22 Februari 2014


"Kid\'s don\'t care how much you know, until they know how much you care".

Semenjak memutuskan berhenti untuk sementara waktu dari hiruk-pikuk dunia sepakbola profesional di Indonesia, praktis hari-hari saya hanya saya habiskan dirumah. Mengantar anak sekolah, mengantar istri pergi yoga, menulis, dan melakukan pekerjaan-pekerjaan yang berkaitan dengan sportsatu adalah kesibukan sehari-hari saya.

Namun demikian, bukan berarti saya serta-merta meninggalkan segala kegiatan yang berkaitan dengan si kulit bundar. Sekali atau dua dalam seminggu, saya masih bermain sepakbola bersama rekan-rekan PSSI pers, di lapangan latihan tim nasional Indonesia. Tidak jarang saya juga bermain futsal bersama tim futsal sportsatu. Disamping itu, saya juga banyak melakukan coaching clinic bersama pemain-pemain usia dini.

Berbicara mengenai pemain-pemain usia dini. Bagi siapapun pemain sepakbola, dapat bekerja sama dengan para pemain belia, akan selalu menjadi sebuah hal yang sangat menyenangkan. Karena hal tersebut akan kembali menggugah romantisme kami dimasa lalu. Saat-saat dimana kita masih seusia mereka, dan mencoba memulai langkah pertama, untuk merajut mimpi-mimpi besar dikemudian hari..

Badan-badan mungil beraroma matahari. Tatapan mata tajam penuh semangat. Langkah-langkah sigap penuh optimisnya. Dan antusiasme yang membuncah. Adalah gambaran betapa besarnya harapan, dan keyakinan mereka, akan masa depan yang cerah. Kita tidak mungkin berpaling dari hal-hal seperti demikian.

Pertanyaannya adalah, apakah kita sudah benar-benar memperhatikan mereka? Apakah kita sudah memberi kesempatan kepada mereka untuk menjadi seperti yang mereka inginkan? Dan apakah kita sudah benar-benar memfasilitasi mereka untuk meraih mimpi-mimpi besarnya?

Saya pikir ini yang harus kita sama-sama renungkan. Bangsa kita itu suka segala sesuatu yang instan. Budayanya instan, mienya instan, buburnya juga instan, oleh karena itu suksesnya pun kalau baisa juga dengan cara yang instan.

Ketika ada orang berpendapat jika dalam dua tahun terakhir sepakbola kita tengah dalam keadaan sakit, maka saya pikir kita semua akan setuju. Konflik berkepanjangan yang mendera dunia persepakbolaan kita, bak sebuah angin puting beliung yang meluluh-lantahkan struktur utama sepakbola kita.

Saya tidak sedang berkata, jika naturaliasi pemain, atau pengiriman tim-tim junior untuk melakukan pemusatan latihan jangka panjang di luar negeri, adalah hal yang salah. Namun seyogyanya hal tersebut, dibarengi dengan pembinaan usia dini yang terstruktur, dan terpola dengan baik di dalam negeri sendiri.

Naturalisasi pemain, dan pemusatan latihan jangka panjang di luar negeri, mungkin sah-sah saja dilakukan untuk tujuan jangka pendek. Namun pembinaan usia dini sebagai pondasi utama masa depan sepakbola Indonesia, juga harus menjadi perhatian utama. Karena di pundak merekalah nantinya tanggung jawab itu akan dilimpahkan.

Alangkah tidak bijaksana, dan kurang bertanggung jawabnya kita, jika nantinya membiarkan talenta-talenta muda ini berjuang atas nama bangsa, dan negara tanpa perbekalan dan persenjataan yang cukup, dan memadai.

Apakah kita akan dengan gampangnya berkata, "Mereka adalah generasi yang gagal" atau "Lupakan mereka, kita potong generasi untuk sepakbola yang lebih baik", jika suatu saat nanti mereka gagal. Melakukan penghakiman tanpa menyiapkan generasi masa depan yang lebih baik, tentu bak berbicara kepada tembok, memantul kearah anda sendiri.

Saya pikir selama ini kita telah memelihara sebuah budaya yang salah dalam menilai sebuah keberhasilan, maupun kegagalan. Selama ini, kegagalan akan selalu menjadi tanggung jawab pemain, dan juga pelatih. Sedang keberhasilan, akan dinilai sebagai sebuah hasil kerja keras bersama, baik pemain, pelatih, dan tentunya juga pengurus.

Tentu kita masih ingat, ketika beberapa waktu yang lalu tim nasional Indonesia hancur lebur dalam babak kualifikasi menuju piala dunia Brazil. Dengan gampangnya kita berkata, "Lupakan mereka, mari kita potong generasi untuk sepakbola Indonesia yang lebih baik".

Dan masih segar juga dalam ingatan kita, saat tim nasional usia 19 tahun berhasil menjuarai AFF U-19, dan melaju ke Piala Asia. Bagaimana keberhasilan tersebut, dianggap sebagai hasil kerja keras dari seluruh komponen yang terkait. Bagaimana spanduk-spanduk dengan warna kebesaran partai menghiasi sekeliling stadion. Atau bahkan gambar calon legislatif pun, terpampang di tiket tanda masuk pertandingan timnas usia 19 tahun. Sangat oportunis.

Seharusnya kita sadar jika setiap kegagalan, maupun keberhasilan adalah tanggung jawab kita bersama, tanggung jawab semua komponen yang terkait. Jika sudah demikian, kita semua akan merasa senasip, dan sepenanggungan dalam bahu-bahu mencari jalan kejayaan bagi sepakbola Indonesia.

Saling gontok-gontokan, dan berebut kekuasaan jelas bukan sebuah contoh yang baik bagi generasi muda bangsa ini. Apa yang kita lihat selama kisruh sepakbola Indonesia tersebut, jelas tidak akan membuat sepakbola kita semakin kuat, namun sebaliknya hancur lebur berserakan.

Saya pikir kita semua harus sedikit melihat kebawah. Melihat kembali bagaimana talenta-talenta muda bangsa ini berpeluh keringat penuh semangat. Tak kenal lelah penuh kegigihan. Serta penuh keihklasan, dan pengharapan. Hanya untuk satu tujuan, agar dapat mengharumkan nama bangsa dikemudian hari.

Melihat itu semua dengan sendirinya hati kita akan kembali tergugah. Tergugah untuk mengembalikan sepakbola kepada titah yang seharusnya. Melihat perjuangan mereka dalam merajut mimpi, akan menimbulkan rasa takut. Rasa takut untuk melakukan hal-hal yang tidak semestinya, karena hal tersebut sudah pasti akan mengecewakan mereka.

Tim nasional usia 19 tahun sudah memberi bukti, bahwa talenta muda kita tidak pernah kalah dengan negara manapun. Sekarang tugas kita semua adalah mencari formula yang tepat. Untuk mengawal mereka, agar talenta-talenta emas tersebut dapat semakin berkilau di kemudian hari.

Saran saya, jangan pernah kecewakan mereka.


Selesai....