"Merdeka itu apa? 


Bung Karno dalam banyak kesempatan menyampaikan, kemerdekaan adalah kebebasan untuk merdeka. Artinya, setiap bangsa yang merdeka harus memiliki kebebasan untuk menentukan sikap politik nasionalnya sendiri, untuk merumuskan konsepsi nasionalnya sendiri, tanpa dihalang-halangi oleh tekanan-tekanan, atau campur tangan dari pihak luar.


Sebuah bangsa yang merdeka memiliki kebebasan untuk melakukan apapun, sepanjang kebebasan tersebut tidak menggangu, atau merugikan kepentingan nasional bangsa lain.


Apa yang disampaikan Bung Karno tersebut tentu merdeka dalam kaitan sebagai sebuah bangsa. Kemudian, bagaimana dengan merdeka dalam kaitan sebagai sebuah pribadi? 


Begini, kemerdekaan sebuah pribadi dapat diartikan sebagai kekuasaan untuk menentukan sikap diri sendiri untuk berbuat, atau tidak berbuat. Oleh karena itu mereka yang merdeka harus memiliki kekuasaan untuk menguasai diri sendiri, dan juga perbuatannya.


Karena mereka yang terjajah tidak dapat menemukan dirinya sendiri. Mereka yang terjajah tidak bisa berpribadi sendiri. Dalam segala hal, mereka yang terjajah akan selalu menjadi embel-embel dari kekuatan yang lebih besar.


Namun demikian kemerdekaan tidak boleh juga diartikan sebagai kebebasan tanpa batas, yang pada akhirnya akan mengarah pada kesewenang-wenangan. Sebab, kemerdekaan menentukan sikap tidak seharusnya berlawanan dengan nilai-nilai dari kemanusiaan itu sendiri.


Nah pertanyaannya kemudian adalah, apa kaitan penjabaran diatas dengan profesi saya, dalam hal ini sebagai pesepak bola yang konon katanya profesional. 


Begini, seperti yang kita semua ketahui, para pesepak bola Indonesia saat ini tengah mengalami masa-masa yang dapat dikatakan sangat sulit. Hal tersebut berkaitan dengan ditiadakannya segala kegiatan sepak bola selama kurang lebih empat bulan terakhir.


Konflik yang terjadi antara pemerintah dengan PSSI membuat para pelaku sepak bola dihadapkan dalam sebuah situasi yang sangat sulit, bak pepatah, "Bagai buah simalakama, dimakan ibu mati, tak dimakan ayah mati". 


Mengapa demikian, dibawah ini akan coba saya jabarkan.


Saat ini melalui SK pembekuan, hajat hidup pesepakbola di Indonesia katakanlah telah dimatikan oleh pemerintah. Hal yang membuat liga Indonesia tidak dapat digulirkan, sehingga para pesepak bola harus kehilangan mata pencaharian. Dengan hilangnya mata pencaharian maka secara otomatis mereka juga kehilangan pemasukan.


Namun disisi lain, jika SK pembekuan itu sendiri dicabut dan liga dapat kembali berjalan dengan normal, tidak ada jaminan jika segala permasalahan yang pernah terjadi dimasa lalu, tidak akan terulang kembali. Permasalahan yang berkaitan dengan keterlambatan pembayaran hak, dan juga jaminan perlindungan kesehatan bagi para pesepak bola.


Dikarenakan berhentinya liga, para pesepak bola harus menerima kompensasi pemutusan kontrak (dikarenakan force majeure) versi operator liga. Pemutusan kontrak yang sejujurnya tidak sesuai dengan pasal-pasal dari kontrak kerja yang telah disepakati oleh kedua belah pihak (klub dan pesepak bola).


Disaat asosiasi pesepak bola mencoba untuk mencari jalan tengah, dan menginisiasi perdamaian dengan menyertakan syarat-syarat (perlindungan bagi pesepak bola) yang sejatinya adalah hal-hal yang sifatnya sangat mendasar, pesepak bola dinilai telah lupa daratan, dan dianggap sebagai benalu dalam perjuangan.


Ketika Piala Kemerdekaan digulirkan dengan tujuannya untuk mengisi kekosongan, sekaligus memberi kesempatan pesepak bola untuk kembali bermain, dan mendapatkan penghasilan. Para pesepak bola yang berpartisipasi dalam turnamen tersebut dibenturkan dengan statuta PSSI maupun FIFA, sehingga terancam mendapat hukuman.


Sebagian besar klub-klub yang berlaga di Piala Kemerdekaan hanya memberlakukan upah perpartai bagi pesepakbolanya, tanpa didukung dengan kekuatan perlindungan kontrak yang memadai.


Sedang di Piala Presiden sendiri, para pesepak bola harus menerima sistem pembayaran yang ditetapkan oleh klub masing-masing, tanpa diberikan kesempatan untuk bernegosiasi, dengan alasan hal tersebut sudah menjadi regulasi yang disepakati oleh seluruh kontestan.


Sementara pemerintah yang dalam hal ini diharapkan melakukan perbaikan tata kelola sepak bola Indonesia, belum juga mampu menunjukkan kinerja yang positif. Tim transisi bentukan Menpora terkesan lambat dalam melakukan langkah demi langkah untuk mewujudkan perbaikan itu sendiri, termasuk juga dalam menggelar kompetisi.


Di lain pihak, PSSI yang dalam hal ini sebagai induk organisasi tertinggi sepak bola dikarenakan adanya SK pembekuan, tidak lagi memiliki kemampuan untuk menggelar kompetisi, yang sejatinya menjadi urat nadi dari pembinaan sepak bola itu sendiri.


Dengan gambaran seperti yang tersebut diatas, adakah pilihan yang menguntungkan bagi para pesepak bola di Indonesia?


Semakin keras kepala kedua belah pihak yang berselisih paham, maka semakin jauh pula permasalahan ini dari kata selesai. Semakin berlarut-larut persoalan ini, maka semakin menderita pula para pesepak bola di Indonesia.


Saat ini para pesepak bola di Indonesia tidak lagi memiliki kekuasaan atas dirinya sendiri. Mereka tidak memiliki kekuatan untuk menentukan sikap bagi diri mereka sendiri.


Jika sudah demikian, maka tidak salah jika kemudian timbul pertanyaan, apakah pesepak bola di Indonesia ini sudah merdeka?


Selesai.....