“Aku memang tidak nampak seperti serdadu ataupun narapidana, akan tetapi pada kenyatannya aku adalah keduanya”

“Emmeline Pankhurst”

 

Kata di atas saya kutip dari sebuah pidato Emmeline Pankhurst yang sangat terkenal pada tahun 1913. Emmeline Pankhurst sendiri adalah pemimpin pergerakan perempuan di Inggris, seorang perempuan yang dengan gigihnya memperjuangkan persamaan hak politik bagi setiap perempuan Inggris. Dia pun harus rela keluar masuk penjara demi mewujudkan cita-citanya untuk memberikan hak politik yang sama, bagi setiap wanita di Inggris Raya pada masa itu.

 

Ketika saya membaca pidato di atas, seketika saya teringat dengan diri saya sendiri. Walaupun dalam konteks yang berbeda dan skala yang sangat kecil, di banding dengan apa yang Emmeline Pankhurst lakukan semasa hidupnya. Pada suatu ketika saya merasa berada dalam situasi dimana saya adalah seorang serdadu sekaligus menjadi seorang narapidana.

 

Beginilah ceritanya:

 

Sebagai pemain sepakbola nasional, saya atau kami lebih tepatnya banyak menghabiskan waktu di luar kota bahkan di luar negeri. Berbeda dengan ketika kita berada di klub, di Tim Nasional jadwal kami sangat ketat dan teratur. Semua pemain harus bermalam di asrama baik di Jakarta, atau di kota mana pun kami berada. Sehingga secara otomatis kami kurang mempunyai waktu untuk bertemu dengan keluarga.

 

Kami hanya akan bertemu keluarga jika mereka datang berkunjung di waktu siang, itu pun waktunya terbatas karena kami harus istirahat untuk berlatih kembali di sore harinya. Apalagi jika kami harus melakukan lawatan atau TC ke luar negeri, yang terkadang memakan waktu hingga 2 minggu, atau bahkan 1 bulan. Sehingga secara psikologis hal tersebut sedikit banyak mengganggu psikologis kami, terutama bagi mereka yang sudah berkeluarga.

 

Saya teringat ketika suatu ketika, kami berada di Oman bersama Tim Nasional. Pada suatu sore teman sekamar saya, Ponaryo Astaman terlihat gelisah. Beberapa kali dia berbicara dengan istrinya melalui telepon. Dari nada bicaranya nampaknya hal tersebut sangat serius. Singkat cerita, ternyata anak Ponaryo sedang demam tinggi di Jakarta.

 

Sebagai seorang ayah tentu sangat wajar jika dia gelisah, akan tetapi apa yang dia bisa perbuat saat ini. Jarak yang sangat jauh membuat dia hanya bisa memantau melalui telepon. Mungkin lain cerita jika saat anaknya demam dia sedang berada di rumah, atau di tempat yang memungkinkan untuk dia pulang ke rumah, tentu dia mampu melakukan sesuatu untuk kesembuhan anaknya, atau setidaknya secara psikologis keberadaan seorang ayah akan mampu menjadi obat kepada buah hatinya.

 

Cerita yang lain datang dari Firman Utina. Suatu siang di Myanmar ketika saya, Aliyudin, Charis, dan Ismed sedang bermain domino di kamar saya, tiba-tiba Firman masuk dan bekata, “Sialan, anak gue ngga mau ngomong sama gue sekarang”, “Loh kenapa Man?” sahut Ismed, “Iya, katanya papa tukang bohong, katanya besok pulang tapi ko ngga pulang-pulang, mau nangis gue dengernya”, jelas Firman ketika itu.

 

Setali tiga uang dengan diri saya. Pada suatu saat ketika saya baru pulang dari lawatan bersama Tim Nasional selama 2 minggu di Oman, saya pernah mengalami kejadian yang membuat saya meneteskan air mata. Saat itu sepulang dari Muskat, kami hanya diberi waktu 24 jam untuk bertemu keluarga, karena 5 hari kemudian kami akan berhadapan dengan Australia di Jakarta.

 

Waktu yang singkat itu betul-betul saya habiskan bersama keluarga, ternyata 24 jam adalah waktu yang teramat sangat singkat. Keesokan harinya saya harus kembali bergabung di Hotel Sultan, dimana Tim Nasional melakukan pemusatan latihan. Selama dalam perjalanan anak saya yang paling kecil Syaura duduk di pangkuan saya, dan keliatan sekali jika dia tidak ingin lepas dari saya saat itu. Saat mobil mulai saya memasuki parkiran hotel, dan pada akhirnya berhenti, saya pun mulai memindahkan Syaura ke pangkuan istri saya.

