WAKTU menunjukkan pukul 10:46 malam. Saya tengah dengan seksama menyaksikan jawaban akhir Menko Polhukam Mahfud MD, dalam siaran langsung rapat dengan pendapat (RDP) di komisi III DPR RI, terkait temuan transaksi mencurigakan senilai Rp. 439 triliun di lingkungan Kementerian Keuangan, saat Dewi tiba-tiba mengabarkan jika Indonesia resmi dicoret sebagai tuan rumah Piala Dunia U20 2023.
Reaksi Saya saat mendengar kabar tersebut adalah tersenyum simpul. Mengapa tersenyum? Ya karena jujur Saya tidak tahu lagi harus bagaimana.
Benar saja. Pada hari Rabu, tanggal 29 Maret 2023, tepat pukul 22:00 WIB. FIFA melalui websitenya (fifa.com) menyampaikan, bahwa status Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U20 2023 secara resmi dibatalkan. Saling-silang pendapat di dalam negeri, terkait salah satu peserta Piala Dunia U20 yang memanas dalam beberapa hari terakhir pun, akhirnya mencapai titik kulminasi. Indonesia dipastikan batal menjadi tuan rumah Piala Dunia U20 2023.
Awal sekali dan sebelum kita membahas hal ini lebih jauh, Saya ingin mengajak kita semua untuk melihat permasalahan ini secara lebih komprehensif. Agar kemudian kita dapat melakukan analisa secara lebih mendalam. Sehingga diharapkan dapat memberikan respon yang lebih bijaksana, serta mendudukkan permasalahan ini pada tempat yang seharusnya.
Mungkin tulisan kali ini akan sedikit agak panjang, tapi ya “ndak” apa-apa, memang terkadang butuh effort yang sedikit lebih untuk dapat memahami sesuatu dengan lebih baik.
Enigmatis
Dalam artikel di website FIFA yang berjudul “FIFA removes Indonesia as host of FIFA U-20 World Cup 2023™” tersebut, FIFA menyampaikan jika alasan pembatalan Indonesia sebagai tuan rumah adalah karena “current circumstances atau situasi yang terjadi saat ini”. Tentu hal ini mengacu pada situasi terkini yang terjadi di Indonesia.
Ada dua hal yang menurut saya menarik dalam artikel yang di-release oleh FIFA tersebut yaitu current circumstances (situasi yang terjadi saat ini) dalam kalimat “FIFA has decided, due to the current circumstances, to remove Indonesia as the host of the FIFA U-20 World Cup 2023™”. Dan potential sanction (potensi sanksi - bagi PSSI) dalam kalimat, “Potential sanctions against the PSSI may also be decided at a later stage”.
Saya tidak akan membahas terkait dengan potential sanction atau potensi sanksi, karena saya tidak ingin berandai-andai pada sesuatu yang tengah diperjuangkan. Kita doakan saja, lobi-lobi Indonesia dalam hal ini melalui PSSI, dapat menghindarkan kita dari potensi sanksi tersebut. Saya ingin lebih fokus kepada apa yang sudah terjadi, dan mengakibatkan Indonesia batal menjadi tuan rumah Piala Dunia U20 yaitu current circumstances.
Sejujurnya, kalimat “current circumstances atau situasi yang terjadi saat ini” sendiri bersifat enigmatis dan bisa saja mengacu kepada banyak hal. Namun mengingat perdebatan yang ramai terjadi akhir-akhir ini adalah tentang suara-suara penolakan terhadap keikursertaan Israel, di ajang Piala Dunia U20. Maka, sulit untuk kemudian mencari alasan atau maksud lain dari kalimat FIFA tersebut, selain dari penolakan terhadap tim nasional Israel.
Secara eksplisit, terdapat dua pendapat yang berseberangan terkait isu Israel ini. Pertama, tentu mereka yang menolak kedatangan Israel ke dalam ruang lingkup wilayah negara Indonesia. Hal tersebut “konon” didasari oleh semangat menjaga amanat konstitusi. Di lain pihak, mereka yang menyuarakan tentang, jangan campur aduk dunia olah raga dengan dunia politik. Oleh karena itu, Israel tetap harus diterima dan diperlakukan sama dengan tamu-tamu yang lain.
