasal-pasal lain yang mengatur masalah kewajiban klub terhadap para pemain, mereka abaikan. Pemain dijadikan senjata untuk bernegosiasi dengan kubu yang bertentangan dengan mereka, akan tetapi di sisi lain kesejahteraan pemain tidak mereka pikirkan. Gaji yang menjadi hak pokok dari para pemain, tidak mereka bayarkan.
Memang tidak semua klub di Indonesia memiliki tunggakan kewajiban kepada pemain. Akan tetapi dari 100% klub di Indonesia, baik yang bernaung di bawah bendera PSSI maupun KPSI, hanya 25% yang bisa dikatakan sehat secara finansial. Sedang 75% sisanya dalam keadaan sakit.
Jika kasus Diego Mendieta ini dijadikan celah bagi salah satu kubu untuk menyerang kubu yang lain, maka sejatinya mereka bagaikan pinang dibelah dua, sama persis. Kedua kubu sama-sama dalam keadaan sakit. Apa yang membedakan satu kubu dengan kubu yang lain, jika yang satu melakukan terminasi kontrak dengan hanya membayarkan sebagian dari kewajibannya. Sedang kubu yang lain menunggak gaji pemain antara 2 sampai 8 bulan.
Tersanderanya hak-hak pemain membuat banyak sekali pemandangan-pemandangan memilukan terjadi di persepakbolaan kita akhir-akhir ini. Mulai dari para pemain di beberapa klub memilih turun ke jalan untuk melakukan demo agar hak mereka segera dibayarkan. Ada juga pemain asing di salah satu klub harus mengamen di lampu merah, untuk sekedar menutupi kebutuhan hidup mereka. Kemudian para pemain nasional mendapat larangan untuk membela tim nasional Indonesia (akan disanksi atau di pecat jika tetap nekat melakukannya). Hingga, yang paling tragis, adalah apa yang menimpa Diego Mendieta.
Dalam hal ini APPI sebagai induk organisasi dari para pemain juga tidak tinggal diam. APPI sudah menemui semua pihak yang terkait dengan permasalahan ini, guna menegosiasiakan pembayaran. Mulai dari Klub-klub (ISL dan IPL), regulator liga (ISL dan IPL), CEO Liga (PT LI dan PT LPIS), juga Ketua Umum masing-masing baik PSSI maupun KPSI. Namun sajauh ini, nampaknya jalan keluar itu masih saja terlihat samar-samar.
Oleh karena itu, APPI juga mencoba menyampaikan permasalahan ini kepada struktur otoritas yang lebih tinggi, yaitu Menpora dan juga Presiden Republik Indonesia. Dan, seperti yang pernah saya sampaikan, bahwa pemain bisa menjadi faktor penting jika saja mau berperan aktif dalam mencari solusi terbaik bagi segala permasalahan yang terjadi saat ini. Tapi dengan catatan: semua pemain sepakbola di negeri ini, mau untuk bersatu-padu dalam satu suara!
Menyatukan suara dan tindakan dari seluruh pemain sepakbola di Indonesia, tidak peduli bernaung di liga apa dan federasi yang mana, adalah pekerjaan rumah terbesar bagi APPI. Dengan masih kecilnya kesadaran berorganisasi dari para pemain, ditambah dengan begitu besarnya tekanan dari para pengurus klub terhadap para pemain, menyatukan visi dan reaksi dari seluruh pemain adalah tantangan terbesar bagi APPI.
Sekarang adalah saatnya pemain untuk berani bersikap dan bertindak, tidak hanya sekedar menunggu dan memberi komentar. Harus ada tindakan konkret secara bersama-sama dari seluruh pemain di negeri ini, untuk menuntut adanya perubahan dan juga perbaikan. Jikalau harus dengan cara yang sedikit ekstrem pun, seperti mogok atau menolak bermain misalnya, menurut saya sudah sepantasnya dilakukan.
Sekali lagi kasus Diego Mendieta ini adalah cerminan betapa bobroknya persepakbolaan di negeri ini. Harus menunggu peristiwa apalagi, agar hak-hak para pemain yang masih tertunggak itu segera dibayarkan.
"Sepakbola Indonesia Sudah Berada Pada titik Paling Nadir", ini adalah fakta bukan mengada-ada....
Selesai....