Sabtu, 17 Agustus 2013.


Hari ini adalah hari kemerdekaan bangsa Indonesia yang ke-68. Pagi tadi seharusnya saya menghadiri upacara kemerdekaan yang dilaksanakan di Istana Negara. Mendapat undangan untuk mengikuti upacara 17 Agustus-an bersama orang-orang penting di negeri ini, jelas menjadi sebuah kehormatan yang luar biasa. Namun, karena satu dan lain hal, dengan sangat berat hati pada akhirnya saya tidak dapat memenuhi undangan tersebut.


Minggu lalu untuk kesekian kalinya, masyarakat kita dikejutkan dengan sebuah kenyataan menyedihkan, mengenai nasib pesepak bola di negeri ini. Adalah seorang pemain muda bernama Hidayat Berutu yang menyita perhatian kita semua. Melalui salah satu situs jual-beli online, mantan penjaga gawang tim nasional U-21 tersebut, menjual dua medali serta satu kaus tim nasional miliknya untuk menambah biaya pengobatan cedera yang dialami. Hal tersebut terpaksa dilakukan, karena gajinya selama lima bulan terakhir belum dibayarkan oleh klub yang musim ini ia bela.


Apa yang menimpa Hidayat Berutu bukanlah yang pertama kali terjadi di kalangan pemain sepak bola di negeri ini. Kita tentu masih ingat dengan apa yang menimpa Moukwelle Ebanga, salah satu pemain asing yang jatuh sakit di Banyuwangi dan tidak mampu membayar biaya pengobatan, karena gajinya tertunggak selama tujuh bulan.


Masih segar juga dalam benak kita, bagaimana para pemain PSMS Medan berjuang di depan kantor PSSI Jakarta, guna menuntut hak mereka yang tertunggak selama sepuluh bulan. Bahkan di antara mereka ada yang harus menjual cincin kawin, dan bekerja sebagai satpam di sebuah bank swasta, demi untuk menyambung hidup mereka.


Dan yang paling tragis, tentu tragedi kemanusiaan yang menimpa Diego Mendieta. Seorang pemain asing asal Paraguay yang meninggal di Solo dalam keadaan sakit, dan tidak mampu membayar biaya rumah sakit, juga karena gajinya tertunggak selama empat bulan. Serta masih banyak lagi kisah sedih dan mengharukan, yang terjadi akibat dari tertunggaknya gaji para pesepak bola di negeri ini.


Menanggapi hal-hal seperti ini, para pemain yang lain bisa saja kembali melakukan gerakan solidaritas mengumpulkan dana, untuk membantu pemain yang sedang mengalami musibah. Namun, pertanyaan yang kemudian muncul adalah, mau sampai kapan?


Terlepas dari gerakan solidaritas tersebut memang sifatnya baik, tetapi hal tersebut dapat membuat pihak-pihak terkait menjadi lepas tanggung jawab. Karena hal-hal seperti gaji dan asuransi kesehatan bagi pemain sepak bola merupakan tanggung jawab klub, sesuai dengan apa yang tertera di dalam kontrak kerja yang sudah disepakati bersama.


Mencermati keadaan para pesepakbola di tengah hingar-bingar perayaan hari kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-68 ini, menyisakan secuil pertanyaan yang cukup mengganjal di dalam hati.


Sudahkah para pesepak bola di Indonesia ini merdeka?


Pertanyaan di atas memang terkesan sinis dan kurang enak untuk didengar. Sebagiaan pemain mungkin juga akan merasa tersinggung, jika pertanyaan tersebut dilontarkan kepada mereka. Namun, dengan perkembangan konflik sepak bola di negeri ini selama tiga tahun terakhir, saya yakin tidak salah jika pertanyaan tersebut menyeruak ke permukaan.


Apa sesungguhnya arti dari kemerdekaan itu sendiri?


Dalam hal ini saya yakin jika setiap orang mempunyai definisi yang sangat beragam, dalam mengartikan apa itu kemerdekaan.


Namun, apakah itu yang namanya merdeka, ketika hak tidak diberikan, tetapi harus tetap melakukan semua kewajiban yang dibebankan kepadanya?


Apakah itu yang namanya merdeka, ketika mempertanyakan hak saja dapat berakibat sanksi, karena dianggap tidak berkelakuan baik?


Apakah itu yang namanya merdeka, ketika segala permasalahan kehidupan akibat tertunggaknya gaji menghampiri, namun harus tetap menghibur orang lain dengan terus bermain?


Apakah itu yang namanya merdeka, ketika mengeluarkan pendapat dan bersikap saja harus diatur dan diawasi oleh pihak lain?


Dan apakah itu yang namanya merdeka, bahkan untuk membela nama bangsa dan negara saja, harus menunggu restu serta kesepakatan dari pihak-pihak tertentu?


“Manusia-manusia yang merdeka dalam beberapa kesempatan akan berani untuk berkata tidak.”


Tidak untuk hal-hal yang salah. Tidak untuk kesemena-menaan. Serta tidak untuk ketidakadilan. Merdeka itu ketika kita sudah mampu mengatakan merah jika itu merah, dan putih jika pada kenyataannya demikian. Dengan apa pun risikonya.


Sampai kapan para pesepak bola di Republik ini akan terus berdiam diri?


Sampai kapan para pesepak bola di negeri ini harus terlunta-lunta dengan terus berkorban?


Sampai kapan para petinggi itu sadar betapa para pesepak bola sudah berdarah-darah dalam melakukan toleransi?


Sampai kapan para pesepak bola tidak dihargai oleh klub dan para pengurus sepak bola Indonesia?


Juga sampai kapan para pesepak bola di Indonesia tidak terlindungi hak-haknya seperti saat ini?


Dan entah butuh peristiwa apalagi, agar hati dan nurani dari pihak-pihak yang bertanggung jawab tersebut, tergerak untuk segera menunaikan kewajibannya?


Sejatinya hanya ada dua pihak yang dapat menjawab segala pertanyaan tersebut, yaitu para pengurus teras sepak bola di negeri ini, dan para pesepak bola itu sendiri. Perlu diingat, jika kemerdekaan bangsa ini dahulu bukanlah pemberian para penjajah, namun hasil dari perjuangan berdarah-darah dari bangsa Indonesia sendiri.


Bahkan seorang Jenderal Soedirman yang tengah mengalami sakit tuberkulosis akut pun, tetap memimpin perang gerilya di dalam hutan. “Yang sakit Soedirman, panglima besar tidak pernah sakit,” ujar beliau ketika itu. Itu adalah bukti, bahwa kemerdekaan hanya akan didapat dengan berjuang.


Saya tidak sedang ingin berkata jika para pesepak bola di negeri ini belum merdeka. Namun, dari apa yang tersaji selama ini, jelas bahwa gambaran itu sangat jauh dari apa itu yang disebut sebagai merdeka.


Bung Karno sendiri pernah berujar: “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.” Dan seperti itulah gambaran apa yang terjadi saat ini, dalam dunia sepak bola di tanah air kita tercinta ini.


Selesai.