Saya tidak ingin membahas tentang pendapat kedua beserta alasannya. Karena, rasanya para pembaca tulisan-tulisan saya biasanya adalah pemerhati olah raga, khususnya sepak bola. Di mana Anda sekalian tentu sedikit-banyak sudah paham dengan regulasi atau aturan main FIFA, dalam menyelenggarakan kompetisi di level apa pun. Saya akan lebih fokus kepada pendapat pertama beserta alasannya. Karena di area (ideologi dan konstitusi) ini lah kita semua masih jauh dari kata paham. Jadi mari kita coba belajar bersama-sama.
Tiga Poin Utama
Bagi mereka yang menolak kedatangan Israel, secara prinsip mereka menggunakan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 aliea pertama sebagai dasar dalam mengambil sikap. Di mana bunyi dari alinea pertama tersebut adalah sabagai berikut:
“Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”.
Kemerdekaan dan penjajahan yang mereka maksud, tentu mengacu pada konflik panjang antara Israel dengan Palestina yang belum ada titik temu hingga saat ini.
Pendapat tersebut diperkuat dengan, Peraturan Menteri Luar Negeri (Permenlu) Nomor 3 Tahun 2019 (Bab X - Hubungan Khusus - B. Hubungan RI-Israel) pasal 150 yang berbunyi: “Sampai saat ini Indonesia tidak mempunyai hubungan diplomatik dengan Israel, dan menentang penjajahan Israel atas wilayah dan bangsa Palestina, karenanya Indonesia menolak segala bentuk hubungan resmi dengan Israel."
Kemudian secara lebih rinci aturan-aturan itu dijabarkan pada pasal 151: “Dalam melakukan hubungan dengan Israel kiranya perlu diperhatikan prosedur yang ada dan selama ini masih berlaku”.
1. Tidak ada hubungan secara resmi antara pemerintah Indonesia dalam setiap tingkatan dengan Israel, termasuk dalam surat menyurat dengan menggunakan kop resmi;
2. Tidak menerima delegasi Israel secara resmi dan di tempat resmi;
3. Tidak diizinkan pengibaran/penggunaan bendera, lambang, dan atribut lainnya serta pengumandangan lagu kebangsaan Israel di wilayah Republik Indonesia;
4. Kehadiran Israel tidak membawa implikasi pengakuan politis terhadap Israel;
5. Kunjungan warga Israel ke Indonesia hanya dapat dilakukan dengan menggunakan paspor biasa; dan
6. Otorisasi pemberian visa kepada warga Israel dilaksanakan oleh Kementerian Hukum dan HAM c.q. Direktorat Jenderal Imigrasi. Visa diberikan dalam bentuk affidavit melalui Kedutaan Besar Republik Indonesia di Singapura atau Kedutaan Besar Republik Indonesia di Bangkok.
Artinya, secara diplomasi Indonesia memang tidak memiliki hubungan dengan Israel. Namun demikian, bukan berarti kedua negara tidak memiliki hubungan sama sekali. Indonesia dan Israel tetap memiliki hubungan kerja sama, namun sifatnya tidak resmi. Tentu dengan syarat-syarat yang sudah ditentukan pada poin-poin di Pasal 151 ayat 1 sampai ayat 6 di atas. Beberapa hubungan tidak resmi yang dimaksud di antaranya terkait dalam bidang perdagangan, pariwisata, dan juga keamanan.
Jadi jelas ya, bahwa berdasarkan amanat konstitusi, Indonesia memang tidak mengakui keberadaan Israel sebagai sebuah negara. Artinya, satu hal yang harus kita garis bawahi terlebih, setidak suka tidak sukanya kita terhadap mereka yang menolak kehadiran Israel, kita tidak bisa serta-merta marah begitu saja. Karena faktanya, mereka memiliki dasar untuk berpendapat demikian. Ndak main-main, Pembukaan UUD 1945 dan Permenlu lho ini. Terlepas dari apakah suara-suara tersebut, murni memperjuangkan konstitusi atau ada “muatan” lain? itu lain soal.
