Setiap orang berhak untuk mengeluarkan pendapat dan menilai orang lain, karena tidak melanggar hukum di negara kita. Walau terkadang pendapat atau penilaian itu, tidak benar atau hanya menggunakan imajinasi . Tetapi menurut saya itu adalah bagian dari kehidupan bersosialisasi, dimana terkadang ada hal-hal yang disembunyikan, sehingga membuat orang harus menebak-nebak, atau terkadang kita mencoba mencari kelemahan orang lain yang lebih berhasil dari kita, dan lain sebagainya. Itu adalah romantika kehidupan, dan terkadang hal-hal seperti itu yang membuat hidup itu menjadi berwarna dan sangat indah. Apa yang akan saya ceritakan dalam artikel ini, saya yakin sudah menjadi pertanyaan anda sekalian selama betahun-tahun, dan bahkan mungkin menjadi sesuatu yang sedikit mengganjal di dalam benak masyarakat selama ini. Judul di atas tidak lebih hanya menjadi sebuah ilustrasi tentang penilaian beberapa kalangan terhadap diri saya..


 


Suatu sore di pertengahan bulan Juni di tahun 1992, saya sedang bermain sepeda dengan sahabat kecil saya yang bernama Sugeng, saat itu saya tengah berlibur di tempat nenek saya mbah Sastro di Baturetno, Wonogiri, Jawa Tengah. Saat itu kami bersepeda mengelilingi kampung melewati sawah-sawah yang indah, menggunakan sepeda kumbang tua milik kakek sahabat saya si Sugeng. Karena saat itu saya masih kecil, sedang sepeda kumbang itu memiliki palang ditengah-tengahnya, maka untuk menaikinya sayapun harus mendekatkan sepeda itu ke sebuah tembok, dan setelah naik di atas tembok tersebut baru saya bisa mengayuh sepeda kumbang tua tersebut. Butuh perjuangan keras memang…


Ketika hari menjelang maghrib kami berniat pulang. Di saat kami melewati sebuah perempatan kampung yang jalannya masih berbatu, saya berjalan terlalu kepinggir sehingga sepeda tua yang saya naiki terperosok ke sebuah kali kecil, tepat di bawah pohon jambu air yang ternyata juga sudah tua. Karena sepeda kumbang itu memiliki palang di tengahnya, sehingga membuat saya tidak dapat melompat untuk menyelamatkan diri, maka dengan sangat terpaksa saya pun ikut terjerembab ke dalam kali kecil tersebut…


Saat terjatuh saya merasakan kesemutan yang teramat sangat hebat di pergelangan tangan saya sebelah kiri, setelah saya lihat ternyata pergelangan tangan saya patah, sehingga membuat jari saya mampu menyentuh siku bagian dalam saya sendiri. Karena melihat hal tersebut saya pun terkejut dan tidak sadarkan diri. Singkat cerita, saya pun harus menghabiskan liburan kenaikan kelas saya di rumah sakit…


Cerita singkat tadi berhubungan erat dengan kontroversi yang selama ini menyelimuti diri saya, terutama dengan aksesoris saya ketika tampil di atas lapangan hijau. Selama ini, saya dikenal sebagai pemain yang selalu menggunakan perban putih di kedua pergelangan tangan saya. Tidak sedikit yang menilai, saya hanya ingin membuat sensasi, namun tidak sedikit pula yang menyebutkan bahwa itu bagian dari sebuah kepercayaan atau ilmu hitam, agar penampilan saya bagus di dalam lapangan. Sehingga terkesan penampilan saya akan jauh menurun, jika saya tidak menggunakan perban tersebut…


Bahkan pada di musim 2003, ANTV pernah ingin mengambil gambar saya ketika tengah menggunakan perban tersebut, karena mereka merasa penasaran, saya hanya tertawa menanggapi itu semua. Bagi mereka yang pernah satu ruang ganti dengan saya, mereka pasti tau saat saya mengenakannya, mereka juga pasti tau jika tidak ada hal yang aneh-aneh. Akan tetapi bagi masyarakat luas, pasti masih terbersit sebuah pertanyaan besar yang entah kapan akan terjawab. Bahkan ada sebagian penggemar saya yang  sangat menginginkan perban itu untuk di koleksi..


