SORE ini, seperti biasa saya menikmati teh panas tanpa gula di teras belakang rumah. Kebetulan beberapa waktu yang lalu saya diberi kiriman teh tubruk dari seorang teman yang ternyata sangat nikmat. Sambil menyeruput teh yang masih mengepulkan asap, saya mengecek dan membaca beberapa pesan yang masuk ke email saya.

“Wah lumayan rame nih”, gumam saya dalam hati. Selain beberapa email promo dan notifikasi, terdapat juga beberapa email yang isinya cukup menarik perhatian saya. Salah satunya berasal dari pecinta sepak bola tanah air yang bertanya terkait dengan isu “Local Pride”, yang jujur sebelum saya membaca email tersebut saya sama sekali tidak tahu.

Jiwa jurnalistik saya pun tergugah. Sejurus kemudian, saya membuka akun media sosial saya untuk mencari tahu apa gerangan yang sebenarnya terjadi dengan isu local pride tersebut. Tak berapa lama, saya pun menemukan postingan dari beberapa kolega pelaku sepak bola nasional di instagram, terkait lokal pride tersebut. Ok, sampai di sini sedikit-sebanyak saya mulai paham.

Kalau saya boleh jujur, rasanya tidak ada sesuatu yang terlalu mengkhawatirkan dari ungkapan lokal pride tersebut. Secara pribadi saya sih tidak merasa terganggu, walau pun saya juga tidak dalam posisi untuk sepenuhnya bersetuju. Ya biasa-biasa saja lah, dan tidak ada yang perlu dibesar-besarkan. Begitu kira-kira kesan pertama saya.

Menariknya, kolom komentar dari postingan beberapa kolega tersebut, dipenuhi dengan komentar-komentar yang bernada sinis. Kebanyakan dari mereka menafsirkan, jika istilah local pride tersebut adalah bentuk sindiran kepada individu atau kelompok tertentu dalam ruang lingkup sepak bola Indonesia.

Nah, dari sini lah saya mulai menangkap jika ada sesuatu yang tidak pada tempatnya. “Hmmm kok jadi serius gini?”, gumam saya kembali dalam hati.

Melalui tulisan saya ini, saya akan berusaha (sekeras yang saya mampu) untuk menyampaikan pemahaman dan perspektif saya terkait dengan isu local pride tersebut. Tulisan ini sekaligus juga menjadi jawaban untuk pertanyaan yang dikirimkan kepada saya melalui email. Saya juga akan coba untuk menjawabnya melalui video #Tanyabepe di youtube saya.

Dan seperti biasa, Tulisan (dan video) saya hanyalah pendapat pribadi. Setuju atau tidak, itu pilihan. Semua ada di tangan Anda sekalian, dan tidak juga perlu dibesar-besarkan.

Baik, kita langsung mulai saja ya.

Jadi, lebih memilih lokal atau asing? Jika pertanyaan tersebut ditanyakan kepada saya, dalam konteks nasionalisme dan idealisme dalam berbangsa dan bernegara, maka sudah barang tentu jawaban saya adalah lokal (Indonesia). Namun, jika pertanyaan tersebut ditujukan untuk hal-hal spesifik yang lain, maka jawaban saya belum tentu akan sama, dan bisa jadi malah sebaliknya.

Misalnya, jika pertanyaan tersebut terkait dengan produk mobil. Maka jawaban saya sudah pasti merek asing. Selain kualitas, pendapat saya tersebut tentu juga didasari dengan ketersediaan barang di pasaran. Karena seperti kita ketahui bersama, jika produk otomotif asli merek Indonesia sejauh ini masih difokuskan untuk menunjang sektor-sektor tertentu, seperti industri dan pertanian.

Atau misalnya lagi, jika pertanyaan tersebut terkait dengan produk mie instan. Maka jawaban saya (dan mungkin seluruh masyarakat Indonesia) sudah pasti adalah merek lokal. Alasannya sederhana. Selain karena sudah menjadi tradisi, secara rasa dan selera mie instan produk lokal sudah barang tentu pasti paling cocok di lidah kita.

Apa yang ingin saya sampaikan adalah dalam menilai dan membandingkan segala sesuatu, acap kali bergantung pada tolok ukur yang digunakan. Bisa tradisi, kebutuhan, gengsi, selera, ketersediaan barang, atau yang paling esensial tentu adalah kualitas.

