Hari menjelang siang, matahari pun mulai tinggi. Kopi di cangkir telah tandas, begitu pula tape uli di mangkuk sebelahnya. Semilir hembusan angin pagi nan sejuk, membuat saya tenggelam dalam lamunan. Tak terasa telah saya habiskan sebuah pagi di beranda belakang rumah.


Force Majeure. Sebuah kalimat yang dalam dua hari belakangan tiba-tiba menjadi populer dan hangat dibicarakan kalangan pelaku sepakbola tanah air. Hal tersebut berkaitan dengan keputusan PSSI untuk menghentikan gelaran QNB League 2015, dengan alasan Force Majeure.

Awal sekali saya ingin menegaskan jika artikel ini tidak memiliki tendensi apapun. Saya juga tidak sedang memposisikan diri untuk mendukung, atau berseberangan dengan siapapun. Saya hanya ingin membuat sebuah kajian yang sifatnya pendapat pribadi, mengenai apa itu force majeure.

Apa itu force majeure? pertanyaan yang saat ini saya yakin ada dibenak sebagian besar pesepakbola di Indonesia, sebuah pertanyaan yang juga ada dalam benak saya.

Berdasarkan rasa ingin tahu tersebut, maka sayapun berusaha untuk mencari sumber-sumber yang secara hukum dapat dijadikan referensi untuk memahami apa itu force majeure, dan hal-hal apa saja yang dapat dijadikan dasar untuk mengambil  keputusan tersebut.

Force Majeure sendiri secara harfiah dapat diartikan sebagai "Kekuatan yang lebih besar".

Dalam konteks hukum, force majeure berarti sebagai klausul yang memberikan dasar pemaaf pada salah satu pihak dalam suatu perjanjian, untuk menanggung sesuatu "hal yang tidak dapat diperkirakan" sebelumnya, yang mengakibatkan pihak tersebut tidak dapat menunaikan kewajibannya berdasarkan kontrak yang telah disepakati.

Hal yang tidak dapat diperkirakan tersebut adalah hal yang mengakibatkan situasi di mana tidak dapat diambil langkah apa pun untuk "mengeliminir, atau menghindarinya". Oleh karena itu penting artinya dua kriteria awal (mengeliminir, atau menghindari) tersebut harus terpenuhi terlebih dahulu, agar dalil force majeure dapat diterima.

Bagaimana jika salah satu pihak yang terikat dalam kontrak menyadari bahwa ada kemungkinan dimasa perjanjian atas kontrak yang ditandatanganinya. Sehingga akan tak terhindarkan, dan tak dapat dieliminir terjadi suatu kejadian tertentu, yang dapat berakibat tidak terlaksananya kewajiban sebagaimana digariskan dalam kontrak.

Dalam ruang lingkup yang lebih spesifik dari force majeure, hal tersebut dikenal dengan “Acts of God” atau katakanlah "Kehendak Tuhan".

Kejadian-kejadian yang dapat dimasukkan dalam golongan "Acts of God" diantaranya adalah bencana alam seperti banjir, gemba bumi, tsunami, atau gunung meletus.

Bisa juga kejadian yang tidak tergolong sebagai "Kehendak Tuhan" namum memiliki dampak yang sangat luar biasa seperti konflik, perang saudara, darurat sipil maupun militer, kerusuhan masal (kita pernah mengalami di tahun 1997, dan saat itu liga dihentikan), krisis ekonomi, atau wabah penyakit (seperti flu burung yang pernah terjadi di daratan Tiongkok pada tahun 2004).

Artinya klausul force majeure sendiri pada umumnya terkait dengan hal-hal yang tidak dapat diprediksi, dan di luar keadaan yang bersifat normal.

Untuk menetapkan sebuah situasi sehingga pada akhirnya dapat dikatakan sebagai situasi force majeure, keadaan tersebut harus terlebih dahulu melewati beberapa tes, diantaranya:

1. Externality - Dikarenakan Pihak Lain

- The defendant must have nothing to do with the event’s happening.

- Pihak-pihak yang terkait kontrak harus tidak ada hubungannya dengan situasi yang tengah terjadi.

Mengenai poin ini saya pikir pihak federasi beralasan jika liga tidak dapat diputar karena adanya larangan dari pihak pemerintah (Menpora). Pemerintah dalam hal ini bisa dikatakan pihak lain diluar pemain, klub maupun Federasi.

Ok lah mungkin kita masih bisa menerima itu. Walaupun sejatinya dari apa yang saya tahu pemerintah malah mendorong liga untuk tetap digulirkan, namun dengan persyaratan yang ditentukan. Federasi yang dikarenakan satu dan lain hal, dalam beberapa kesempatan malah menghentikan liga.


2. Unpredictability - Tidak Dapat Diperkirakan

- If the event could be foreseen, the defendant is obligated to have prepared for it (thus, being unprepared for a foreseeable event leaves the defendant culpable).

