"Menpora Vs PSSI: Sepakbola Indonesia Mati Suri"


Kalimat diatas saya kutip dari tema sebuah acara talk show di salah satu televisi swasta beberapa waktu yang lalu. Sebuah diskusi yang kebetulan membahas mengenai kisruh yang tengah terjadi di persepakbolaan negeri ini.


Satu hal yang saya tangkap dari diskusi "berat" tersebut adalah, semua pihak memiliki niat dan tujuan yang sangat mulia, yaitu "Untuk Masa Depan Sepakbola Indonesia Yang Lebih Baik".


Sayangnya mereka menggunakan dasar yang sangat mulia tersebut, tanpa memperhatikan hakikatnya. Mereka hanya berbicara di awang-awang tanpa melihat realita apa yang terjadi di bumi.


Diskusi tersebut terlalu fokus pada sisi "Menpora Vs PSSI", sedang esensi paling utama "Sepakbola Indonesia Mati Suri" hampir tak tersentuh.

Mereka membahas hal-hal yang begitu berat (pasal-pasal perundang-undangan, statuta FIFA, statuta PSSI dll) tanpa menyentuh realita dilapangan yang paling mendasar. Bahwasanya saat ini banyak pesepakbola, dan pelatih profesional di Indonesia yang hak-haknya belum terbayarkan, bahkan dalam waktu dekat kontraknya kemungkinan akan segera diterminasi.

Belum terbayarkan, dan akan diterminasi karena apa? ya karena efek dari perseteruan bapak-bapak yang konon katanya mencintai sepakbola Indonesia itu. Begitu kok masih bisa menggunakan "Untuk Masa Depan Sepakbola Indonesia Yang Lebih Baik" sebagai dasar dari perjuangan. Bagaimana mereka bisa berbicara untuk masa depan sepakbola Indonesia yang lebih baik, jika para pelaku di lapangan klereran.

Pertanyaannya kemudian adalah. Jika sepakbola Indonesia benar-benar mati (amit-amit), siapa yang akan mati? apakah bapak-bapak yang gontok-gontokan itu yang akan mati? tentu TIDAK.

Yang mati ya para pelaku dilapangan. Yang mati pemain, pelatih, dan perangkat pertandingan. Sedang bapak-bapak yang konon katanya berjuang untuk masa depan sepakbola Indonesia yang lebih baik itu, akan tetap hidup dan kembali ke habitatnya masih-masing (pebisnis, anggota dewan, staf pemerintahan, pengurus partai, pengacara dsb).

Selama perjalanan konflik sepakbola Indonesia sejak tahun 2010, korban utamanya adalah para pelaku di lapangan. Mereka ibarat sebuah pasukan yang dipergunakan untuk berperang (dijadikan bargaining) tanpa diberikan persenjataan yang memadai (hak-hak untuk mempertahankan hidupnya tidak diberikan).

Wong tanpa polemik seperti ini saja pemain, pelatih, dan perangkat pertandingan hak-haknya masih banyak yang tertunggak. Apalagi ditambah dengan konflik kepentingan yang sedemikian rupa.

Jujur saya sangat mengapresiasi langkah pemerintah (BOPI) yang dalam hal ini memberlakukan verifikasi dengan ketat kepada klub-klub peserta kompetisi, utamanya mengenai kewajiban-kewajiban klub kepada pemain dan pelatih.

Hal ini bagus, mengingat PT Liga sendiri dalam beberapa tahun terakhir dikarenakan satu dan lain hal, sering memberi "dispensasi" kepada klub-klub yang masih memiliki tunggakan kewajiban kepada pemain dan pelatih, untuk tetap dapat berkompetisi.

Ketegasan BOPI tersebut membuat PT Liga pada akhirnya juga memaksa klub-klub yang masih memiliki tunggakan kewajiban untuk segera menyelesaikan. Dari data yang Asosiasi Pesepakbola Profesional Indonesia (APPI) peroleh, sampai dengan batas akhir waktu verifikasi 17 dari 18 tim sudah menyelesaikan kewajibannya. Sebuah langkah positif dari PT Liga, dan juga layak untuk diapresiasi.

Jika dalam perkembangan proses verifikasi yang dilakukan, terjadi perbedaan pemahaman antara pemerintah dengan PSSI yang pada akhirnya berujung pada pemberian sanksi administras, maka ini menjadi hal yang diluar perkiraan banyak pihak.

Saya pikir semua pihak tidak menginginkan hal ini terjadi. Sama halnya kita semua tidak menginginkan sanksi FIFA yang bisa jadi akan dijatuhkan kepada Indonesia pada tanggal 29 Mei nanti, jika segala permasalahan ini tidak kunjung selesai.

Sebagus dan semenarik apapun diskusinya, akan menjadi percuma ketika apa yang mereka sepakati di dalam arena diskusi tersebut, tidak mereka ejawantahkan dengan baik dilapangan. Sesering apapun diskusi yang dilakukan hanya akan menjadi sebuah harapan kosong.

Maka akhirnya sampailah kita pada sebuah pertanyaan yang sangat mendasar, "Jika (konon katanya) semangatnya saja sama (untuk masa depan sepak bola Indonesia yang lebih baik), mengapa sulit sekali (untuk mencari titik temu) ?

Pertanyaan sederhana yang mungkin dapat bapak-bapak renungkan dengan baik.


Selesai....