MENULISKAN kata-kata bijak, ungkapan belasungkawa, serta rasa empati di media sosial adalah hal yang mudah. Saya, Anda, atau siapa pun bisa melakukannya. Tinggal browsing, comot kalimat bijak sana-sini, susun dengan rapi, kemudian mengunggahnya. Selesai perkara. Effort kecil yang sudah cukup untuk membuat kita “terlihat” peduli dengan sepak bola Indonesia.
Bagian tersulitnya adalah, apakah nyawa demi nyawa yang telah melayang selama ini memiliki arti dan membuat kita semua sadar, jika sepak bola kita dalam bahaya yang teramat sangat besar? Fanatisme “Membabi buta” dalam sepak bola Indonesia ini, telah memakan terlalu banyak korban. Dan oleh karena itu harus segera dihentikan. Agar tragedi kemanusiaan seperti ini tidak terulang kembali di masa yang akan datang, dan olah raga bernama sepak bola masih akan terus ada di Republik ini.
Mari kita sejenak menilik ke belakang. Dari data-data di media massa, sejak liga sepak bola profesional di Indonesia resmi digulirkan pada tahun 1994, hingga saat saya menulis artikel ini. Total sudah 203 nyawa melayang karena sepak bola. Apakah itu wajar? Hanya orang yang gila yang mengatakan bahwa itu wajar.
Apakah kerusuhan dalam sepak bola ini hanya terjadi di Indonesia? Tentu saja tidak. Kerusuhan dalam sepak bola juga banyak terjadi di belahan dunia yang lain. Perbedaannya, hampir semua kerusuhan yang memakan korban jiwa dalam sejarah sepak bola di dunia itu, terjadi sebelum berakhirnya milenium kedua. Sedang saat ini di awal milenium ketiga, kesadaran dan peradaban masyarakat sepak bola di dunia sudah jauh lebih baik. Sehingga kejadian-kejadian serupa, sudah jauh dapat diminimalisir dan hampir tidak pernah terjadi lagi.
Apa yang terjadi di stadion Kanjuruhan pada hari Sabtu (1/10) yang lalu, adalah puncak dari permasalahan bernama fanatisme membabi-buta dalam sepak bola Indonesia, yang akhir-akhir ini semakin mengkhawatirkan. Perlu diketahui, jika dalam beberapa tahun terakhir, sejatinya kerusuhan demi kerusuhan sudah sering terjadi dalam kompetisi sepak bola kita. Baik itu di level liga 3, liga 2, pun juga di liga 1.
Sedikit mundur ke belakang, 2 supporter juga meninggal saat laga Piala Indonesia antara Persib Bandung melawan Bali United (17/6), di stadion Gelora Bandung Lautan Api, Bandung. Paling akhir, saat Persebaya Surabaya kalah di kandang oleh RANS Nusantara (15/9), di stadion Gelora Delta, Sidoarjo. Bersyukur tidak ada korban jiwa dalam kerusuhan tersebut.
Secara pribadi, saya tidak pernah meragukan kecintaan masyarakat Indonesia terhadap sepak bola. Saya juga tidak berani untuk sekadar membayangkan, melihat Indonesia tanpa adanya sepak bola. Namun, apakah kecintaan terhadap sepak bola itu sudah diimbangi dengan kesadaran untuk menjaga olah raga tersebut? Menjaga agar sepak bola, tidak menjadi sebuah aktivitas yang berbahaya dan membayakan. Sehingga tetap dapat dimainkan di Republik ini.
Dalam beberapa kesempatan, baik secara langsung maupun melalui tulisan-tulisan di media sosial. Saya sering menyampaikan, jika wujud paling nyata dari mencintai sepak bola adalah dengan menjaganya. Dan berdasarkan data yang saya sampaikan di awal tadi, apakah kecintaan kita terhadap sepak bola Indonesia sudah diimbangi dengan kesadaran untuk menjaga sepak bola itu sendiri? Rasanya masih jauh panggang dari pada api.
Maka jangan salahkan, jika kemudian ada sekelompok masyarakat yang menyerukan pelarangan aktivitas sepak bola di Indonesia. Seberapa pun kita tidak suka dengan pendapat tersebut, toh kita tidak dapat mengelak. Karena faktanya, akhir-akhir ini sepak bola memang menjadi sebuah kegiatan yang cukup meresahkan masyarakat. Diperparah lagi, dengan belum tampaknya kesadaran penuh dari dalam environment sepak bola Indonesia sendiri, untuk mau berbenah. Baik dari sisi sistem, maupun kesadaran individu.
Selama ini, kita terkesan hanya menganggap kerusuhan demi kerusuhan yang memakan korban jiwa ini, sebagai sebuah insiden biasa. Cukup dengan basa-basi sedikit, menebar kata-kata bijak sana-sini, menggunakan pita hitam sebagai bentuk rasa duka serta empati, dan selesai sudah. Setelah itu, semua akan terlupakan oleh waktu. Sampai dengan kejadian yang sama, terulang kembali. Tidak pernah ada pembahasan atau tindakan yang kongkret, untuk mencari solusi terbaik dalam menanggulangi permasalahan tersebut.