Awalnya sebenarnya ini adalah ide dari almarhumah nenek saya. Beliau pernah berkata kepada saya “Le, kowe kuwi yen main bal kudhu sing ati-ati, kelingano yen tanganmu tau ceklek, bal-balan kuwi lak tabrak-tabrakan tho, mbok yao tanganmu kuwi di jagani ben kowe kelingan yen tanganmu tau ceklek” yang kurang lebih artinya adalah “Nak kamu itu kalau bermain bola harus hati-hati, ingatkah jika tanganmu pernah patah, sepakbola itu kan tabrak-tabrakan jadi sebaiknya tanganmu itu dilindungi, biar setidaknya kamu ingat kalau tanganmu pernah patah”…


Perkataan nenek saya tersebut selalu mengiang di telinga saya, sehingga pada akhirnya saya memutuskan untuk menggunakan perban yang saya balutkan agak ketat untuk melindungi pergelangan tangan saya. Bagi yang masih ingat, ketika Ligina VI saat pertama saya bermain profesional dan bermain di Persija, saya hanya menggunakan perban di sebelah kiri, karena memang tangan kiri saya yang patah. Tetapi pada Ligina VII saya menggunakan di kedua tangan saya, alasannya sederhana. Ketika melihat beberapa foto saya di media, saya melihat ada sesuatu yang tidak seimbang dan simetris. Ada sesuatu yang bisa ditambahkan agar penampilan saya menjadi lebih enak untuk dilihat dan mampu menjadi ciri khas saya. Sehingga sayapun memutuskan menggunakannya pula di sebelah kanan, dan satu hal lagi, kedua perban itu juga berguna untuk membersihkan keringat, tanah atau rumput yang sempat singgah ke muka saya..


Memang banyak orang yang berasumsi negatif dengan kebiasaan saya ini, akan tetapi pada kenyataannya tidak sedikit juga yang menanggapi dengan positif. Itu terbukti dengan banyaknya sekarang pemain yang mulai berani menggunakan perban di tangan mereka, bahkan di Malaysia pemain-pemain junior banyak yang meniru kebiasaan saya tersebut. Tujuan mereka agar suatu saat nanti bisa berprestasi seperti saya, dan sejujurnya alasan tersebut membuat saya tertawa terpingkal-pingkal…


Bahkan pernah dalam suatu pertandingan Malaysian Super League, ketika Selangor FC melawat ke kandang Negeri Sembilan Naza FC. Tiba-tiba terbit peraturan baru oleh FAM (Football Assosiation of Malaysia), bahwa semua pemain tidak diperbolehkan menggunakan aksesoris di tangan mulai dari gelang, cincin, termasuk perban. Tentu hal tersebut sangat janggal, mengingat dalam peraturan FIFA sendiri, tidak pernah ada yang menyebutkan tentang hal itu. Kalau gelang dan cincin, itu memang dengan jelas tertera dan saya sangat setuju karena itu bisa mencederai lawan, akan tetapi apakah perban akan dapat mencederai lawan…


Ketika saya menjelaskan kepada pengadil/wasit, bahwa saya menggunakan perban dengan tujuan untuk melindungi tangan saya yang patah, wasit itu hanya berkata ” Encik Bambang, sayepon pelik apasal FAM buat peraturan macam ni, saye hanya ikut anjuran sajelah, harap-harap encik faham dengan keadaan ini” yang kurang lebihnya berarti  “Pak Bambang, sayapun merasa aneh kenapa FAM membuat peraturan seperti ini, saya hanya menikuti perintah saja, saya harap bapak mengerti dengan keadaan ini”  Saya mencium hal yang janggal telah terjadi disini..


“C’Mon FAM,,, Don’t gimme this S**t..!!!