Sepak bola memang olahraga spesial, semua yang berkaitan dengan olahraga ini selalu menarik untuk diikuti. Di belahan dunia mana pun, di negara yang sepak bolanya maju sampai ke negara yang sepak bolanya nggak maju-maju, sepak bola selalu memiliki daya tarik tersendiri. Tidak mengherankan jika olahraga ini menjadi yang paling populer di seantero jagat raya. Suka atau tidak demikianlah adanya.
Termasuk juga di Indonesia Raya tercinta ini, negara yang sepak bolanya – maaf – kaya akan masalah namun miskin prestasi. Di negeri Merah-Putih ini segala sesuatu yang berkaitan dengan sepak bola juga menjadi hal yang selalu menarik perhatian banyak orang. Baik bagi mereka yang paham mau pun mereka yang sok paham, dua golongan yang dalam begitu banyak kesempatan tidak pernah sepaham.
Saya tidak sedang ingin berkata bahwa saya termasuk dalam golongan orang-orang yang paham, mengingat faktanya banyak intrik-intrik politik di sepak bola Indonesia yang sama sekali tidak saya pahami.
Namun demikian, saya juga menolak untuk masuk ke dalam golongan mereka yang sok paham. Lha wong faktanya saya berkecimpung di lingkar dalam sepak bola Indonesia, sehingga sedikit sebanyak tahu mana golongan pandawa, golongan kurawa, dan juga sangkuni-nya.
Tapi sudahlah, kita lewati saja masalah paham atau tidak paham seperti yang tersebut diatas, toh pada akhirnya setiap orang berhak untuk mengeluarkan pendapat mengenai permasalahan sepak bola ini.
Langsung saja ke pokok permasalahan. Beberapa hari belakangan saya banyak mendapat pertanyaan melalui jejaring sosial yang kurang lebih isi nya sebagai berikut:
- Apakah sudah mengetahui jika ada petisi Cabut Pembekuan PSSI?
- Jika sudah tahu apakah mendukung petisi tersebut?
- Jika mendukung apakah sudah menandatangani dan menyebarkan petisi tersebut?
- Dan apakah sepaham dengan himbauan agar melaporkan Menpora ke Komnas HAM karena telah melanggar hak asasi para pelaku sepak bola?
Saya akan coba jawab satu per satu dengan jujur di bawah ini:
Pertama apakah saya mengetahui? Iya saya mengetahui, melihat, dan membaca petisi tersebut. Kedua, apakah saya mendukung? Sejujurnya, saya dalam posisi yang tidak sepenuhnya yakin, atau katakanlah mendukung namun dengan syarat-syarat tertentu. Ketiga, apakah saya menandatangani dan menyebarkan petisi tersebut? Karena saya tidak sepenuhnya sepaham dengan petisi tersebut, maka tentu saja tidak.
Jawaban yang bagi kebanyakan orang mungkin janggal. Janggal mengingat sebagai pesepak bola yang selama beberapa bulan terakhir ini kehilangan mata pencaharian "seharusnya" saya mendukung penuh petisi tersebut.
Agar tidak terjadi kesalahpahaman, mari saya jelaskan.
Begini, dari sudut pandang sepak bola Indonesia harus aktif kembali, sudah barang tentu saya setuju. Karena cepat atau lambat sepak bola kita memang harus kembali bergeliat, dan tidak boleh mati. Namun, apakah sepak bola Indonesia sudah cukup sehat, dan siap untuk beraktifitas kembali? nah dari sudut ini saya masih merasa ragu.
Karena sepak bola Indonesia harus aktif kembali, dan apakah sepak bola Indonesia sudah cukup sehat untuk kembali beraktifitas adalah dua hal yang berbeda.
Sepak bola Indonesia sedang sakit, saya pikir kita semua setuju. Hanya orang-orang yang mendapatkan keuntungan dari sakit-nya sepak bola Indonesia yang berkata jika sepak bola Indonesia baik-baik saja.
Oleh karena itu, jika pembekuan dicabut begitu saja tanpa ada persyaratan yang harus terlebih dahulu dipenuhi, menurut saya kok sama saja seperti kita pergi ke dokter namun pas pulang tidak menebus resep obat yang diberikan, ya tidak akan ada yang berubah. Padahal tujuan kita ke dokter adalah untuk mendapatkan obat yang tepat agar penyakit yang tengah manghinggapi tubuh kita sembuh.
