Permasalahan mendasar sepak bola Indonesia.

“Apa sih permasalah terbesar sepak bola Indonesia hingga terkesan jalan di tempat, dan sulit berprestasi?”

Pertanyaan yang sudah sejak lama ada di benak kita semua, pecinta sepak bola Indonesia. Banyak pendapat dan teori mengenai hal tersebut. Saking banyaknya sulit untuk merinci satu-persatu. Saking amburadulnya entah kita mau memulai dari mana. Dan saking kusutnya banyak pihak yang sudah pesimis, walaupun tidak sedikit yang masih tetap optimis, termasuk saya.

Jika pertanyaan itu ditanyakan kepada saya, maka jawaban saya akan begini:

“Permasalahan terbesar sepak bola Indonesia terletak pola pikir, dan pola kerja”.

Namun sebelum saya berbicara lebih jauh, perlu digaris bawahi, jika pendapat saya ini belum tentu benar. Ini adalah kesimpulan dari pengamatan dan diskusi saya dengan beberapa pihak, yang menurut saya memiliki keterkaitan dengan sepak bola Indonesia. Jadi kalau ada yang berbeda pendapat, ya seperti biasa lah monggo saja.

Setuju atau tidak setuju itu lain soal. Karena pada akhirnya tidak ada yang salah dan benar dengan pendapat, dan saya sangat menghargai itu. Namun sebelum kita sampai pada setuju atau tidak setuju, mohon kiranya untuk membaca tulisan ini sampai selesai, dan cobalah untuk memahaminya terlebih dahulu.

Apa yang saya sampaikan ini mungkin akan menyinggung perasaan beberapa pelaku sepak bola baik pelaku lapangan (baik senior maupun yunior saya), pelaku administrasi, maupun pelaku bisnis yang terkait dengan geliat sepak bola Indonesia. Namun saya yakin, sebenarnya banyak orang yang juga memiliki pemikiran yang sama dengan apa yang ingin saya sampaikan. Hanya saja terkadang rasa sungkan, enak tidak enak, dan menghormati dalam koridor hirarki membatasi ruang lingkup kita dalam mengeluarkan pendapat.

Oleh karena itu, sebelum saya berbicara lebih lanjut, ijinkan saya mengajak kita semua untuk membuka pikiran kita, dan menjernihkan cara pandang kita, agar kita dapat berdiskusi secara positif, kondusif, dan progresif. Untuk mencari jalan keluar terbaik bagi sepak bola Indonesia.

Selama 20 tahun karir saya sebagai pesepak bola, saya memiliki kesempatan untuk bekerja sama dengan cukup banyak pelatih, baik lokal maupun asing. Pada masa itu, saya sering berdiskusi dengan mereka mengenai perkembangan, dan arah tuju sepak bola Indonesia.

Kesimpulan yang dapat saya ambil dari banyak diskusi tersebut adalah, Indonesia kita ini memiliki talenta pesepak bola yang luar biasa, hanya saja kita tidak pernah dapat menciptakan sebuah “invironment” yang positif, untuk mengantar mereka sampai pada titik tertinggi potensi mereka. “Environment”, atau lingkungan yang dimaksud adalah fasilitas, iklim kompetisi, dan kualitas kompetisi utamanya pada usia dini. Mengapa usia diri, karena di tahap itu lah pondasi dasar seorang pesepak bola profesional dibentuk.

Apakah kita sudah memberikan atau menyediakan fasilitas (mendasar) utamanya lapangan sepak bola kepada talenta muda kita?

Apakah kita sudah memberikan iklim kompetisi yang kondusif dengan aturan yang jelas, tegas, dan baku agar proses perkembangan mereka terlindungi.

Apakah kopetisi usia dini kita sudah berjenjang, dan memiliki kualitas yang baik?

Jangan berbicara kelompok senior, jika kita tidak serius dalam melakukan pembinaan di usia dini. Karena selain hasil dari kompetisi, tim nasional senior adalah cerminan dari bagaimana kita melakukan pembinaan di usia dini.

