Saya yakin sebagian besar dari kita, pasti pernah menikmati hangatnya bangku sekolah. Tempat di mana kita menuntut ilmu, bersosialisi, dan belajar mandiri sebagai sebuah pribadi. Banyak sekali kejadian-kejadian yang tak terlupakan di tempat ini, saat-saat di mana kita sedang bertumbuh kembang, serta mulai mengenal hal-hal yang baru..


Dan hampir setiap murid mempunyai guru favorit, beragam faktor yang membuat seorang guru menjadi favorit dari murid-muridnya. Ada yang berdasarkan wibawa, kecantikan, ketampanan, karena mengajar mata pelajaran kegemaran, atau mungkin cara guru mengajar, yang mungkin tergolong unik atau menyenangkan, sehingga membuat kita merasa nyaman dapat menikmatinya…


Begitu juga dengan diri saya, saya juga mempunyai seorang guru favorit saat duduk di bangku sekolah menengah pertama. Saya menyukai guru tersebut, karena pada suatu ketika beliau telah memberi sebuah kesempatan dan kepercayaan kepada saya, di saat orang lain meragukan diri saya. Dan hal tersebut membekas hingga saat ini…


Suatu ketika di twitter, ada salah satu follower saya yang sempat menyebutkan nama guru tersebut. Membaca nama tersebut, seketika sayapun teringat kembali dengan beliau dan nostalgia masa lalu. Hal tersebut yang membuat saya berinisiatif untuk membuat tulisan ini…


Nama guru tersebut adalah Pak Choliq dan inilah ceritanya…


Saya bersekolah di Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Salatiga, tidak mudah untuk dapat menjasi siswa di sekolah ini, karena sekolahan tersebut adalah SMP terbaik di kota saya Salatiga. Apalagi dengan status saya sebagai siswa dari luar kota (Getas, Kab. Semarang), karena sekolah ini memberi prioritas bagi siswa-siswa yang berasal dari dalam kota Salatiga. Akan tetapi berbekal Nilai Ebtanas Murni 44,98 atau rata-rata 8,996 maka sayapun berhasil menembus sekolah ini…


Pak Choliq sendiri adalah seorang guru Agama, akan tetapi beliau sangat menyukai bidang olahraga, khususnya sepakbola. Dan kebetulan beliau juga merupakan guru pembimbing extra kulikuler sepakbola di sekolah kami…


Saat awal masa sekolah saya di SMP ini, teman-teman saya mengenal saya karena keunikan dalam penampilan saya. Saat itu tangan kiri saya di balut gips selama sebulan awal sekolah, karena saat liburan kenaikan kelas, tangan kiri saya mengalami patah tulang (Baca artikel : Pendekar Gelang Sakti). Hal tersebut yang membuat teman-teman sekolah saya dengan mudah mengenali saya…


Sejak kecil saya memang mempunyai jiwa olahraga yang sangat kuat, sehinggga dengan keadaan satu tangan di balut gips pun, saya masih tetap bermain basket atau sepakbola dengan rekan-rekan saat istirahat sekolah, di lapangan basket sekolah kami. Banyak teman-teman yang melarang saya untuk bergabung, akan tetapi saya selalu berhasil meyakinkan (memaksa lebih tepatnya) mereka untuk ikut bertanding…


Seperti sekolah-sekolah yang lain, sekolah kami juga mempunyai pelajaran extra kulikuler. Setiap siswa di wajibkan mengikuti 2 extra kulikuler selain yang wajib yaitu Pramuka. Saat itu saya memilih komputer dan olahraga yaitu sepakbola. Akan tetapi sejujurnya, saya memilih komputer hanya untuk melengkapi kewajiban saja…


Saya lebih sering membolos saat extra kulikuler komputer dimulai, hanya demi bermain sepakbola, basket atau volley dengan siswa yang lain, yang kebetulan berada di sekolah saat sore hari . Maka seingat saya, saat penerimaan piagam komputer, nilai saya adalah Teramat Sangat Kurang Sekali hehehe.. Dan itu membuat ibu saya marah sekali…


