“Sebuah peperangan akan sulit dimenangkan, jika kita sendiri tidak memahami siapa musuh kita yang sebenarnya”.

JANGAN berharap saya membahas tentang kekalahan Indonesia dari Australia, karena anda sekalian akan kecewa. Biarkan stasiun-stasiun tv dan akun-akun youtube mainstream yang mengulasnya, dengan segala drama dan dramatisasi-nya. Ijinkan saya mengkaji sepak bola Indonesia dari sudut pandang yang sedikit berbeda.

Rasanya para pembaca tulisan-tulisan saya paham, jika latar belakang saya adalah olahragawan, lebih tepatnya mantan atlet sepak bola. Oleh karena itu menjadi aneh dan tidak relevan, jika kemudian saya menulis tentang hal-hal di luar olah raga, khususnya sepak bola. Dan itu lah yang memang saya jaga betul, saya hanya berpendapat (melalui tulisan) terkait hal-hal di area yang sedikit banyak saya pahami saja.

Termasuk kali ini, tulisan saya ini tentu juga tentang sepak bola. Kenapa kemudian judulnya membawa-bawa negara Rwanda. Apakah Rwanda menjadi salah satu kiblat sepak bola dunia? Apakah perkembangan sepak bola Rwanda sangat pesat? atau apakah tim nasional Rwanda langganan Piala Dunia? Jawaban dari ketiganya tentu saja tidak.

Jangankan menjadi kiblat sepak bola dunia, berprestasi di benuanya sendiri saja sulit. Prestasi tertinggai Rwanda di kancah internasional, hanyalah juara CECAFA Cup pada tahun 1999. Turnamen sekelas Piala AFF di regional Afrika Timur Tengah. Di Piala Afrika, prestasi terbaik mereka juga hanya sampai di babak 8 besar, pada tahun 2016 dan 2020. Di Piala Dunia apa lagi, mereka tidak pernah sekali pun lolos ke putaran final Piala dunia, sama seperti kita.

Jadi apa maksud belajar dari Rwanda? Begini, begini, sabar dulu. Jangan marah-marah, ini masih bulan Ramadhan. Ijinkan saya untuk sedikit bercerita terlebih dahulu.

Saat kita mendengar negara bernama Rwanda, rasanya tidak akan banyak referensi pengetahuan yang kita miliki. Mungkin pemahaman Anda sekalian sama seperti saya, hanya sebatas dari film berjudul Hotel Rwanda (2005), garapan sutradara asal Irlandia, Terry George. Sebuah film yang mengambil setting cerita konflik antar suku yang mengakibatkan terjadinya tragedi genosida di Rwanda.

Terus apa yang menarik dari Rwanda? Ini yang menarik. Bayangkan, dari sebuah negara yang hancur lebur karena perang saudara dan tragedi genosida di tahun 1994, sekarang Rwanda menjadi salah satu negara yang paling menyita perhatian di dunia. Dalam hal apa? Dalam hal pertumbuhan ekonomi.

Rwanda yang dijuluki "Negeri Seribu Bukit" (Land of a Thousand Hills) ini menjadi salah satu negara yang memiliki pertumbuhan ekonomi (economic growth) tertinggi di Afrika dan dunia. Rwanda juga termasuk di antara negara-negara terbersih di Dunia. Bahkan ibu kota Rwanda, Kigali, diberi label “Singapore of Africa” karena terkenal bersih, rapi, dan juga aman.

Sebagai pelengkap data saja. Dilansir dari website trading economics, sejak tahun 2000, Rwanda memiliki rata-rata pertumbuhan ekonomi sebesar 7,32% per tahun (di mana tertinggi terjadi di kwartal kedua tahun 2021 dengan 20,60%). Sebagai pembanding, rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia sejak tahun 2000 berada di angka 4,89% per tahun (tertinggi di kwartal keempat tahun 2004 dengan 7,16%). Meskipun secara produk domestik bruto (PDB), Rwanda masih jauh di bawah Indonesia.

Bagaimana negara Rwanda bisa bangkit sedemikian rupa? Nah ini lah hal menarik yang ingin saya bahas dalam tulisan ini.