 

Saat itu Syaura bertanya “Pipi mau kemana?”, saya pun menjawab “Pipi Gol dulu ya, nanti malam Pipi pulang ya”. Tanpa menjawab Syaura mulai memeluk istri saya, dan terlihat mulai tergenang air di matanya. Istri saya pun berkata, “Udah pi jalan aja, paling nangis sebentar”.

 

Dengan sedikit berat saya pun mulai turun dari mobil. Kaca mobil pun dibuka dan sambil berdiri di pangkuan istri saya Syaura mulai melambaikan tangan walaupun terlihat dengan sedikit terpaksa. Mobil perlahan-lahan mulai berjalan dan Syaura pun masih melambaikan tangan dengan posisi badan sedikit menjulur keluar dari kaca pintu mobil.

 

Tiba-tiba dengan sedikit melompat Syaura berteriak “Pipi ngga boleh gol, pipi ngga boleh gol…!!!”. Jika saja saat itu istri saya tidak sigap, mungkin Syaura sudah terjatuh dari mobil. Melihat kejadian itu secara reflek saya mengejar mobil saya, dan memegang anak saya. Tanpa saya sadari mata saya pun berkaca-kaca, sambil memeluk Syaura saya berkata, “Iya, iya pipi ngga gol sayang,” dan Syaura pun menangis di pelukan saya.

 

Ternyata setelah 2 minggu tidak bertemu dengan saya, waktu 24 jam tadi tidak cukup buat Syaura untuk melepas rasa kangennya kepada saya. Lebih mudah bagi saya untuk menjelaskan kepada Salsa, dan Abel karena sedikit banyak mereka sudah mengerti konsekuensi pekerjaan saya, akan tetapi menjelaskan kepada Syaura tidaklah mudah.

 

Beberapa cerita tadi hanyalah sedikit ilustrasi dari beberapa hal yang terjadi di antara kami, para pesepakbola nasional. Mungkin hal-hal semacam itu tidak pernah terlintas di benak masyarakat. Mungkin masyarakat hanya melihat dari sisi-sisi yang baik saja. Menjadi pemain nasional selalu terlihat enak di mata banyak orang, mereka selalu berpikir jika menjadi pemain nasional, maka kita akan bergelimang fasilitas, sehingga hidup ini akan terasa mudah dan menyenangkan.

 

Saya tidak pernah memungkiri akan hal tersebut, akan tetapi di sisi lain banyak juga kisah mengharukan yang terjadi di antara kami. Cerita-cerita sentimentil yang lebih tepat jika disebut sebagai pengorbanan kami sebagai pemain nasional. Oleh karena itu jika pada suatu ketika kami dihujat oleh masyarakat dengan membabi buta, maka terkadang sedikit terlintas perasaan untuk meninggalkan seragam tim nasional, dan hanya berkonsentrasi membela klub masing-masing saja.

 

Di saat persepakbolaan negara lain sudah mulai berlari, kita masih hanya sekedar berjalan kaki. Dibutuhkan komitmen dari seluruh komponen yang terkait dalam bidang ini untuk mampu mengejar mereka. Selama ini kita hanya mencari kambing hitam dalam setiap kegagalan, tanpa mau duduk bersama untuk mencari titik permasalahan yang sebenarnya, dan mencari solusi terbaik untuk mengatasinya.

 

Persepakbolaan kita yang tak kunjung membaik ini adalah kesalahan kita bersama. Kesalahan Bambang Pamungkas (mewakili seluruh pemain di negara kita), kesalahan Benny Dollo (mewakili seluruh jajaran pelatih di Indonesia), kesalahan Purwanto (mewakili seluruh wasit di negeri ini), kesalahan Nurdin Halid (mewakili seluruh jajaran pengurus di republik ini), dan juga kesalahan seluruh supporter di seluruh nusantara.

 

Saya setuju dengan komentar Om Benny (Dollo) pada suatu ketika, “Di Indonesia ini, setiap klub hanya mencari sebuah kemenangan (dengan segala macam cara), tanpa mau meningkatkan kualitas permainan tim itu sendiri”. Mereka bangga hanya dengan memenangkan pertandingan, walau terkadang dengan cara yang tidak fair. Mereka bahkan tidak perduli dengan kualitas permainan tim mereka sendiri.

