LANGSUNG saja ya: Siapa yang lebih baik, generasi pesepak bola sekarang atau generasi sebelumnya?

Pertanyaan yang sudah 25 tahun ini mengendap dalam pikiran Saya. Sayangnya, selama itu pula Saya selalu gagal mencari jawabannya. Bayangkan, membandingkan sesuatu yang berbeda jaman saja sudah sulit, ditambah lagi dengan kompleksitas permasalahan dan tantangan yang juga tidak sama. Jelas hampir mustahil. Jangankan memilih yang terbaik, menentukan kriteria yang digunakan untuk menilai saja sudah rumit minta ampun.

Jika patokannya adalah para pemainnya, jelas tidak mudah. Jika sekarang kita mengenal pemain-pemain seperti Ernando Ari, Risky Ridho, Marcelino Ferdinan, Justin Hubner, Witan Sulaiman, Asnawi Mangkualam, atau Rafael Struick. Maka di generasi sebelumnya terdapat nama-nama yang juga tidak dapat dipandang sebelah mata.

Sebut saja Firman Utina, Boaz Salossa, Christian Gonzales, Hendro Kartiko, Budi Sudarsono, dan Ponaryo Astaman (2000an). Kurniawan DJ, Robby Darwis, Widodo C Putra, Fackry Husaini, dan Edy Harto (1990an). Heri Kiswanto, Rully Nere, Ferril Hattu, Ricky Yakobi, Ansari Rangkuti, dan Ponirin Meka (1980an). Junaidi Abdilah, Berti Tutuarima, Ronny Pattinasarani, Risdianto, Sofyan Hadi, Andi Lala, Oyong Lisa, dan Rony Paslah (1970an).

Itu baru sampai generasi tahun 70an. Sebelum itu tentu masih banyak lagi seperti Soecipto Soentoro, Iswadi Idris, Abdul Kadir, Max Timisela, Yudho Hadianto, Ramang, Tan Long Huow, Tan Bing Mo Heng, Djamiaat Dhalhar, Arnold Van Der Vin dan masih banyak lagi. Nama-nama mereka mungkin asing di telinga masyarakat bola era sekarang. Tapi percaya lah, jika mereka adalah pesepakbola-pesepakbola handal di jamannya, setidaknya untuk ukuran sepak bola Indonesia.

Jika acuannya adalah penampilan tim. Rasanya penampilan timnas di periode ini layak untuk ditonjolkan. Timnas Merdeka Games 1961 (Juara), Timnas Asian Games 1964 (Semifinal), Timnas Olimpiade Melbourne 1966 (menahan Uni Soviet), Timnas Kings Cup 1968 (Juara), Timnas Pra Olimpiade 1976 (kandas dari Korea Utara). Timnas SEA Games 1987 (Emas), Timnas SEA Games 1991 (Emas), Timnas Piala Asia 1996 (pertama kali lolos Piala Asia), Timnas Piala Asia 2007 (kandas dari Korea Selatan), atau Timnas Piala Asia 2024 (lolos pertama kali ke babak 16 besar). Silakan dikoreksi jika ada yang terlewat.

Namun jika barometernya secara spesifik adalah gelar juara atau medali emas. Rasanya hanya timnas Merdeka Games (1961), timnas Kings Cup (1968), timnas SEA Games (1987), dan timnas SEA Games (1991) yang masuk dalam kriteria terbaik. Tentu Saya tidak lupa dengan timnas yang meraih emas di SEA Games 2023. Namun tim tersebut sengaja tidak saya masukkan, karena memang bukan dalam kategori tim senior.

 

Jalan Tangah

Baru sampai pada penentuan kriteria saja, saya yakin perdebatannya sudah tidak berujung. Bagaimana kemudian memilih siapa yang terbaik?

Setelah mengendap selama setengah abad lamanya, akhirnya saya menemukan jalan tengah yang menurut saya paling pas atas pertanyaan atau perdebatan tersebut. Bukan untuk menjawab, tapi jalan tengah. Karena memang “hampir mustahil” untuk menemukan jawabannya, setidaknya sampai saat ini.

Penampilan timnas dan antusiasme masyarakat sepak bola kita yang begitu luar biasa, saat timnas memastikan diri lolos ke putaran ke-3 kualifikasi Piala Dunia 2026 zona Asia lah, yang membuat saya akhirnya sampai pada kesimpulan sebagai berikut:

“Pesepakbola jaman sekarang harus berterima kasih kepada generasi sebelumnya”.

Sabar, jangan buru-buru marah atau tersinggung dengan kalimat di atas. Jangan juga tergopoh-gopoh untuk langsung setuju. Karena bisa jadi, kalian juga tidak sepakat dengan apa yang akan saya sampaikan. Tentu ada alasan dan juga penjelasan, dibalik mengapa saya sampai pada kesimpulan tersebut. Saya akan coba uraikan.

Begini. Saya tidak bisa membayangkan, jika pada suatu titik di masa lalu (atas alasan apa pun) terjadi kebekuan aktivitas sepak bola di Indonesia. Dimana sepak bola tidak lah menjadi sebuah olah raga yang menarik. Ketidakmenarikan itu membuat tidak ada generasi muda yang kemudian mau menggeluti sepak bola sebagai profesi. Keadaan ini pun berimbas kepada tidak adanya klub-klub sepak bola dan juga kompetisi di Indonesia. Kalo toh ada pun sifatnya ya ala kadarnya saja. Sehingga terjadi kevakuman generasi, karena sepak bola bukanlah sebuah olah raga yang menjanjikan.

Jika keadaan tersebut pernah terjadi. Pertanyaannya: Apakah kemudian sepak bola di Indonesia dapat menjadi olah raga yang sepopuler dan industrinya maju seperti saat ini? Apakah antusiasme, status sosial, dan pendapatan para pelaku sepak bola bisa seperti saat ini? Rasanya kok tidak.