 

Konsep Berpikir

Ok, kita mulai. Langkah pertama yang dilakukan Rwanda untuk bangkit dari keterpurukan adalah menginventarisasi aset, mengidentifikasi permasalahan, dan melakukan investasi masa depan. Sebagai negara yang luluh lantah akibat perang saudara, secara ekonomi jelas Rwanda tidak memiliki kemampuan untuk melakukan pembangunan yang masif. Untuk mendatangkan devisa negara, salah satu jalan yang paling mungkin dilakukan adalah menjual sesuatu yang memang sudah mereka miliki.

Apa hal yang sudah mereka miliki? Selain perkebunan (teh dan kopi), Rwanda sebagaimana negara-negara Afrika yang lain, memiliki kondisi alam terutama kehidupan satwa liar (wildlife) yang eksotis. Permasalahannya, bagaimana mereka bisa menarik wisatawan mancanegara untuk berkunjung ke Rwanda, sedangkan kondisi negara mereka masih hancur dan kumuh. Di sini lah pemerintah Rwanda melakukan sebuah kebijakan yang menurut saya sangat luar biasa.

Selain perubahan konstitusi dan juga rekonsiliasi yang tentu saja sangat fundamental, Rwanda melakukan pendekatan yang unik dan berbeda, dengan mencanangkan tiga hal visioner sebagai berikut:

Pertama, Pendidikan Lingkungan: Pemerintah Rwanda secara gencar melakukan berbagai kegiatan edukasi, untuk meningkatkan kesadaran lingkungan di kalangan masyarakat. Mulai dari anak-anak hingga orang dewasa. Program pendidikan ini berfokus pada pentingnya peran individu dalam menjaga kebersihan lingkungan.

Kedua, Peningkatan Kesadaran Masyarakat: Pemerintah Rwanda mengadakan kampanye dan kegiatan publik yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya menjaga kebersihan. Program ini banyak melibatkan media massa dan kegiatan komunitas untuk mendorong partisipasi aktif dari masyarakat.

Dan ketiga, Pemberdayaan Masyarakat: Rwanda memberdayakan masyarakat untuk terlibat langsung dalam kegiatan kebersihan lingkungan. Rwanda sendiri memiliki tradisi kerja sama yang disebut “Umuganda”, yaitu sebuah kegiatan kerja bakti gotong royong bulanan yang melibatkan seluruh warga negara. Hal ini menjadi contoh yang baik dalam mempererat hubungan antar masyarakat yang sempat terpecah belah karena konflik antar suku.

Selain tiga hal di atas, sebagai bentuk komitmen dalam menjaga ketahanan iklim dan memelihara lingkungan, sejak tahun 2008 Rwanda melarang keras penggunaan kantong plastik (salah satu negara pertama di dunia). Hal tersebut tercantum dalam undang-undang, sehingga barang siapa yang melanggar akan mendapatkan hukuman penjara. Untuk dapat menjalankan semua program di atas, tentu tantangannya tidak mudah, diperlukan kesamaan konsep berpikir.

Di sini terlihat, jika pemerintah Rwanda tidak hanya sedang membangun negaranya. Namun lebih dari itu, mereka sedang berinvestasi dengan memberikan pemahaman dan menamkan konsep berpikir masa depan, kepada masyarakatnya.

Berkat konsep visioner ini lah, Rwanda perlahan-lahan bangkit dari keterpurukan. Karena berhasil menjaga stabilitas keamanan, kebersihan, dan kerapihan negaranya. Hasilnya, perlahan-lahan wisatawan mancanegara pun mulai hadir. Dengan demikian devisa mereka pun mulai meningkat.

Saat ini, pariwisata menjadi salah satu sumber pendapatan utama Rwanda, selain di bidang agrikultur (ekspor kopi dan juga teh). Jadi jangan heran jika Rwanda getol mempromosikan Visit Rwanda menggandeng klub-klub top eropa seperti Arsenal, Paris Saint-Germain, dan juga Bayern Munchen.

Konsep dasar ini lah yang menjadikan Rwanda sebagai salah satu negara dengan pertumbuhan ekonomi tercepat di afrika dan dunia. Ini tentu bukan pekerjaan semalam, seperti kisah Bandung Bondowoso, ini investasi tahunan atau bahkan mungkin puluhan tahun. Artinya, ada sebuah investasi besar yang mereka lakukan yaitu konsep berpikir tentang masa depan.