Kita semua tentu sangat mengapresiasi tindakan pemerintah, dalam hal ini Presiden Joko Widodo yang secara langsung menginstruksikan kepada Menpora, Kapolri, dan juga PSSI agar Liga 1 dihentikan sementara, hingga adanya evaluasi menyeluruh dan peningkatan prosedur keamanan. Instruksi yang langsung direspon secara positif oleh pihak-pihak terkait, dengan menghentikan sementara pertandingan-pertandingan di Liga 1.
Sayangnya, hal tersebut tidak diikuti dengan penghentian untuk sementara waktu juga, bagi pertandingan-pertandingan di Liga 2. Padahal kejadian di Kanjuruhan ini, bukan hanya sekadar permasalahan liga 1, namun ini permasalahan sepak bola Indonesia secara utuh. Oleh karena itu, sebagai bentuk empati kepada seluruh korban. Seyogyanya seluruh kompetisi dalam ruang lingkup sepak bola Indonesia yang berada di bawah kendali PSSI, dihentikan untuk sementara waktu.
Saya tidak dalam posisi untuk ingin menunjuk siapa pihak yang paling bertanggung jawab dan layak disalahkan, atas apa yang terjadi di Kanjuruhan. Karena terlalu banyak pihak yang kemudian harus ditunjuk, termasuk diri kita sendiri. Kita bisa saja dengan mudahnya menilai jika tragedi Kanjuruhan ini terjadi akibat dari buruknya koordinasi, tidak idealnya waktu pertandingan, kehadiran penonton yang melebihi kapasitas, kesalahan prosedur pengamanan, terlalu mengedepankan bisnis, dan masih banyak lagi.
Namun lebih dari pada itu, saya lebih ingin memberi penekanan kapada masih sangat kurangnya kedewasaan dan pemahaman environment sepak bola kita, akan esensi paling mendasar dari olah raga itu sendiri. Kedewasaan dan kesadaran bahwa di atas segala bentuk rivalitas, gengsi, serta prestasi. Sepak bola tetaplah sekadar sebuah olah raga. Di mana olah raga sendiri dimainkan sebagai sarana untuk mempererat persahabatan, dan membina sportifitas. Olah raga adalah sebuah pesta rakyat yang seharusnya dijalankan dengan penuh kegembiraan, bukan kecemasan.
Bukankah kita pernah mengalami masa-masa di mana kita harus kehilangan kegembiraan bernama sepak bola? Saat Indonesia mendapatkan sanksi dari FIFA, sehingga kompetisi tidak boleh digulirkan. Kita juga pernah mengalami pukulan berat saat awal-awal pandemi covid-19 melanda, hingga membuat sepak bola harus dihentikan di tengah jalan. Bahkan tentu masih segar dalam ingatan kita, saat tahun lalu kita harus berdarah-darah, dengan harus menggulirkan kompertisi tanpa kehadiran penonton di stadion.
Saat itu kita semua marah dan berteriak, karena kegembiraan bernama sepak bola itu direnggut dari kehidupan kita. Terus masak iya, saat situasi sudah “mulai” kembali normal dan industri sepak bola sudah kembali bergeliat. Kita sendiri yang kemudian malah melakukan tindakan-tindakan "konyol", yang membayakan sepak bola Indonesia itu sendiri.
Apakah perlu, semua pertandingan sepak bola di Indonesia ini dijalankan tanpa dihadiri oleh penonton? Apakah partai-partai yang melibatkan klub-klub besar dangan basis suporter yang fanatik, harus dimainkan di luar wilayah Indonesia? Di Santiago Bernabeu misalnya, seperti laga final Copa Libertadores 2018 antara River Plate melawan Boca Junior. Atau yang lebih gila lagi, apakah olah raga bernama sepak bola ini sebaiknya ditiadakan saja di Indonesia? Karena ternyata lebih banyak mudharat-nya daripada manfaatnya. Apakah harus begitu?
Akhir sekali, hal yang paling saya banggakan pernah menjalani profesi sebagai seorang atlet adalah: “Di atas segala rivalitas dan apa pun hasil yang terjadi di dalam lapangan, kami selalu mengawali dan mengakhirinya dengan pelukan dan jabat tangan”.
Semoga filosofi ini dapat dirasakan, dipahami, dan juga ditularkan kepada seluruh stakeholder sepak bola Indonesia, utamanya para supporter. Jika tidak, maka “bukan tidak mustahil” pada suatu titik kita mungkin harus menerima kenyataan, melihat Indonesia tanpa sepak bola.
Tragedi Kanjuruhan ini seharusnya membuka mata dan menyadarkan kita. Sehingga kita benar-benar peduli, tidak hanya sekadar terlihat peduli. Untuk kemudian turut serta dan berperan aktif, dalam memperbaiki sepak bola Indonesia. Berawal dari diri sendiri, dengan mengubah pola pikir dan pemahaman kita tentang esensi paling mendasar dari olah raga (sepak bola) itu sendiri.
Sepak bola adalah pesta rakyat, yang dimainkan dengan hati yang gembira, sehingga membuat siapa pun yang menyaksikan menjadi terhibur. Titik.
Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un. Turut berduka cita yang sedalam-dalamnya atas apa yang terjadi di Kanjuruhan. Doa terbaik untuk seluruh korban dan keluarga yang ditinggalkan.
Sebuah catatan untuk menjadi renungan bersama, untuk sepak bola Indonesia yang lebih baik dan lebih bermartabat.
Tetap Semangat dan Sukses Selalu.
Salam,
Bambang Pamungkas