Tanpa adanya fasilitas lapangan yang memadai dan dengan kualitas yang baik, tentu sulit untuk membentuk pesepak bola dengan skill yang mumpuni. Tanpa iklim kompetisi yang kondusif dengan aturan yang jelas, bagaimana kita bisa membentuk pesepak bola dengan karakter yang baik, dan profesional. Tanpa adanya kompetisi yang berjejang dan berkualitas, bagaimana kita akan mendapatkan pesepak bola-pesepak bola yang berkualitas baik dari sisi skill, karakter, pola pikir, serta sikap kompetitifnya. Ini yang dinamakan pembangunan ekosistem sepak bola.

Apakah kita tidak bisa melakukan itu semua? Bisa. Apakah kita tidak memiliki cukup anggaran untuk mewujudkannya? Bisa dicari. Jadi permasalahannya dimana? Ini yang saya sebut di awal tulisan tadi, jika permasalahan terbesar sepak bola Indonesia terletak pola pola pikir, dan pola kerja.

Dalam banyak hal kita salah dalam menyusun skala prioritas terhadap apa yang harus dikerjakan. Ditambah lagi sifat dasar bangsa ini memang selalu berpikir secara instan, dan tidak mau berproses.

Ambil contoh, saya masih ingat ketika pada setelah Piala Asia 2007 (waktu tepatnya saya lupa) saya sempat berdiskusi dengan beberapa pengurus PSSI. Sebagai salah satu kapten tim nasional, saya dimintai pendapat mengenai program pengiriman tim usia dini untuk berlatih di luar negeri (Deportivo Indonesia), serupa dengan program Primavera dan Baretti. Dimana program tersebut akan memakan dana katakanlah "sekian" juta dollar.

Pendapat saya ketika itu adalah:

“Mengapa uang itu tidak digunakan untuk membuat sebuah “training ground” dengan fasilitas yang memadai di untuk tim nasional? Akan lebih berguna bagi perkembangan sepak bola Indonesia kedepan. Bisa digunakan untuk pemusatan latihan semua level tim nasional. Syukur-syukur kita bisa membuat di beberapa tempat. Atau untuk membuat kompetisi usia dini yang berjenjang, dan berkualitas di dalam negeri”.

Sampai saat saya menulis artikel ini (sejauh apa yang saya tau, mohon koreksi jika saya salah) tim nasional Indonesia belum memiliki tempat pemusatan latihan sendiri yang dilengkapi dengan fasilitas, serta tempat penginapan pemain.

Terjadilah diskusi, serta perdebatan yang dinamis diantara kami. Beberapa hari kemudian, saya mendengar kabar jika salah satu pengurus tersebut berkata. Bahwa pendapat saya tersebut didasari karena saya tidak terlibat, dan bukan hasil didikan dari program sejenisnya di masa lalu. Pengurus tersebut menilai pendapat saya lebih dari pada sebuah sentimen pribadi saya.

“Aduh, Bapak itu salah memahami esensi dari pendapat saya”, gumam saya dalam hati ketika itu.

Justru pengurus itu yang menurut saya menggunakan logika terbalik. Program ini tidak lebih dari ego pribadi, atau golongan tertentu yang hanya berpikir secara instan. Masa depan sepak bola Indonesia tidak mendapatkan apa-apa dari program ini. Ini lebih kepada bisnis bukan pembangunan sistem. Saya sependapat jika tujuan dari program ini mungkin baik, tapi menurut saya ada yang harusnya lebih diprioritaskan.

Siapa tidak bangga melihat pemain-pemain Primavera dan Baretti, hampir setiap minggu dulu kita melihat liputannya di televisi. Bahkan harus saya akui jika program itu adalah salah satu hal yang menginspirasi saya untuk menjadi pesepak bola profesional.

Namun ketika kita berbicara pembangunan sepak bola Indonesia secara menyeluruh, maka saya pikir menjalankan program semacam itu kurang lah tepat. Mengapa? Karena program seperti itu hanya dapat dinikmati oleh minoritas pesepak bola saja. Pembangunan sebuah sistem rasanya jauh lebih bermanfaat, dari sekedar mengirim tim untuk berlatih, dan berkompetisi di luar negeri.