 

Masalah akan timbul ketika bergabung dengan Tim Nasional, pemain yang terbiasa dengan suasana Liga Indonesia yang tidak kondusif, akan sulit beradaptasi dengan iklim pertandingan internasional. Parahnya lagi Tim Nasional kita sangat jarang mendapat kesempatan untuk melakukan ujicoba internasional. Itu yang membuat Tim Nasional kita selalu gagap dalam setiap partai internasional.

 

Ini adalah masalah pokok dalam sepakbola kita. Suasana liga yang kondusif dan kompetitif akan bermuara kepada Tim Nasional yang kuat. Dan tidak dapat dimungkiri kita tidak mempunyai itu. Satu hal lagi yang selama ini kita lupa, regenerasi pemain kita tidak berjalan sebagaimana mestinya, karena terlalu banyaknya pemain asing di setiap klub. Hal tersebut dengan sendirinya mengurangi jam bertanding para pemain lokal di posisi-posisi yang krusial, sebut saja stopper, playmaker, dan striker.

 

3 pemain asing, atau 4 pemain asing (satu cadangan, dan hanya boleh masuk menggantikan sesama pemain asing) dalam setiap klub rasanya sudah sangat ideal menurut saya. Bukan 5 pemain asing dan semuanya boleh turun bermain seperti saat ini. Di saat negara lain sudah memakai pemain berusia muda di Tim Nasional senior mereka, kita masih menggunakan tentara-tentara lama.

 

Bagaimana para pemain muda kita dapat berkembang jika mereka tidak mendapat kesempatan yang cukup di klub masing-masing. Ini yang luput dari radar para pengurus PSSI. Para pemain senior kita mungkin masih dapat dipergunakan, akan tetapi mereka juga butuh pelapis. Di samping untuk alasan regenerasi, hal tersebut juga akan berguna sebagai tekanan kepada para pemain senior, artinya setiap saat posisi mereka juga bisa tergeser. Untuk para junior, mereka juga bisa mulai belajar mendapatkan atmosfer sebuah laga internasional yang nantinya pasti sangat berguna untuk mereka. Itu baru sebuah iklim persaingan yang positif untuk kebaikan bersama.

 

Mengapa saya ibaratkan diri kami seperti “Serdadu dan Narapidana”. (Serdadu) Karena kami adalah tentara paling depan yang berjuang untuk membela nama persepakbolaan Indonesia, walaupun dengan persenjataan yang kadang minim (sistem/iklim kompetisi yang tidak kondusif). Dan ketika kami gagal, masyarakat tidak akan pernah mau tahu, yang mereka tahu hanya kami adalah para pesakitan perang yang pantas untuk dicaci-maki, tanpa mau tahu titik permasalahan yang sebenarnya, layaknya seorang (Narapidana) yang diseret ke balik terali besi.

 

Bagi kami para pemain, mungkin hal tersebut sudah menjadi sebuah konsekuensi profesi yang kami sudah pahami sejak lama. Akan tetapi bagi keluarga kami hal tersebut terkadang sedikit sulit untuk diterima, dan tidak jarang menimbulkan rasa frustasi. Namun pada akhirnya kecintaan terhadap profesi, tanggung jawab, serta kebanggaan atas nama panggilan negara membuat kami selalu bertahan di garis depan untuk berjuang.

 

Apapun keadaannya, saya sangat mengecam para pemain yang menghindar dari kewajiban membela Tim Nasional Indonesia. Di negara maju, mereka rela melakukan apapun agar mendapatkan kesempatan bermain untuk negara mereka, karena menjadi pemain nasional adalah puncak karir seorang pesepakbola. Sebuah kebanggan sekaligus tanggung jawab. Sedangkan di negara kita kesadaran itu rasanya masih sangat kurang. Di mata saya mereka adalah para “Pengecut”.

 

Sebagai “Serdadu maupun Narapida” sejujurnya kami tidak pernah peduli. Apapun itu, kami tetap bangga menjadi pemain nasional, kami akan selalu bangga berjuang membela nama negara kami. Sebuah semboyan yang akan selalu kami ingat adalah:

 

“Bermainlah untuk dirimu, orang-orang yang kamu cintai(keluarga) dan lambang garuda di dadamu (Rakyat Indonesia)”

“Garuda Didadaku, Garuda Kebangganku”.

 

Selesai…