Idealnya menurut saya kok seperti ini. Pembekuan dicabut, namun PSSI sebagai organisasi yang dijatuhi sanksi juga harus membuat kesepakatan tertulis dengan pihak-pihak tertentu, dalam hal ini klub, pelatih, pesepak bola, wasit, perangkat pertandingan, dan juga suporter. Isi dari kesepakatan tersebut adalah jaminan jika segala permasalahan yang selama ini terjadi, tidak akan terjadi lagi di masa-masa yang akan datang.
Permasalahan dalam hal ini berkaitan dengan tata kelola liga, penerapan segala aturan dengan sebagaimana mestinya, pembayaran hak-hak dasar (gaji dan jaminan kesehatan) bagi para pelaku sepak bola (pelatih, pesepak bola, wasit, dan perangkat pertandingan), serta pengelolaan organisasi sepak bola Indonesia dengan se-profesional mungkin.
Sebuah syarat yang menurut hemat saya tidak sulit untuk dilakukan oleh PSSI. Bukankah salah satu poin utama alasan PSSI meminta agar pembekuan dicabut, adalah agar para pelaku sepak bola kembali mendapatkan hak-hak hidupnya? dan bukankah apa yang tersebut diatas juga menjadi apa yang selalu ditekankan oleh FIFA kepada seluruh anggotanya?
Pertanyaan yang mungkin akan muncul adalah, apakah ini menjadi bentuk dari intervensi pihak lain? saya pikir kok bukan. Kesepakatan ini murni antara PSSI dengan para pelaku sepak bola di tanah air, bukan dengan pemerintah. Sebuah kesepakatan yang murni didasari dengan itikat baik untuk membuat sepak bola Indonesia menjadi lebih baik. Bukankah begitu muara dari pembinaan sepak bola itu sendiri?
Lupakan urusan di PTUN (sidang, putusan, banding dsb) yang memakan waktu dan tenaga. Mari kita coba selesaikan dengan semangat kebersamaan, jiwa yang bersih, serta hati yang jujur.
Jika PSSI bersedia melakukan kesepakatan diatas, namun Menpora tetap saja tidak bersedia mencabut SK pembekuan, maka ada yang salah dengan Menpora. Begitu juga sebaliknya, jika Menpora bersedia mencabut SK pembekuan, namun PSSI tidak bersedia melakukan kesepakatan dengan para pelaku sepak bola Indonesia, maka ada yang salah dengan PSSI.
Di sini kita akan melihat mana pihak yang benar-benar ingin memperbaiki sepak bola Indonesia, dan mana yang tidak
Dalam setiap permasalahan sepak bola di Indonesia, seperti biasa pesepak bola selalu dalam posisi yang dilematis. Kegiatan sepak bola dihentikan sepenuhnya seperti saat ini sudah barang tentu menghilangkan mata pencaharian para pesepak bola.
Namun kegiatan sepak bola kembali berjalan normal, belum tentu juga membuat nasib para pesepak bola serta-merta membaik, wong belum tentu juga hak-haknya dibayarkan tepat waktu.
Karena tidak ada artinya juga jika sepak bola Indonesia aktif kembali, namun hak-hak para pelaku sepak bola tetap tertunggak seperti yang lalu-lalu. Apakah ada bedanya, tidak ada kompetisi tidak ada penghasilan, dengan liga bergulir namun hak-hak tertunggak?
Hal tersebut dengan sendirinya menjawab pertanyaan terakhir dari daftar pertanyaan di awal tulisan ini, apakah sepaham dengan himbauan agar melaporkan Menpora ke Komnas HAM karena telah melanggar hak asasi para pelaku sepak bola?
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah:
Jika kondisi saat ini dianggap sebagai pelanggaran hak asasi pesepak bola, apakah lemahnya perlindungan hak-hak pesepak bola seperti apa yang terjadi selama lima tahun terakhir (bahkan hingga ada yang meninggal dunia) bukan termasuk kedalam kategori pelanggaran hak asasi manusia? Tidak ada bedanya saudara-saudara.
Oleh karena itu, dengan tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada siapa pun, posisi saya dalam menanggapi adanya petisi pencabutan SK pembekuan adalah mendukung pencabutan asalkan PSSI bersedia untuk membuat sebuah kesepakatan dengan pihak-pihak yang telah saya sebutkan diatas tadi.
Saya pikir kita semua (pihak-pihak yang masih peduli dengan sepak bola tanah air) dapat menginisiasi terjadinya kesepakatan ini. Semakin banyak pihak yang menekan Menpora dan PSSI untuk menyudahi perseteruan ini dengan syarat-syarat diatas tentu semakin baik.
Karena sekali lagi, jika pembekuan dicabut begitu saja tanpa ada syarat apa pun, maka sepak bola Indonesia tetap saja akan sakit, dan tidak akan ke mana-mana.
Selesai....