Selain daya saing, sebuah industri akan menjadi besar jika memiliki daya tahan dan berkelanjutan. Pun demikian dengan sepak bola di Indonesia. Dan pada poin inilah saya melihat peran besar dari para pesepak bola Indonesia di masa lalu. 

Artinya, para pemain terdahulu ini memiliki jasa besar, setidaknya sebagai penjaga asa dan konsistensi olah raga bernama sepak bola di Indonesia. Apapun kualitas dan prestasinya, mereka adalah orang-orang yang membuat sepak bola tetap hidup, bergairah dan menjadi olah raga yang sangat digemari di Republik ini.

Salah satu tugas utama seorang atlet adalah melanjutkan apa yang sudah dikerjakan oleh generasi sebelumnya, dan menginspirasi generasi berikutnya. Maksud saya begini, karena sepak bola menjadi olah raga terpopuler dan paling digemari di Indonesia (walau pun belum berprestasi). Maka dengan sendirinya akan banyak generasi muda yang kemudian mengidolai dan bahkan ingin menjadi seperti mereka.

Ambil contoh saja Saya. Saya berkeinginan menggeluti dunia sepak bola, ya karena terinspirasi dengan figur Kurniawan Dwi Julianto yang begitu fenomenal di tahun 90an. Pun demikian dengan “Mas Kurus”, beliau secara terbuka juga menyampaikan jika sangat mengidolakan sosok striker elegan timnas era 80an, alm. Om Ricky Yakobi. Om Ricky pun rasanya setali tiga uang, pasti juga memiliki idola lokal dari generasi sebelumnya, (mungkin) Om Risdianto atau Alm. Om Soecipto Soentoro. Dan hal ini terus berulang dan saling berkait.

Artinya, selain sebagai penjaga asa, para pesepak bola terdahulu ini jugalah inspirasi bagi generasi berikutnya. Coba bayangkan, jika saja sepak bola tidak menjadi olah raga terpopuler dan menarik untuk digeluti di Indonesia. Kemudian posisinya diambil alih oleh cabang olah raga lain, ambil contoh misalnya bola Voli. Rasanya, saya pun dulu akan lebih ingin menjadi seperti Loudry Maspaitella dari pada Kurniawan Dwi Julianto.

Nah, berdasarkan dua hal tersebut, sebagai penjaga asa dan inspirasi ini lah saya berpendapat, jika para pesepak bola masa kini harus menaruh hormat dan berterima kasih kepada generasi-generasi pesepakbola sebelumnya. Sekali lagi dengan apa pun kualitas dan prestasinya. Karena tidak dapat dimungkiri, jika olah raga dan insdustri sepak bola dapat bertahan dan menjadi berkembang seperti saat ini, ya sedikit banyak ada peran para senior ini.

 

Lebih Bijaksana, dan Tugas Yang Jauh Lebih Penting

Namun demikian, para senior ini juga lah harus pandai-pandai dalam menempatkan diri. Sebagai generasi yang sudah terlebih dahulu memainkan dan memahami sepak bola tentu kritik, saran, dan masukan sangat lah dibutuhkan oleh generasi masa kini. Namun hendaknya hal-hal tersebut disampaikan dengan cara yang lebih bijaksana, elegan, dan yang paling penting kontekstual.

Jangan karena lebih senior atau “merasa” lebih paham tentang sepak bola, kemudian menilai jika sepak bola itu harus diurus dan dimainkan seperti pada jamannya dulu. Pokoknya “Jaman Om” yang terbaik yang lain memble. Ndak boleh juga begitu. Kita harus paham, bahwa industri bernama sepak bola itu akan selalu berkembang menyesuaikan dengan jaman, dan juga pola pikir para pelakunya. Perkembangan itu tentu tidak hanya terkait permainan, pengelolaan, namun juga industrinya secara utuh. Industri sepak bola secara utuh ini, juga termasuk dengan reaksi dan fanatisme masyarakat terhadap sepak bola.

Mengapa saya menyinggung tentang perkembangan sepak bola. Karena harus juga disadari, jika tidak semua hal yang baik dan hebat di masa lalu itu, bisa diaplikasikan dan sesuai dengan perkembangan sepak bola di jaman sekarang.

Jadi lah "bapak sepak bola", kalo kalimat bapak bangsa rasanya terlalu berlebihan. Berikanlah dukungan sebaik mungkin dengan memberikan kritik, saran, dan masukan yang konstruktif. Karena sejatinya para pesepak bola masa kini ini, tengah bekerja keras untuk melanjutkan apa yang sudah Panjenengan sekalian perjuangkan di masa lalu.

Kepada para pesepak bola masa kini, kalo saya boleh memberi saran, dengarlah apa yang perlu didengar dan lupakan apa yang rasanya sudah tidak relevan lagi. Tidak perlu bereaksi negatif apa lagi sampai mendebat. Itu adalah bentuk takzim dan terima kasih kalian, kepada mereka yang sudah turut serta memperjuangkan profesi yang kalian geluti saat ini.

Lebih fokuslah kepada apa yang menjadi tugas utama kalian, memberikan yang terbaik di atas lapangan. Karena seperti yang saya singgung di atas tadi, bahwa kalian memiliki tugas lain yang jauh lebih penting, yaitu berprestasi dan menginspirasi generasi setelah kalian.

Agar sepak bola di Indonesia tetap hidup dan terus berkembang. Hingga akhirnya nanti, dapat memberikan prestasi yang membanggakan, bagi seluruh pecinta sepak bola di negeri ini.

Tetap semangat dan sukses selalu....

 

Salam,

Bambang Pamungkas