Apakabar sepak bola Indonesia? Di hari ke-168 Indonesia mendapatkan sanksi FIFA ini, apa yang telah kita lakukan untuk memperbaiki keadaan? Apakah kita sudah melakukan hal-hal yang benar? Atau kita hanya membuang-buang waktu selama 168 hari tanpa melakukan perubahan-perubahan yang berarti.

Kalimat seperti mari belajar dari kesalahan dan memperbaiki diri, rasanya sudah tidak lagi relevan untuk digunakan. Saat ini yang lebih pas adalah sebuah pertanyaan, seperti, apakah kepala kita masih ada isinya? Dan masihkah isi kepala itu bekerja dengan sebagaimana mestinya?

Sejujurnya saya gembira melihat sepak bola Indonesia kembali bergeliat, dengan digelarnya Piala Kemerdekaan dan Piala Presiden. Antusiasme pemain, pelatih, dan juga masyarakat selama gelaran dua turnamen tersebut mampu memberikan kegembiraan yang membuat kita dapat sejenak melupakan permasalahan yang terjadi di sepak bola kita.

Pertanyaan besar yang kemudian muncul adalah setelah ini apa?

Agenda apa yang akan kita lakukan setelah Piala Kemerdekaan dan Piala Presiden berakhir? Apakah sepak bola kita akan kembali mati suri? Jangan pula kita hanyut dalam keriaan penyelenggaraan turnamen, sehingga melupakan arti pentingnya sebuah kompetisi.

Karena turnamen demi turnamen yang digelar seharusnya hanya menjadi penjaga asa di tengah konflik panas yang selama ini terjadi.

Setelah Piala Kemerdekaan dan Piala Presiden, apakah kita sudah memikirkan bagaimana cara agar sepak bola Indonesia dapat benar-benar "hidup kembali"? Karena idealnya langkah selanjutnya adalah mencari jalan keluar terbaik, agar sanksi yang dijatuhkan kepada sepak bola Indonesia ini dapat segera berakhir.

Mengingat pondasi utama dari pembinaan sepak bola adalah menjalankan roda kompetisi, jangan sampai masa-masa gelap sepak bola kita ini malah menjadi ladang "tumpengan" pihak-pihak tertentu.

Suksesnya gelaran Piala Kemerdekaan dan Piala Presiden, seolah-olah telah mengubah orientasi kita dalam berpikir. Bukan lagi mencari jalan keluar dari segala permasalahan agar sanksi dapat segera dicabut, namun bagaimana dapat mengisi masa-masa konflik ini dengan membuat turnamen sebanyak mungkin.

Sebanyak apa pun turnamen yang akan digelar, tidak akan menyelesaikan permasalahan inti yang tengah kita hadapi selama ini. Semakin kita memikirkan penyelenggaraan turnamen dan melupakan kompetisi, maka semakin kita lari dari permasalahan.

Jangan jadi bangsa pengecut, mari kita hadapi masalah ini bersama-sama. Sebesar dan sesulit apa pun tantangannya mari kita hadapi, dan cari jalan keluarnya dengan segera.

Saat ini masyarakat hanya ingin melihat sebuah tindakan nyata dari penyelesaian masalah ini. Syukur-syukur jika semuanya dapat diselesaikan dengan cara musyawarah. Namun, jika toh harus dengan "berdarah-darah" dan memulai semuanya dari nol pun, mari segera kita lakukan.

Para pelaku sepak bola butuh mencari nafkah, masyarakat butuh hiburan, dan sepak bola Indonesia juga  butuh untuk terus berkembang. Oleh karena itu kompetisi berjenjang menjadi mutlak untuk segera digulirkan.

Tidak ada lagi waktu untuk memelihara perseteruan ini, sudah terlalu banyak yang dikorbankan, dan masyarakat pun tentu sudah teramat-sangat muak.

Kegagalan PSSI dalam beberapa kesempatan untuk melaksanakan kickoff liga, membuat kredibilitas organisasi ini dipertanyakan. Terutama oleh klub-klub anggotanya, mengingat sumber kehidupan sebuah klub adalah dari kompetisi.

Sebuah keadaan yang bukan tidak mungkin akan mendorong para pemilik suara untuk menyuarakan pelaksanaan Kongres Luar Biasa, seperti yang saat ini sudah mulai sayup-sayup terdengar.

Di sisi lain, tidak adanya langkah kongkret dari pemerintah dalam penyelesaian masalah ini, membuat masyarakat mulai sangsi dengan keseriusan Menpora dalam memperbaiki sepak bola Indonesia. Dan jika kondisi ini dibiarkan berlarut-larut, maka rasanya desakan untuk diadakannya reshuffle pun tidak dapat dihindarkan lagi.

Secara pribadi saya masih pada pendirian semula. Idealnya Menpora segera mencabut sanksi yang telah diberikan dengan syarat PSSI juga harus menyepakati poin-poin tertentu agar perbaikan sepak bola Indonesia benar-benar dapat terwujud.

Proses penandatanganan kesepakatan tersebut dilakukan secara terbuka, bila perlu disiarkan secara langsung melalui stasiun televisi. Agar masyarakat luas juga dapat turut serta menjadi saksi, dan mengawasi poin-poin kesepakatan tersebut.

Waktu terus berjalan, ke depan bukan ke belakang, oleh karena itu bukan saatnya lagi untuk membicarakan apa yang terjadi kemarin, minggu lepas, atau sebulan yang lalu. Saatnya melihat ke depan, dan mencari jalan penyelesaian dari permasalahan ini, demi perkembangan sepak bola Indonesia ke arah yang lebih baik.

Sejatinya saat ini kita hanya sedang menghibur diri, kita terhipnotis oleh euforia turnamen demi turnamen yang sejatinya tidak menyelesaikan pokok permasalahan yang sebenarnya tengah kita hadapi.

Sampai kapan kita akan lari dari masalah ini?

Jika kedua belah pihak tidak segera mencari jalan keluar dari permasalahan ini, saya kok khawatir jika nantinya masyarakat yang akan mencarikan jalan keluar bagi mereka. Dan jika masyarakat yang mencarikan jalan, maka sudah barang tentu juga dengan cara masyarakat.

Tetap semangat dan sukses selalu....

 

Salam,

Bambang Pamungkas