Mereka yang menolak kedatangan Israel juga berpendapat, jika FIFA sebagai otoritas tertinggi sepak bola dunia, telah mencampur-adukkan olah raga dengan politik, serta telah memberlakukan standar ganda. Dalam hal ini, FIFA berani melarang Rusia tampil di babak playoff Piala Dunia 2022, namun tidak berani melarang Israel tampil di Piala Dunia U20 2023. Padahal menurut mereka, kedua negara tersebut sama-sama melakukan invasi dan kejahatan kemanusiaan kepada negara lain.
Oleh karena itu berdasarkan semangat kemanusiaan universal, solidaritas, kesadaran sejarah, dan perintah konstitusi maka mereka bersikeras bahwa dalam situasi apa pun, Indonesia harus menolak masuknya bangsa Israel ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Atau boleh masuk, asal dengan syarat-syarat yang tertera pada Permenlu No 3 Tahun 2019, Pasal 151 terutama ayat 2: “Indonesia tidak menerima delegasi Israel secara resmi dan di tempat resmi”. Serta ayat 3: “Tidak diizinkan pengibaran/penggunaan bendera, lambang, dan atribut lainnya serta pengumandangan lagu kebangsaan Israel di wilayah Republik Indonesia”.
Oleh sebab itu, mereka meminta (mengharuskan) FIFA untuk mahu berunding dan melakukan beberapa penyesuaian, terkait penyelenggaraan Piala Dunia U20 di Indonesia.
Dari apa yang mereka sampaikan, kita dapat merangkum 3 poin utama yang menjadi dasar dari penolakan tersebut:
Pertama, Pembukaan UUD 1945 alinea pertama (penjajahan dan kemerdekaan suatu bangsa). Kedua, Peraturan Menteri Luar Negeri (Permenlu) No 3 Tahun 2019. Pasal 150 dan Pasal 151 terutama ayat 2 dan ayat 3 tentang tidak ada hubungan diplomatis dengan Israel dan prosedur yang harus diperhatikan. Serta ketiga, standar ganda FIFA terkait isu kemanusiaan dalam hal ini perlakuan kepada Rusia.
Nah sampai di sini kita jeda sejenak ya. Tarik napas terlebih dahulu. Saya tahu urat leher kalian mungkin sudah mulai agak tegang, tapi mari coba sama-sama kita bersabar. Saya juga tak nyeruput teh panas tanpa gula saya dulu, takut keburu dingin.
Olah Raga Memang Tidak Bisa Dipisahkan Dari Politik
Bagaimana sudah bisa dilanjut ya?
Nah, atas 3 poin yang menjadi dasar dari penolakan tersebut, terdapat hal-hal yang kemudian menjadi janggal atau setidaknya patut dipertanyakan. Saya akan coba jabarkan satu per satu.
Pertama: Jika mengacu pada penjajahan dan kemerdekaan sebuah bangsa, seperti yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945 alinea pertama. Maka, sampai dengan saat saya menulis artikel ini, terdapat 16 negara di dunia yang saat ini wilayahnya diperintah oleh negara lain. PBB menyebut wilayah-wilayah ini sebagai Non Self-Governing Territories, atau wilayah-wilayah yang tidak memiliki pemerintahan sendiri.
Menurut data di website resmi United Nation (PBB) un.org, wilayah-wilayah tersebut di antaranya adalah:
Anguilla, Bermuda, British Virgin Islands, Cayman Islands, Falkland Islands (Malvinas), Montserat, Pitcairn, Saint Helena, Turks and Caicos Islands, dan Gibraltar. Daerah-daerah tersebut saat ini berada di bawah pemerintahan Kerajaan Inggris.
Kemudian ada United States Virgin Islands, American Samoa, dan Guam yang berada di bawah pemerintahan Amerika Serikat. Ada juga French Polynesia dan New Caledonia yang berada di bawah pemerintahan Prancis. Serta terakhir, Tokelau yang berada di bawah pemerintahan Selandia Baru.