Nah, pada poin ini lah mengapa saya menyebut Rwanda sebagai contoh. Lho apa hubungannya pariwisata Rwanda dengan pembangunan sepak bola Indonesia? Kata kuncinya ada pada konsep berpikir. Sebuah konsep dasar yang dibuat berdasarkan hasil inventarisasi aset, dan identifikasi permasalahan. Jadi ini bukan tentang bidangnya, namun konsep berpikirnya.

 

Musuh Utama Sepak bola Indonesia

Saat ini kita (Indonesia) seperti tidak memiliki konsep dasar dalam melakukan pembangunan sepak bola nasional secara menyeluruh. Kita kesulitan dalam menginventarisasi aset, dan mengidentifikasi permasalahan mendasar sepak bola kita. Bagaimana kita bisa memenangi sebuah perperangan, jika kita sendiri tidak memahami siapa musuh kita yang sebenarnya. Persis seperti quote di awal tulisan ini.

Bagaimana kita bisa menaikkan kualitas sepak bola Indonesia, jika kita tidak tahu (atau pura-pura tidak tahu) di mana letak permasalahan kita. Bagaimana mungkin kita berbicara tentang memperbaiki level sepak bola kita, jika kita tidak tahu (atau pura-pura tidak tahu) harus memulainya dari mana.

Dalam semua konsep komprehensif dan sistematis (blueprint) sepak bola di negara-negara yang sepak bolanya maju, selalu dimulai dengan program yang bernama pengembangan pemain. Rasanya tidak perlu harus lulus wajib belajar 12 tahun, untuk dapat mengartikan kata pengembangan (kembang) yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan sebagai "menjadi bertambah sempurna".

Jadi, inti dari blueprint sepak bola negara-negara yang sepak bolanya sudah maju itu, ya tetap dimulai dari pembinaan usia dini yang berkualitas. Lha kalau negara-negara yang sepak bolanya sudah "terlanjur" maju saja, masih menjadikan pembinaan usia dini sebagai tulang punggung. Masak iya kita yang sepak bolanya “semakin ke sini semakin ke sana” ini, tidak mau melakukan hal yang sama.

Sama hal nya dengan Rwanda dalam membangun ekonomi, membangun sepak bola Indonesia itu bukan pekerjaan semalam. Oleh karena itu, konsep berpikir lah yang pertama-tama harus diubah. Konsep berpikir yang bagaimana? Konsep berpikir masyarakat sepak bola kita yang semua mahunya serba instan. Ini lah akar permasalahan yang membuat sepak bola Indonesia ini sulit berkembang.

Karena pola pikirnya instan, maka program-program yang menjadi prioritas pun sifatnya hanya jangka pendek, atau sekadar akselerasi saja. Ini terjadi karena begitu besarnya tekanan dari ekspektasi masyarakat yang selalu menginginkan hasil yang cepat. Membangun sepak bola itu tidak seperti membuat tempe daun jati. Sore kita bungkus, keesokan harinya sudah “gemoreng” dan bisa dinikmati. Ini lah musuh utama sepak bola Indonesia.

Jika kita tarik ke belakang, program-program pembinaan pemain muda yang pernah kita lakukan hanyalah dengan sekadar membentuk super team dengan target jangka pendek. Mulai dari tim PSSI Binatama dan PSSI Garuda (80an), PSSI Primavera dan PSSI Bareti (90an), hingga PSSI Sociedad Anónima Deportiva (SAD) (2000an).

Apakah program-program tersebut berhasil? Debatable, karena ada beberapa pemain dari program tersebut yang kemudian menjadi tulang punggung tim nasional. Namun dari sisi cakupan, ruang lingkupnya sangat lah eksklusif. Sehingga tidak dapat menjangkau seluruh bakat-bakat muda kita. Padahal program-program tersebut menghabiskan dana yang jelas tidak sedikit.