Namun demikian, tidak jarang juga kita terpedaya oleh pola pikir kita sendiri. Ambil contoh, kebanyakan dari kita (atau katakanlah diri saya sendiri saja lah). Karena (gengsi) ingin segala sesuatunya harus kebarat-baratan, maka sering kali saya memilih sesuatu hanya berdasarkan namanya saja yang keasing-asingan. Padahal bisa jadi, barang tersebut sebenarnya adalah merek asli dalam negeri, yang memang memiliki kualitas yang sangat baik.

Misalnya coklat Silver Queen, yang awalnya saya pikir berasal dari negara Queen Elizabeth. Eh ternyata coklat ini adalah merek lokal yang sudah diproduksi di Garut sejak tahun 50an. Atau merek Terry Palmer misalnya, yang dari namanya saya pikir berasal dari negara Paman Sam. Sama hal nya dengan Siver Queen, ternyata handuk ini adalah merek asli Indonesia. Nama Palmer sendiri (dari salah satu sumber di internet) diambil dari Pal Merah, nama daerah tempat pertama kali perusahaan ini berdiri pada kisaran tahun 1962.

Kembali kepada masalah local pride. Seperti yang sempat saya singgung di awal, secara pribadi saya merasa hal ini biasa-biasa saja. Pembahasan terkait local pride ini menjadi panas, ya karena penafsiran dari netizen saja. Penafsiran yang berpotensi memecah-belah.

Nah perdasarkan hal-hal tersebut di atas, saya akan mencoba untuk melihat local pride ini dengan perspektif yang lebih luas. Saya sendiri tidak ingin berburuk sangka, dengan menilai bahwa ungkapan local pride ini adalah bentuk sindiran terhadap indivudu atau kelompok tertentu (semoga saya tidak salah).

Apakah mereka yang menyuarakan local pride ini tengah gelisah? Yes. Apakah mereka tengah memperjuangkan sesuatu? Itu saya setuju. Kegelisahan ini yang seharusnya kita tangkap, pelajari, dan coba cari solusinya bersama-sama. Tujuannya tentu hanya satu, untuk semakin memperbaiki environment (lingkungan) sepak bola Indonesia.

Mengapa kita tidak melihat, jika suara local pride ini sebenarnya ditujukan kepada kita semua. Kita semua yang saya maksud ya seluruh stakeholder sepak bola Indonesia. Dari mulai pemerintah, federasi, klub, pelatih, pemain, dan juga seluruh pecinta sepak bola di negeri ini.

Pertanyaan bagi pemerintah: Misalnya, apakah sudah berlaku adil kepada para pelaku sepak bola (atau atlet) lokal? Apakah pemerintah sudah memberikan perlindungan hak-hak dan kesejahteraan atlet dalam bentuk undang-undang? Dan apakah peraturan perundang-undangan tersebut sudah diberlakukan dengan baik?

Bagi federasi: Apakah kegundahan akan maraknya naturalisasi pemain akhir-akhir ini, sudah ditindaklanjuti oleh federasi dengan melakukan pembangunan pembinaan usia dini dengan baik, terstruktur, berjenjang, dan berkualitas? Apakah federasi sudah memberikan kesempatan kepada bakat-bakat muda kita, untuk mempersiapkan diri dengan mengenyam pendidikan dasar-dasar pesepakbola profesional dengan baik.

Sehingga kedepan tim nasional kita tidak hanya bergantung pada proses naturalisasi, namun juga bibit-bibit pesepak bola tangguh hasil dari pembinaan dan kompetisi usia dini tersebut.

Bagi klub: Apakah klub-klub kita sudah memberi perlakuan yang sama antara pemain dan pelatih lokal dengan pemain dan pelatih asing? Baik dari sisi perlakuan, kesejahteraan, mau pun perlindungannya. Apakah kegundahan kita akan kualitas pelatih lokal yang “dinilai” semakin tertinggal dari pelatih asing, sudah ditindaklanjuti dengan keberanian untuk memberikan kesempatan kepada pelatih-pelatih lokal untuk unjuk kebolehan dalam menangani sebuah tim?

Apakah keresahan kita akan sulitnya mencari striker mumpuni untuk tim nasional, sudah diikuti dengan keberanian klub-klub untuk memberi kesempatan kepada striker-striker lokal untuk mendapatkan jam terbang lebih di kompetisi?

Bagi pelatih: Apakah pelatih-pelatih lokal kita juga sudah percaya dengan talenta-talenta lokal? Sehingga berani memainkan mereka di kompetisi, agar kualitas mereka semakin berkembang. Agar klub tidak hanya bergantung kepada para pemain asing sebagai kerangka tim utama.