Untuk extra kulikuler sepakbola, jangankan bolos terlambat pun saya tidak pernah. Akan tetapi terdapat sedikit kendala di sini, mengingat saya adalah siswa kelas 1 dan badan saya tergolong kecil, saya sering disepelekan oleh kakak-kakak kelas saya. Jangankan untuk ikut bertanding, waktu latihan pun banyak saya habiskan untuk bermain kucing-kucingan di pinggir lapangan, bersama dengan siswa lain yg sama-sama masih junior atau kelas 1…


Saya akan diajak bertanding jika ada kakak kelas kami yang berhalangan hadir, akan tetapi saya tidak pernah risau dengan keadaan tersebut. Disamping karena extra kulikuler ini wajib untuk menunjang nilai saya, disisi lain saya juga sangat gemar bermain sepakbola, jadi saya selalu menikmati kegiatan sore saya yg satu ini…


Sampailah pada suatu ketika, tim sekolah kami akan melakukan pertandingan persahabatan dengan sebuah desa, bernama Suruh. Kebetulan pembina kami Bpk. Cholik juga berasal dari desa tersebut. Saat itu stok pemain kami kurang, banyak pemain yang berhalangan hadir, kira-kira saat itu hanya ada 15 pemain pemain plus 1 pembina kami yaitu Pak Choliq sendiri…


Seperti biasa, saya hanya duduk di tepi lapangan ketika pertandingan dimulai, saya memperhatikan pertandingan dengan sangat seksama. Saat babak pertama usai, tim kami sudah kalah 2-0, para pemain inti kami pun nampak sudah mulai kelelahan. Saat itu Pak Cholik juga turut bermain, walaupun diusia yang kira-kira 45 tahun (saat itu) tetapi sejujurnya kemampuan orang tua satu ini tidak dapat di pandang sebelah mata, beliau adalah seorang gelandang bertahan…


Saat stok pemain sudah habis, Pak Cholik melirik saya, dan diapun bertanya. “Eh, kamu, siapa nama kamu..??” “Saya Bambang pak..” jawab saya, “Kamu biasa main dimana..??” tanyanya kembali, dengan yakin saya jawab “Di mana saja saya bisa pak..”, “Gayamu tho le,, le,, (Gaya sekali kamu) , “Yasudah main di pasar saja sana” sahut pak Cholik yang seketika di sambut dengan tawa seluruh pemain (beliau memang terkenal suka bercanda), saat itu seketika muka saya merah padam…


Kemudian, “Yasudah coba kamu ganti saya main gelandang bertahan, main yang bener ya, jangan menang gaya saja, tapi mainnya *mak plekethus* (Omong kosong)”, “Siap pak..!!!” Jawab saya bersemangat. ..


Saat itu kakak-kakak kelas saya sempat mempertanyakan keputusan Pak Cholik untuk memasang saya, mengingat saat itu kami tengah kalah 2-0. Dengan tenang beliau menjelaskan kepada pemain yang lain demikian “Biarkan saja dia main, kalo kita ngga pernah mencoba, kapan kita tau kemampuan dia, tugas kalian yang lebih senior adalah membimbingnya, lagipula dari gayanya sih keliatannya lumayan”


Maka sayapun bermain di sepanjang babak kedua, saat itu saya bermain sebagai gelandang bertahan dengan kostum bernomer punggung 16, yg sejujurnya agak kedodoran . Saya bermain layaknya Lothar “Herbert” Matthaus saat itu, maju menyerang dan kembali bertahan saat diserang. Saya juga berhasil mengatur irama tim dengan baik, dan yang paling membanggakan adalah, saya berhasil mencetak 1 gol dan memberi 1 umpan kepada striker kami untuk mencetak gol…