Saya membayangkan, jika dana yang digunakan untuk program-program tersebut, dialokasikan untuk menggulirkan kompetisi-kompetisi usia dini yang berjenjang dan berkualitas. Selain dampaknya lebih positif, cakupan bakat-bakat muda yang tersentuh oleh program tersebut pun, rasanya akan jauh lebih luas.

Bagaimana dengan program akselerasi yang bernama naturalisasi? Oh saya tidak pernah memiliki masalah dengan naturalisasi, toh faktanya program itu membuat level timnas kita meningkat pesat. Lagi pula secara aturan, tidak ada yang dilanggar, mereka memang memiliki hak untuk bermain atas nama Indonesia.

Namun sekali lagi, program naturalisasi ini orientasinya juga jangka pendek, sedang investasi jangka panjang sepak bola kita ya tetaplah talenta-talenta muda kita yang bertebaran di seluruh penjuru negeri. Jadi, seyogyanya program naturalisasi ini, juga dibarengi dengan kehadiran federasi dalam kelangsungan kompetisi-kompetisi kelompok umur yang berjenjang dan berkualitas.

 

Negara Harus Hadir

Jangan gampang menyalahkan atau mem-bully kualitas pemain lokal, karena mereka lah gambaran “sehadir apa” kita dalam proses pembinaan kita. Bagaimana kita berharap memiliki pemain-pemain yang berkualitas, jika proses pembinaan pemain-pemain muda ini dianggap tidak penting.

Sekadar angan-angan, atau ide gila saya saja. Bagaimana misalnya, negara berinvestasi melalui federasi, salah satunya dengan menghidupkan kembali Liga Remaja U19 yang dulu pernah menjadi primadona. Di mana jadwal kompetisi mereka sama persis dengan jadwal tim utamanya. Jadi, misalnya pada pekan ini di Liga 1, Persija akan bertemu dengan Persib. Maka di Liga Remaja pekan yang sama, sehari sebelumnya, berlangsung juga pertandingan antara Persija U19 melawan Persib U19. Hal ini bergulir selama semusim penuh. Sebut saja namanya Liga Remaja 1.

Pemain tim utama yang baru sembuh dari cedera boleh dimainkan di tim U19 (dengan jumlah tertentu) untuk memulai mendapatkan adaptasi bermain. Sebaliknya, pemain-pemain dari tim U19 yang menonjol dan diperlukan, bisa juga dimainkan di tim utama di Liga 1. Dengan demikian, para pemain muda kita akan mendapatkan atmosfer kompetisi yang kompetitif selama setahun penuh, sama seperti tim utama.

Bagi tim-tim di luar Liga 1, maka bisa memulai kompetisinya dari babak penyisihan wilayah karesidenan terlebih dahulu. Kemudian naik ke wilayah provinsi, Pulau, dan kemudian putaran nasional. Sebut saja, kompetisi ini dengan nama Liga Remaja 2.

Jika kita mampu melaksanakannya, bukan tidak mungkin akan banyak hal-hal positif yang dapat kita petik dalam 5 atau 10 tahun kedepan. Karena tugas utama sebuah federasi sepak bola adalah mengatur, mengembangkan, dan memajukan sepak bola di wilayahnya. Termasuk menetapkan aturan, menyelenggarakan kompetisi, dan mempromosikan olah raganya (sepak bola).

Jadi, kesimpulan dari tulisan saya yang panjang dan lebar ini adalah kegelisahan saya, untuk coba menawarkan sebuah konsep pemikiran baru yang mungkin dapat kita adopsi dalam membangun sepak bola kita. Yaitu bersihkan "kepala" kita dari kebiasaan menginginkan hasil yang instan. Mulailah dari yang paling mendasar yaitu pengembangan pemain (pembinaan usia dini). Dan jikalau boleh menambahkan satu hal lagi. Maka, mulai lah berbicara tentang esensi, jangan terlalu banyak drama dan berdebat untuk hal-hal yang tidak penting. Termasuk melemparkan isu-isu tak penting, yang berpotensi menimbulkan perpecahan.

Karena sekali lagi, membangun sepak bola itu bukan lah pekerjaan semalam. Tetap semangat dan sukses selalu....


Salam,


Bambang Pamungkas 

 

PS: Seperti biasa, ini hanya sekadar pendapat. Jadi boleh setuju, boleh juga tidak.