Jika kita mau membuka pikiran kita, serta jujur kepada diri sendiri dengan mengedepankan masa depan sepak bola Indonesia, bukan demi ego pribadi atau golongan tertentu. Rasanya kita semua akan lebih memilih membuat infrastruktur yang memadai untuk menunjang pembinaan usia dini kita. Dari pada menggunakan dana tersebut untuk mengirim tim untuk berlatih, dan berkompetisi di luar negeri.

Sama halnya dengan naturalisasi pemain. Pada satu titik, kita mungkin tidak bisa menghindari itu. Namun naturalisasi pemain itu sifatnya jangka pendek. Untuk jangka panjangnya, tetap sistem pembinaan usia dini kita yang harus kita bangun dengan sangat serius.

Ada kesalahan prioritas menurut saya. Mengirimkan tim ke luar negeri dan naturalisasi pemain itu, seharusnya sifatnya melengkapi “blue print” program jangka panjang sepak bola kita. Bukan kesannya malah menjadi program utama.

Di sini perlu saya garis bawahi, saya tidak sedang berkata bahwa mengirim tim ke luar negeri, atau naturalisasi pemain itu tidak baik, bukan begitu. Tapi ada sesuatu yang sifatnya lebih penting, dan mendasar yang malah kita lupakan. Menggelontorkan dana untuk pembangunan usia dini memang kurang menguntungkan secara kalkulasi bisnis, dibanding level senior. Tapi mereka adalah investasi paling penting untuk masa depan sepak bola kita.

Sejauh ini program pembinaan usia dini lebih banyak diinisiasi oleh pihak-pihak swasta. Seharusnya ini menjadi tamparan bagi kita. Baru tahun 2018 akhirnya PSSI membuat terobosan dengan meluncurkan program Elite Pro Academy. Walaupun terlambat namun kita harus apresiasi. Program-program semacam ini harus lebih diperbanyak, serta cakupannya harus lebih diperluas. Jangan hanya bagi klub-klub Liga 1 saja, klub Liga 2 dan level dibawahnya (jika memungkinkan) juga harus mulai disentuh.

Beberapa waktu yang lalu PSSI baru saja merampungkan program pengiriman tim ke Inggris bernama “Garuda Select”. Program Garuda Select sedikit berbeda dengan program-program sebelumnya. Program ini “pure” inisiasi, dan biaya dari sponsor. PSSI hanya menyediakan pemain saja. Timbal baliknya, semua “exposure” dari tim ini menjadi milik sponsor.

Di sini dampak psikologis dari eksploitasi pesepak bola yang menurut saya perlu dipertimbangkan. Karena hal tersebut tidak dapat disederhanakan begitu saja. Apa lagi di era media sosial seperti saat ini, sudah banyak juga contohnya.

Yang dibutuhkan Indonesia adalah negarawan-negarawan sepak bola. Mereka yang meyusun blue print sepak bola kita dengan orientasi jauh ke depan. Yang tersedia saat ini hanyalah politisi-politisi sepak bola, yang hanya berpikir dengan orientasi jangka pendek, untuk masa mereka menjabat saja.

Ini yang saya maksud dengan kesalahan pada pola pikir. Sedang pola kerja adalah kita tidak pernah sabar dalam menjalani proses dari sebuah program. Inti dari keduanya adalah kita tidak pernah mau berproses, semua ingin instan.

Jika kita sudah berhasil merubah pola pikir dengan membuat blue print sepak bola kita dengan baik dan benar. Serta memperbaiki pola kerja dengan kesabaran, ketekunan, serta tetap memelihara keyakinan maka saya kok yakin lambat-laun akan ada progress bagi sepak bola Indonesia.

Tulisan ini hanya pendapat saya pribadi. Jadi setuju boleh, tidak setuju juga sah-sah saja. Toh pada akhirnya semakin banyak ide semakin baik. Asal tujuan utamanya untuk kemajuan sepak bola Indonesia, bukan kepentingan individu atau golongan tertentu.

Selesai….