Stadion Menteng, pertengahan tahun 1999.


Pada suatu sore selepas berlatih, saya berbincang-bincang dengan salah satu sahabat, idola, sekaligus mentor saya di atas lapangan hijau, Widodo Cahyono Putro.


Ketika itu saya bertanya: “Mas Wid, dulu sampeyan pertama kali main profesional di klub apa ya mas?”


Widodo C. Putro menjawab: “Pertama kali ya di Warna Agung.”


“Bukannya di Cilacap ya mas?” tanya saya lagi.


“Bukan, pertama kali aku di Jakarta bersama Warna Agung. Dan gara-gara Warna Agung-lah ilmuku jadi tinggi.”


Sebagai anak ingusan di kancah sepakbola tanah air, mendengar kalimat “Gara-gara Warna Agung-lah ilmuku jadi tinggi”, seketika saya langsung menggeser posisi duduk dan memperhatikan dengan lebih seksama lagi.


Dengan nada penasaran, saya bertanya: “Wah seru nih. Ceritanya gimana mas, kok gara-gara Warna Agung ilmunya jadi tinggi? Siapa tahu saya bisa ikut belajar.”


“Ya gimana ilmunya ngga tinggi, wong tiap kompetisi jadi juru kunci terus. Juru kunci kan ilmunya harus tinggi, kalo ngga tinggi ya kalah sama setan penunggunya,” jawab Widodo C. Putro sambil tersenyum santai.


Mendengar penjelasan tersebut, saya yang tadinya mendengarkan dengan seksama dan khusuk pun, langsung tertawa sambil menggerutu.


Kemarin adalah hari pertama saya bertugas sebagai jurnalis di lapangan. Dan kebetulan tim yang saya liput adalah Persija Jakarta, tim yang pernah saya bela. Pada musim kompetisi tahun ini, Persija Jakarta seakan tampil tidak pada wujud aslinya. Berbagai permasalahan intern tim membuat Macan Kemayoran terlihat limbung, dalam mengarungi kerasnya persaingan kasta tertinggi kompetisi di negeri ini.



Di bawah guyuran hujan deras yang membasahi ibu kota sejak siang hari, Persija Jakarta harus kembali takluk dari lawannya. Kali ini Persiram Raja Ampat yang berhasil mengangkangi Persija Jakarta di kandang mereka sendiri, Gelora Bung Karno. Sebiji gol Elthon Maran pada menit ke-69, sudah cukup untuk menambah penderitaan Persija Jakarta yang harus tampil tanpa pendukung setia mereka The Jakmania, karena larangan dari pihak kepolisian.


Tim dari ujung timur Indonesia berjuluk “Dewa Laut” tersebut berhasil mencuri tiga poin dari kandang Macan Kemayoran. Bagi Persija Jakarta sendiri, enam kekalahan dalam enam bertandingan terakhir, membuat mereka terpaku di posisi ke-18 dari 18 kontestan, atau juru kunci klasemen Liga Super Indonesia.


Apa yang tersaji kemarin mengingatkan saya kepada “guyonan” Mas Wid 14 tahun lalu, bahwa juru kunci itu ilmunya tinggi. Sepanjang putaran pertama ini, Persija Jakarta hampir selalu berkutat di zona degradasi, beberapa kali bahkan harus menjadi juru kunci. Apa yang disuguhkan Persija Jakarta sejauh ini menjadi prestasi terburuk tim ibu kota selama 17 tahun terakhir.


Terakhir kali tim ini terseok-seok di papan bawah adalah pada musim 1996/1997, sebelum akhirnya pengelolaan tim diambil alih oleh Gubernur DKI Jakarta ketika itu, Sutiyoso, atau lebih akrab dipanggil Bang Yos. Pada era kepemimpinan Gubernur Sutiyoso, Persija Jakarta kembali menjadi salah satu kekuatan penting sepakbola di tanah air, hingga puncaknya meraih gelar juara di musim 2000/2001.


Secara garis sejarah, akan menjadi sebuah kehilangan besar jika Persija Jakarta sampai terdegradasi musim ini. Seperti halnya ketika kasta tertinggi sepakbola kita, tidak lagi dihiasi oleh sepak terjang salah satu kekuatan besar sepakbola Indonesia, PSMS Medan. Tim-tim seperti Persija Jakarta, PSMS Medan, Persib Bandung, PSM Makassar, Persebaya Surabaya, dan Persipura Jayapura adalah warisan sejarah sepakbola Indonesia di masa lalu. Laga-laga di antara mereka, akan selalu menjadi partai yang panas dan sarat gengsi sehingga menarik untuk disaksikan.



Seperti halnya Widodo C. putro yang dapat belajar dari pengalamannya bersama Warna Agung, dan mampu menjadikan dirinya sebagai seorang pemain yang sakti, hingga berhasil membawa Persija Jakarta dan Petrokimia Putra meraih gelar juara. Begitu jugalah seharusnya dengan Persija Jakarta. Pengalaman berkutat di dasar klasemen selama putaran pertama, harus dapat menjadi sebuah pelajaran berharga.


Pengalaman menjadi juru kunci, harus mampu membuat tim ibu kota itu menjadi lebih sakti dan kembali tampil garang. Sehingga mampu kembali ke trek yang seharusnya. Karena setelah kita kehilangan Persebaya dan PSMS, tentu masyarakat sepakbola kita tidak ingin lagi kehilangan salah satu klub warisan sejarah sepakbola di negeri ini.


Selesai…