Saat itu hasil akhirnya kami memang kalah 3-2, akan tetapi penampilan saya membuat mata pembina kami dan para kakak kelas saya kaget. Mereka tidak mengira jika saya dapat bermain bola dengan baik, yang mereka tau adalah 3 bulan yang lalu saya masih menggunakan gips di tangan kiri saya. Mereka tidak tahu jika saat itu saya adalah siswa Sekolah Sepakbola Ungaran Serasi sejak usia 8 tahun, mereka juga tidak mengetahui jika tahun kemarin (Kelas 6 SD, Usia 12 tahun), saya sudah mewakili Jawa tengah dalam Turnamen PSSI Piala Djamiat Dalhar di Jogjakarta, yang saat itu juga terdapat M. Ridwan (Sriwijaya FC) dan Nova Arianto (Persib Bandung) dalam tim …


Sejak kejadian itu, status sayapun berubah dalam tim sekolah kami. Dari pemain yang hanya menjadi pelengkap di tepi lapangan, menjadi pemain inti di posisi gelandang bertahan. Dalam setiap pertandingan sekolah, saya selalu bermain dari awal pertandingan sampai peluit akhir tanda pertandingan usai. Para kakak kelas sayapun tidak lagi memandang saya dengan sebelah mata. Serta sedikit keuntungan tambahannya adalah, sebagai wakil sekolah di bidang olahraga, maka dengan sendirinya akan mendapat sedikit perhatian dari para siswa cewek ahahaha..


Hal tersebut tidak akan terjadi, tanpa keberanian Pak Cholik mencoba untuk memasang saya, dalam pertandingan melawan desa Suruh tersebut. Beliau berani memberi kesempatan seorang siswa ingusan, yang belum diketahui kemampuannya dan sejujurnya juga ditentang oleh 10 pemain yang lain yang berada di lapangan saat itu…


Satu pelajaran berharga dapat saya petik dari peristiwa tersebut. Yaitu, jangan pernah meremehkan siapapun serta berilah kesempatan kepada setiap orang dengan sama besarnya. Bakat muda akan terasah jika terus menerus diberikan kesempatan dan bimbingan, jam terbang lambat tapi pasti akan membentuk karakter serta mengasah kemampuan mereka…


“Karena memberi kepercayaan kepada pemain muda itu, bagaikan menyiramkan air pada bibit tanaman yang baru mulai tumbuh”


Hal tersebut yang saya rasakan kurang di dalam persepakbolaan Indonesia saat ini, pemain-pemain muda kita sangat kurang mendapat kesempatan untuk unjuk kebolehan. Peraturan lima pemain asing dalam sebuah tim akan menghambat perkembangan para talenta muda negeri ini. ..


Hal tersebut yang tanpa kita sadari, mengakibatkan mandeknya regenerasi di dalam Tim Nasional Indonesia (ini yang luput dari radar bapak-bapak yang duduk diatas sana *PSSI*). Disaat timnas negara lain sudah menggunakan tenaga para pemain muda mereka, kita masih mengandalkan tentara-tentara lama yang sudah hampir usang…


Nama Pak Cholik akan selalu saya kenang sampai kapanpun, seorang guru yang tidak hanya memberi kesempatan dan peluang, akan tetapi juga sebuah kepercayaan kepada saya untuk menunjukkan kemampuan saya. Atas dasar rasa hormat saya kepada beliau, pada th 2002  saya mempersembahkan Jersey Tim Nasional Indonesia, yang saya pakai saat Final Piala Tiger 2002 di Jakarta (saat itu saya berhasil menjadi pencetak gol terbanyak). Seminggu setelah partai final tersebut, saya sempat sowan/berkunjung ke SMP Negeri 1 Salatiga dan memberikan kostum tim nasional tersebut secara langsung kepada beliau…


Untuk pak Cholik, semoga selalu sehat wal afiat dan dalam lindungan Allah SWT. Terima kasih atas sebuah cerita yang mungkin ringan, akan tetapi tetapi bermakna besar bagi saya. Sebuah kisah yang akan selalu melekat dalam benak saya, sampai kapanpun…


Selesai….