Bagi pemain: Apakah pemain-pemain lokal kita sudah melihat dan menghargai para pelatih lokal sama dengan para pelatih asing? Apakah masih ada pikiran, jika pelatihnya asing maka dia akan berlatih 100%, namun sebaliknya jika pelatihnya lokal cukup lah berlatih ala kadarnya saja?

Bagi masyarakat: Apakah masyarakat sepak bola Indonesia sudah berlaku adil (sejak dalam pikiran), dengan tidak silau terhadap segala sesuatu yang berbau asing, sehingga dengan mudah meremehkan para pemain dan pelatih lokal? Apakah dalam posisi start yang sama kita akan memberikan penilaian, toleransi, dan judgment yang sama?

Apakah masih ada yang berpikir, jika sebuah klub dilatih oleh pelatih lokal maka klub tersebut akan gagal? Padahal pelatih tersebut bekerja saja belum. Atau jika ada klub bermain dengan striker lokal, maka sejak sebelum peluit dibunyikan kita sudah berpikir jika klub tersebut akan sulit untuk mencetak gol dan menang?

Inti dari apa yang ingin saya sampaikan adalah, dengan hati yang tulus ikhlas serta pikiran yang jernih, mari kita bertanya kepada diri kita masing-masing, terkait dengan pertanyaan-pertanyaan yang saya sebutkan di atas.

Jadi, dari pada menanggapi local pride ini dengan komentar-komentar yang berpotensi memecah-belah. Mengapa kita tidak coba melihatnya ini semua secara lebih luas dan dari sisi yang lebih positif. Tentu untuk perkembangan sepak bola Indonesia ke arah yang lebih baik.

Saya jadi teringat dengan Academy Award tahun 2016. Seperti yang kita ketahui bersama, gelaran Oscar ke-88 tersebut sempat diboikot oleh beberapa selebriti dengan kulit berwarna. Chris Rock dalam monolognya, menanggapi isu tersebut tersebut dengan begitu elegan. Chris Rock memang tidak setuju dengan aksi tersebut, namun ia tetap mencoba untuk menangkap dan menyampaikan pesan yang menjadi kegelisahan dari beberapa koleganya tersebut. “We want opportunity. We want black actors to get the same opportunities”, begitu Chris Rock memberikan penekanan.

Apa yang selebriti Holywood perjuangkan ketika itu, kurang lebih sama dengan suara-suara local pride yang disampaikan oleh para pelaku sepak bola lokal saat ini. Yang mereka perjuangkan bukan lah sebuah penghargaan. Yang mereka perjuangkan adalah opportunity (peluang). Peluang untuk berkarir, peluang untuk berkarya, dan peluang untuk mendedikasikan diri mereka untuk sepak bola Indonesia. Itu yang mungkin menurut mereka masih kurang.

Namun demikian, suara-suara local pride ini seyogyanya juga diikuti dengan kesadaran penuh dari para pelaku sepak bola (pemain atau pelatih) lokal, untuk mahu semakin meningkatkan kemampuan dan kualitas diri mereka. Sehingga ketika nantinya mendapatkan peluang, mereka juga dapat membuktikan. Karena seperti yang saya singgung di awal tulisan ini, jika pada akhirnya barometer yang digunakan untuk menilai dan menentukan pilihan pada sebuah produk, adalah kualitas.

Akhir sekali, ijinkan saya untuk memberikan penegaskan terkait perdebatan antara lokal atau asing yang kita bahas sejak tadi.

Bagi saya: “Siapa pun orangnya baik lokal, asing, atau bahkan berasal dari planet lain sekali pun. Selama dia membawa nama bangsa dan negara Indonesia, dan berhasil mengharumkannya dengan prestasi. Maka wajib hukumnya bagi kita semua untuk memberi dukungan, dan apresiasi yang setinggi-tingginya. TITIK”.

Karena, pada akhirnya ini bukan tentang siapa, namun tentang sumbangsih apa yang telah diberikan untuk kemajuan sepak bola Indonesia.

Tetap semangat dan sukses selalu.

 

Salam,

Bambang Pamungkas

 


NB: Kirimkan pertanyaan-pertanyaan kalian tentang sepak bola Indonesia melalui email yang ada di bio akun instagram saya. Pertanyaan terbaik dan terpilih akan saya jawab melalui tulisan di bambangpamungkas20.com, atau video di youtube (Bepe20). Terima kasih….