Yang menarik dari data-data tersebut adalah baik Inggris, Amerika, Prancis, dan Selandia Baru juga berpartisipasi di ajang Piala Dunia U20 2023. Artinya, jika mengacu pada Pembukaan UUD 1945 alinea pertama, apakah tidak sebaiknya negara-negara tersebut di atas juga kita tolak?
Kedua: Terkait dengan Peraturan Menteri Luar Negeri (Permenlu) No 3 Tahun 2019. Pasal 150 dan Pasal 151 terutama ayat 2 dan ayat 3 tentang tidak ada hubungan diplomatis dengan Israel dan prosedur yang harus diperhatikan. Bagaimana dengan agenda-agenda terkait kedatangan delegasi Israel ke wilayah Indonesia yang selama ini sudah terjadi? Apakah kita sudah melakukan hal yang sama (penolakan)?
Di antaranya:
- Misha Zilberman, atlet bulutangkis Israel yang tampil di Kejuaraan Dunia BWF uang digelar di Istora Senayan, Jakarta, pada 2015. Baiklah, mungkin saat ini terjadi Permenlu No 3 Tahun 2019 memang belum keluar. Jadi masih debatable lah.
- Delegasi Parlemen Israel yang datang ke Sidang Majelis Ke-144 Inter-Parliamentary Union (IPU) di BICC, Nusa Dua, Bali, 20–24 Maret 2022.
- Yuval Shemla, atlet panjat tebing yang tampil di kejuaraan dunia panjat tebing di Jakarta, pada 24-26 September 2022.
- Perwakilan Israel juga pernah berlaga di Kejuaraan Dunia Esport IESF ke-14 yang juga digelar di Nusa Dua, Bali, Desember 2022.
- Serta atlet balap sepeda Israel Mikhail Yakovlev dan Rotem Tene, yang berlaga di kejuaraan dunia UCI Track Nations Cup 2023 yang digelar di Velodrome Jakarta, pada Februari 2023 lalu.
Bukankah kedatangan mereka seharusnya juga bertentangan dengan Peraturan Menteri Luar Negeri (Permenlu) No 3 Tahun 2019 Pasal 150 dan Pasal 151 ayat 2 dan ayat 3? Karena mereka hadir secara resmi, dan menggunakan atribut kenegaraan. Bagaimana penjelasan terkait hal-hal tersebut di atas?
Mengapa penolakan itu baru disuarakan sekarang?
Dan yang ketiga: Tentang isu standar ganda FIFA terkait Rusia. Nah, ini memang sedikit-banyak bisa diperdebatkan. Tapi coba mari kita runut kembali bagaimana proses Rusia mendapatkan sanksi dari FIFA.
Dikarenakan invasi Rusia ke Ukraina, Federasi Sepak Bola Eropa (UEFA) menjatuhkan sanksi kepada Rusia. Sanksi tersebut berupa larangan menjalani partai kandang di wilayah Rusia (harus bermain di tempat netral), dilarang menggunakan nama Rusia, dilarang mengibarkan bendera Rusia, dan dilarang menyanyikan lagu kebangsaan Rusia.
Atas sanksi tersebut kemudian muncul reaksi penolakan dari Polandia, Republik Ceko, dan Swedia. Negara-negara yang notabene berada dalam jalur Rusia dalam menjalani playoff memperebutkan 1 jatah Piala Dunia 2022 Qatar. Ketiga negara tersebut menyatakan menolak jika harus bermain melawan Rusia, walaupun bermain di tempat netral, dan Rusia tidak menggunakan segala bentuk identitas kenegaraan. Situasi menjadi semakin rumit, ketika Inggris dan Wales kemudian turut serta memboikot tim nasional Rusia.
Kemudian dalam prosesnya, setelah berdiskusi dan mendapatkan rekomendasi dari Komite Olimpiade, maka UEFA dan FIFA sepakat untuk memberikan sanksi terhadap tim nasional Rusia, dengan melarang mereka tampil dalam babak playoff kualifikasi Piala Dunia zona eropa.