- Jika situasi yang terjadi dapat diperkirakan akan terjadi, maka pihak-pihak yang terkait sudah seharusnya mempersiapkan diri (dengan demikian, jika pihak-pihak tersebut tidak mempersiapkan diri maka akan dinyatakan bersalah bersalah).

Untuk poin ini saya pikir federasi sudah seharusnya memperkirakan. Mengingat peristiwa ini (pembekuan dan pelarangan liga) toh tidak terjadi dengan serta-merta. Ada proses (pembicaraan, negosiasi, perdebatan hingga perlawanan) yang telah dilalui sehingga pada akhirnya membuat pembekuan, dan pelarangan liga untuk digelar ini dikeluarkan.


3. Irresistibility - Tidak Dapat Dihindari

-The consequences of the event must have been unpreventable.

- Konsekuensi dari sebuah kejadian yang memang tidak dapat dihindari.

Poin tidak dapat dihindari ini saya pikir titik paling lemah dari dalil force majeure yang dinyatakan oleh federasi. Mengingat penyebab dari kejadian ini (pembekuan, dan tidak dapat digelarnya liga) bukanlah karena hal-hal yang tidak dapat dihindari.

Apa yang terjadi saat ini sangat dapat dihindari. Ada jalan lain yang sebenarnya jauh lebih bijaksana selain menghentikan liga dengan dalil force majeure. Namun federasi seakan mengabaikannya, dengan bersikeras pada pendapat mereka jika keadaan saat ini sudah termasuk dalam kategori force majeure.

Menjadi aneh ketika federasi mengambil sebuah keputusan yang sangat penting (penghentian liga) tanpa persetujuan, atau mendengar pendapat dari klub-klub anggotanya, yang notabene adalah pemilik saham dari PT Liga Indonesia, sebagai operator liga. Belum lagi pendapat pelatih, dan pemain.

Keputusan tersebut seakan menjadi cerminan ketidakpekaan federasi. Tanpa melihat akibat yang akan dipikul oleh struktur (klub, pelatih, dan pemain) dibawahnya. Keputusan tersebut juga berpotensi memunculkan pikiran negatif dari banyak pihak, jika diambil sebagai langkah untuk membebaskan pihak-pihak yang diuntungkan dari tanggung jawab.

Menarik ditunggu bagaimana reaksi dari pihak-pihak (klub, pelatih, dan pemain) yang dalam hal ini terlibat dalam perjanjian yang telah dikategorikan sebagai force majeure tersebut. Apakah mereka menerima, atau menolak. Mengingat dari apa yang saya tahu (silakan koreksi jika salah) situasi force majeure tersebut tidak dapat diputuskan hanya oleh satu pihak.


Kesimpulannya,


In summary, force majeure events may include any event beyond the control of the parties, such as a war, strike, riot, crime, or an “act of God” (e.g., flooding, earthquake, or volcanic eruption), such that the event passes the three “tests” listed above


Singkatnya, peristiwa force majeure yang termasuk dalam kejadian di luar kendali dari para pihak diantaranya perang, pemogokan, kerusuhan, kejahatan, atau "Kehendak Tuhan" (misalnya banjir, gempa bumi, atau letusan gunung berapi), sehingga kejadian tersebut telah melewati tiga "tes" yang tercantum di atas.

Apakah kondisi di Republik saat ini dapat dikatakan tengah mengalami apa itu yang dinamakan "Acts of God" atau "Kehendak Tuhan"? saya pikir tidak. Apa yang terjadi saat ini lebih kepada cerminan begitu tinggi, besar, atau keras ego pihak-pihak yang tengah berseteru.

Bukankah pemimpin yang baik harus selalu peka terhadap keluh kesah dari mereka yang dipimpin. Bahkan dalam ungkapan yang lebih ekstrem, "Seorang pemimpin seharusnya rela mati agar anak buahnya tetap hidup, bukan sebaliknya".

Dalam sebuah kisah Jenderal Soedirman pun pernah berkata "Jangan korbankan anak buahmu untuk karirmu, tapi korbankan karirmu untuk anak buahmu".

Oleh karena itu, berbekal pemahaman saya dari beberapa referensi yang saya baca, dan sudah saya coba uraikan dengan panjang lebar diatas. Dengan tanpa mengurangi rasa hormat kepada siapapun, dan tanpa ada rasa keberpihakan kepada siapapun, saya pikir keadaan yang terjadi saat ini, masih belum sampai kepada apa itu yang dikategorikan sebagai "Force Majeure".


Akhir sekali, kedewasaan sebuah bangsa tidak hanya terlihat dari bagaimana mereka menghargai adanya perbedaan pendapat. Namun lebih dari itu adalah sejauh mana mereka mampu mencari solusi dari setiap permasalahan yang terkait dengan perbedaan tersebut, sesuai dengan aturan-aturan dan kaidah yang berlaku.



Selesai.....