Nah, berdasarkan kronologi di atas, saya jadi berandai-andai. Jika saja yang melakukan penolakan itu tidak hanya Indonesia, katakanlah terdapat 3 atau 4 negara lain. Kemudian masih ada tenggang waktu yang cukup, antara waktu protes dengan jadwal Piala Dunia, sehingga ada waktu untuk berproses. Maka bisa jadi (ini hanya bisa jadi ya), FIFA mungkin juga akan melakukan hal yang sama kepada Israel. Artinya, sanksi kepada Rusia itu tidak ujug-ujung mak bedhunduk terbit begitu saja. Tapi ada proses yang terlebih dahulu dilalui.
Sedangkan penolakan kepada Israel yang terjadi saat ini di Indonesia menjadi pelik, karena terjadi hanya dua bulan menjelang turnamen digelar. Timeline dan prosesi menjelang sebuah turnamen Piala Dunia menjadi faktor yang harus sangat diperhatikan, mengingat Piala Dunia U20 ini sendiri sudah mundur 2 tahun karena pandemi covid-19. Dalam hal ini FIFA sebagai yang punya gawe dipaksa untuk dalam waktu yang sangat singkat segera mengambil sikap. Dan sikap yang kemudian diambil oleh FIFA adalah mencabut status Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U20.
Apa yang ingin saya sampaikan adalah: jika kita mahu sedikit saja berusaha untuk mencari celah, maka akan selalu ada kelemahan dari setiap argumentasi yang disampaikan. Baik dari yang menolak maupun yang menerima kedatangan Israel. Dan jika kita terus melakukan hal tersebut, maka yang terjadi kemudian hanyalah debat kusir yang tak berujung. Akibatnya, terjadilah perseteruan dan perpecahan antar sesama anak bangsa sendiri.
Bagi teman-teman dari kalangan pelaku dan pecinta sepak bola Indonesia, mari segera kita ihklaskan saja. Walau pun jelas ini teramat sangat berat, dan tragis bahkan. Di lain pihak, para politisi yang akhir-akhir ini berbicara di publik dengan menyampaikan argumentasi pembenar atas apa yang disuarakan, sudah lah sudahi saja. Karena semakin banyak Anda sekalian berbicara, maka semakin jauh juga melencengnya. Semakin terlihat ketidakpahaman Anda sekalian terhadap mekanisme dan tata kelola olah raga. Analogi yang dikemukakan semakin aneh dan menggelikan.
Olah raga tidak bisa dipisahkan dari politik, setuju. Namun, posisi politik seharusnya sebagai pendukung kemajuan olah raga, bukan mencari keuntungan dari popularitas olah raga.
Kita Tidak Pantas Kecewa
Kita memang sudah seharusnya sedih atas keputusan FIFA membatalkan Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U20. Namun jika kita mahu jujur, rasanya kita tidak berhak kecewa atau terlebih lagi marah atas keputusan tersebut. Karena sesuai dengan apa yang tertera dalam release resmi FIFA yang berbunyi “due to the current circumstances” (berdasarkan situasi saat ini). Maka, hal tersebut mengacu kepada situasi yang terjadi di dalam negeri kita sendiri.
Terlepas dari situasi yang dimaksud oleh FIFA terkait gejolak penolakan terhadap Israel, atau mungkin sarana dan prasarana yang dianggap belum siap, atau mungkin pelanggaran komitmen, atau entah hal-hal yang lain lagi. Kalimat “berdasarkan situasi terkini” tersebut jelas mengandung unsur kelalaian atau kesalahan dari kita sendiri. Maka menjadi sangat aneh, jika kemudian kita kecewa atau marah kepada FIFA atas keputusan mereka tersebut.
Wong gagalnya Indonesia menjadi tuan rumah karena “kesalahan” kita sendiri, kok kecewanya kepada pihak lain. Jadi kekecewaan itu ya seharusnya diarahkan kepada diri kita sendiri saja. Karena ternyata, kita memang belum siap untuk menjadi tuan rumah event sekaliber Piala Dunia. Entah secara sikap, entah secara pemikiran, entah juga secara sarana dan prasarana.
Sebagai mantan atlet sepak bola nasional, Saya tentu paham betul akan kesedihan yang dirasakan oleh para punggawa tim nasional U20. Bermain membela nama bangsa dan negara di ajang sekelas Piala Dunia (pada level apa pun) adalah puncak tertinggi karir seorang pesepak bola. Namun apa boleh buat, karena keputusan sudah diambil dengan bulat. Maka walau pun sangat berat, toh pada akhirnya perlahan-lahan harus mulai diihklaskan. Jangan biarkan kegagalan Indonesia menjadi tuan rumah Piala Dunia U20 ini, menyandera karir dan masa depan kalian.
Secara pribadi, Saya memang tidak sepenuhnya menyalahkan penolakan terhadap Israel tersebut. Karena seperti yang saya sampaikan di awal tadi, jika konstitusi kita memang berkata demikian. Hanya saja saya ingin bertanya: Kenapa baru sekarang? Dan jika saja ini bukan terkait dengan olah raga sepopuler sepak bola, serta tidak juga mendekati hajatan berat politik, apakah Anda sekalian akan tetap menyuarakan hal yang sama?
Jika penolakan itu murni didasari oleh semangat kemanusiaan, solidaritas, kesadaran sejarah, dan perintah konstitusi. Maka seharusnya hal tersebut sudah dilakukan sejak dulu. Dan jika kehadiran beberapa delegasi Israel beberapa waktu yang lalu, dianggap sebagai sebuah kelalaian sejarah. Maka hendaknya koreksi ini dilakukan secara konsisten dan berkesinambungan.
Artinya, tidak hanya saat Piala Dunia U20 ini saja. Kedepan, tidak boleh ada lagi kesalahan atau kelalaian yang sama terkait dengan kedatangan delegasi Israel secara resmi dalam bentuk apa pun, masuk ke dalam wilayah Republik Indonesia seperti yang sudah-sudah.
Oleh sebab itu, kita harus juga segera menyuarakan penolakan terhadap penyelenggaraan World Beach Games 2023 yang akan dilangsungkan di Bali, pada 5-12 Agus 2023 nanti. Karena akan ada atlet Israel yang berlaga secara resmi dalam kejuaraan tersebut. Rencana Indonesia untuk mengajukan diri menjadi tuan rumah Olimpiade tahun 2036 juga harus dikoreksi, karena hampir mustahil Israel tidak mengirimkan atletnya di ajang Olimpiade. Serta keinginan kita untuk melakukan bidding penyelenggaraan Piala Dunia 2034 pun harus juga diurungkan, karena siapa yang bisa menjamin Israel tidak akan lolos ke Piala Dunia 2034? Lagi pula, sulit membayangkan FIFA akan menerima pengajuan Indonesia, setelah apa yang terjadi.
Hal-hal tersebut di atas mahu tidak mahu harus dilakukan. Karena itu adalah bentuk komitmen nyata dari konsistensi dan kemurnian (tidak ada muatan apa pun) dalam memperjuangkan amanat konstitusi. Persis seperti yang disampaikan.
Kita Sudahi Saja
Akhir sekali, untuk menutup tulisan yang lumayan panjang ini, Saya ingin menyampaikan:
Mimpi para punggawa tim nasional U20 untuk bermain di Piala Dunia U20, mungkin telah usai. Namun mimpi kalian untuk menjadi pesepakbola sukses dan berprestasi, tentu belum selesai.
Mimpi Indonesia menjadi tuan rumah Piala Dunia U20, mungkin juga terhenti. Namun mimpi bangsa ini untuk melihat tim nasional Indonesia bermain di ajang Piala Dunia, tentu harus terus terpatri.
Dan mimpi untuk melihat bangsa kita berpikir dan berperilaku secara dewasa, memang belum terwujud. Namun mimpi untuk terus membangun Indonesia menjadi negara yang lebih baik dan lebih bermartabat, tentu tidak boleh berhenti sampai di sini.
Maka, mari kita sudahi saja perdebatan ini. Inilah Indonesiaku, Indonesiamu, Indonesia kita semua.
Tetap semangat dan sukses selalu….
Salam,
Bambang Pamungkas